Kamis, 01 Juli 2010

Fasilitasi Bus

Gathering Departemen PPP. Amanah yang dipegang adalah refreshing dengan kegiatan rafting yang sekaligus ada proses fasilitasi untuk pengembangan departemen. Tidak ada waktu di lokasi, kecuali hanya aktivitas rafting. Karena itu, fasilitasi hanya bisa dilakukan di dalam bus. Inipun hanya mungkin dilakukan pada waktu perjalanan berangkat saja, karena pada waktu pulang bisa dipastikan semua penghuni bus akan letih dan lebih suka menikmati mimpinya sebagai pengobat kelelahan berkecipak berjam-jam denan air.

Ide-ide kreatif muncul bertubi-tubi, menampar-nampar tak mau kalah dengan terjangan angin yang mengantarku dari Prambon menuju Surabaya, kota tercinta. Beberapa hal yang liar membuahkan kecemasan akan kesiapan peralatan yang mendukung kelancaran proses fasilitasi. Membayangkan kertas putih, warna-warni spidol dan metaplan, juga pemberdayaan alat yang dimiliki peserta sampai pada adanya Bu Nurul yang hobi membuat dan membaca puisi.

Skenario fasilitasi akan diceritakan sembari langsung bercerita di lapangan, seperti halnya penemuan ide-ide liar sepanjang menyusur aspal. Fasilitasi ditahan sejenak untuk menunggu seluruh penghuni bus memasuki ruangan. Tinggal satu orang yang harus dijemput di Bundaran Waru. Dari titik di bawah tol dimulai aksi fasilitasi jalanan di dalam bus.

Energizing singkat menjadi pilihan agar tidak terlalu panjang memakan waktu, tapi masih mujarab untuk menggenjot semangat. Semua peserta membuat jawaban atas sapaan PPP[1], yang merupakan nama departemen. Inspirasi dari kegiatan gathering dari departemen PIO[2] memunculkan jawaban ye ye ye… Beberapa kali diuji coba, jadilah ini sebagai yel-yel untuk menyemangati proses dan berfungsi juga untuk menarik perhatian.

Setiap orang dibagi kertas berwarna atau sebut saja metaplan. Di kertas tersebut, semua menuliskan segala hal yang tersirat di benak dan atau mencerminkan departemen PPP. Mendaftar kata kunci adalah hal yang harus dilakukan. Dalam waktu satu menit, semua beraksi dan berakhir bersama. Ok lah, kita tambah waktunya satu menit lagi. Nulis di atas bus yang sedang melaju bergoyang memang susah.

Hasilnya bermacam-macam. Ada yang cuma dapat tiga. Menurut dia, memang tidak ada hal lain selain yang dia tulis. Sementara ada yang sampai dapat 18 biji kata-kata. Ini karena dia sering melakukan speed test, sehingga dia menyangka permainan ini seperti itu. Tapi tidak apa-apa, berarti dapat diasumsikan beliau ini paham banget dengan Departemen PPP. Sebagai contoh kasus, dua perolehan ekstrim ini diminta untuk membacakan.

Berapapun perolehannya, setiap orang diminta untuk menandai, kata-kata kunci mana yang berkonotasi positif, negatif, atau netral. Sekarang kita telah memperoleh paling tidak modal tentang kekuatan Departemen PPP. Sebagai bentuk review sederhana, peserta ditanyai, lebih banyak mana yang positif atau negatif, atau netral. Ternyata masih banyak yang positif. Syukurlah.

Aktivitas baru adalah memasuki dunia di masa depan. Setiap orang akan pergi menggunakan pesawat mesin waktu menuju tahun 2020. Mereka menyaksikan banyak perubahan di sepajang perjalanan itu. Hingga sampailah mereka ke tahun di masa depan itu. Mereka diminta untuk menyaksikan apa yang terjadi di depan mata mereka tentang Fakultas Psikologi Unair dan Departemen PPP.

Sekarang, mereka diminta untuk membuat surat cinta kepada Departemen PPP. Isi surat cinta bersumber dari hal positif menjadi pujian, hal negatif menjadi kritikan dan impian menjadi harapan terhadap Departemen PPP. Sebagai orang yang dicintai, pasangan kita harus menjadi baik, lebih baik dan terbaik. Kritikan memberikan masukan, hal positif diapresiasi dan tentu saja ke depannya kita punya harapan buat yang kita cintai.

Surat cintapun telah dibuat. Isinya beraneka ragam dan sangat menarik. Rata-rata mereka menulis secara panjang lebar. Hanya beberapa saja yang menuliskan singkat dan lebih bersifat menularkan semangat. Semua aktivitas tersebut berkenaan dengan departemen, baik kondisi yang dipersepsikan anggotanya, maupun angan-angan terhadapnya di sepuluh tahun ke depan.

Sekarang melangkah menuju kekuatan anggota Departemen PPP, dan nanti juga bagaimana kekuatan itu diberdayakan. Karena di dalam bus, maka aktivitas awal dibuat secara berpasangan. Caranya menarik, tiap orang mengeluarkan hp nya. Dan untungnya, semua hp bisa digunakan untuk memotret. Setiap orang saling memotret pasangannya. Mereka diberikan kebebasan untuk bergaya dan berekspresi.

Hasil fotonya dijadikan modal untuk bercerita. Cerita yang dibagi adalah tentang orang yang ada di dalam foto. Karena setiap orang akan bercerita tentang fotonya, maka mereka diminta untuk bertukar hp (untuk sementara. Nanti dikembalikan lagi).

Menggunakan gambar atau foto di hp, setiap orang cerita tentang: bagaimana ciri khas atau keunikan orang yang ada di gambar, bagaimana cara dia bekerja, siapa atau orang yang bagaimana yang paling sesuai berpartner dengan dia. Teman yang mendengarkan cerita mencatat beberapa hal menarik yang ia dengarkan.

Fasilitasi terpotong sampai di sini. Beberapa peserta mabok dan ada permohonan untuk tidak ada aktivitas menulis. Sampai paling ekstrem meminta untuk menghentikan proses. “wayahe turu” kata salah satu dari mereka.

Namun demikian, jika aktivitas tersebut berlanjut, maka ceritanya akan seperti ini:

Beberapa hasil catatan menarik dari teman yang mendengarkan cerita tentang orang yang ada di dalam foto terdiri dari kekuatan atau kelebihan yang dimiliki orang tersebut, kesesuaian kondisi pekerjaan dan partner kerja. Dengan kata lain