Selasa, 29 Juni 2010

WARNA DUNIAKU

Perasaan dan cerita dimulai ketika aku tergila-gila dengan dunia khayal personal yang konon katanya Freud sebagai kompensasi dari letupan-letupan yang lolos dari represi. Kakiku menuruni sebuah tangga rumah suci. Aku hampir tergelincir ketika aku menginjak bagian samping dari sepatu wanita. Aku menyadari bahwa tubuhku separuh telah merosot ke bawah kasur tanpa ranjang. Tidak seperti biasa, hariku kali ini tidak dihiasi dengan bau menyengat pandan dari cukilan kesenangan.

Aku sadar dan terbangun. Lalu apa? Tak lebih dari jebakan-jebakan akan kejamnya rutinitas, aku kudu mandi. Kulihat berbagai wadah sabun tercecer membentuk koloni seolah segerombolan simpatisan sedang kampanye. Lifebuoy, Nuvo, Give, Lux, Gatsby, semua tak lebih dari pembunuhan rasio oleh cerobong-cerobong kapitalis. Tak pernah aku temukan satupun alat pencuci rambut dengan wadah jirigen tak bermerk seperti kata dosengendengku.

Dasar anak kos-kosan, dengan modal numpang, pasta gigi, sabun, sampo, tak perlu khawatir, aku cuma tinggal bawa handuk dan sikat gigi. Sekedar basah dengan busuknya air sumur kota metropolitan, aku cabut dari kamar mandi. Tak ku hiraukan kebimbangan akan sudah atau belum ku siramnya WC yang berisi sisa-sisa kehidupan. Dengan badan yang masih agak basah, aku mencoba berpakaian rapi dengan baju yang sudah setengah bulan tak ku cuci. Berputar-putar dulu dengan balutansenyong-nyong sisa-sisa embahku yang sekarang sudah dikerubuti cacing tanah di rumah barunya.

Motor butut yang sering menguras uang kuliahku yang kian hari kian mencekik leher, ku pacu dengan sedikit kehawatiran akan terjadinya aksi dorong. Kampus yang jaraknya lumayan membuatku bosan. Bukan jaraknya, tapi tak adanya pilihan jalur yang bisa membuatku tidak memicingkan mata dari jajahan Amerika. Trend pembantaian dan buasnya orang memakan daging dan meminum darah sodara-sodarinya di Pakistan, Afganistas, Irak dan puing-puing kolonialisme lainnya. Texas Fried Chicken, KFC, CFC, sampai Mr. Mc.Dee sudah berakar di negara ini. Kelatahan pribumi yang berbaur dengan bule bermata sipit, penjajah dan dominator ekonomi, menajdikan mereka bangga dan merasa patut menginjak kepala gelandangan yang makan sehari sekali saja hanya hasil kais di tong sampah. Jadi tak heran jika ada kabar pembukaan ruko atau mall baru, lalat-lalat inilah yang congok memburu dan berebut jatah makan.

Bangunan-bangunan mungil yang konon disebut butik juga dipenuhi dengan pemburu-pemburu prestise. Tak perduli bagi mereka meskipun baju itu juga dijual di Gembong dengan harga pribumi. Besarnya duit yang dihamburkan juga menjadi alat manipulasi yang menopengi dan mencemari arti dari kualitas. Dengan alunan yang sama, irama penjajahan sayup-sayup terdengar di sana. Lagu-lagu Amerika, Inggris, Prancis dan banyak lagi, masih mengalun menghiasi setiap jalanku.

Aku juga melihat, di sebuah bangunan elit terjadi demonstrasi. Beberapa mahasiswa berusaha mendobrak pagar gedung pemerintah itu. Sebenarnya mereka mendobrak karena ingin masuk atau cuma ingin ngerusak? Lha wong pintu timur gedung sudah terbuka kok malah cari perkara. Mungkin kerusakan di bumi ini sudah melewati tahap perilaku berpola dan kukuh menjadi budaya. Aku disapa dengan lambaian teman yang ikut demo. Aku merespon dengan gaya yang sama, namun dengan perasaan yang miris. Selalu saja anak ini ikut serta. Padahal kalau aku tanya, dia selalu ndak tahu tujuan demo. Sangat ironis.

Peristiwa itu masih bergelayut hingga aku mulai mencium bau kampusku yang telah lama diwarnai oleh perlombaan mengeruk modal. Di sebuah belokan aku melihat orang berjualan. Menarik sekali, karena yang dijual adalah nasib orang. Seorang peramal intelek dengan dasi di leher membawa map dengan tulisanPsychological Assessment. Aku cukup manggut-manggut dengan pemandangan yang menjemukan ini.

Untunglah motorku beraksi ketika aku sudah hampir sampai. Maklum motor tua lagi boros. Paling juga lagu lama, kehabisan bensin. Dengan berdayung kaki, aku lanjutkan perjalananku ke arah pusat rehabilitasi, sebuah penjara komersil yang memeras keringat bapakku.

Aku tak langsung masuk kampus masih ada waktu untuk mengobati hausku. Aku ke kantin belakang kampus. Tak pelak, traumaku kambuh yang sejak tadi memang sudah terpancing untuk muncul. Anak-anak yang dilabeli orang kaya yang mampu membeli ilmu-ilmuan dengan mengompas papinya, seperti biasa nongkrong di situ. Berbagai gayadipentaskan, mulai dengan gaya rambutnya yang diilhami film F-4, sampe apa yang mereka konsumsi. Minuman dengan cap Coca Cola, Pepsi Cola, dan berbagai merk cola yang lain menjadi pemandangan yang khas. Mungkin dengan standar merekalah ibu kantin mematok tarif jualannya, hingga imbasnya sampai juga ke aku.

Cukup sudah, biar ndak tambah parah, aku kembali ke kampus. Entah karena ingin menerapi diri dengan floading, aku coba menyempatkan melewati bagian belakang kampus yang katanya tempat cangkrukan para anggota dewan. Memang di situ lagi bertengger orang-orang yang sama. Permainan yang menonjolkan gaya hidup barat juga di gelar di situ. Bukan jenis permainannya, tapi cara bermainnya. Terlihat seorang anak yang membaca buku berbahasa Inggris. Dia tidak berbaur dengan teman yang lain, entah karena dia kuper, risih atau malah memang tidak diterima di kalangan bule. Dengan kaca mata tebal, dan mungkin juga dengan muka tebal, dia membaca lembar demi lembar dengan gaya duduk bak orang hiperaktif.

Aku masuk agak tergesa-gesa karena hari ini dosen killer giliran menunjukkan otot-ritasnya pada mahasiswa. Beberapa teman yang seharusnya juga kuliah tenang-tenang saja di loby. Ada yang memberi tahu adanya pengumuman bahwa jam kuliah diundur. Tak tahu, perasaan apa yang berkecamuk, senang, sedih, prihatin, marah atau….. semua campur aduk. Memang aku baca di papan jam kuliah diundur 4 jam lebih lambat. Sudah lah, toh ada waktu buatku untuk mberesin tugas yang belum rampung.

Aku masuk ruang baca. Wah ramai sekali. Dari “Definisi konseptual….”, “Item yang bagus….”, “Proposal kuanti….”, sampai, “Eh…cowok itu keren ya”, “Gimana acara malem mingguan kemaren?” semua berlomba memasuki telingaku. Ku lihat seorang yang asik dengan tugas kuliahnya di pojok ruangan. Hanya bayangan romantisme yang disadarkan dengan tamparan untuk menghitung diri. Aku coba kerahkan sisa tenaga dan pikiran untuk konsentrasi dengan tugsku. Aku pilah-pilah literatur-literatur asing yang kian hari kian banyak di sini. Mudah-mudahan bukan hanya sebagaigaya-gayaan biar dikatakan kampus top. Tapi bener-bener sebagai arena dalam memperluas dan memperdalam cakrawala.

Tugas selesai aku sempurnakan. Dengan senyum puas aku sandarkan punggung di kursi. Kembali aku lihat sosok itu masih dengan asyiknya mengerjakan tugas. Kembali perasaan itu gentayangan di benakku. Gadis manis berselera ningrat. Gembel tetaplah gembel, aku sadar itu. Gembel hanya punya hak untuk mengeluh. Seperti kali ini, aku hanya bisa meluapkan persepsi yang bisa salah atau bener, tergantung persepsi juga yang dibingkai dalam sikap dan perilaku.

Jadi, jika cerita ini terlalu pasaran atau emosional, itu terserah pembaca dalam menilai. Tetap bijak kiranya jika menanggapi sesuatu bukan hanya dengan otak, tapi juga dengan hati.

Aku terperanjat dengan sebuah kabar bahwa hari ini kuliah tidak jadi diadakan, dosen sedang ke luar kota. Akhirnya dengan geram ku tunjukkan kemarahanku sekaligus tak bisa menutupi kegembiraanku. Perasaan yang carut marut, entah karena bayangan ayu wajah kawan lama atau karena kebobrokan duniaku.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar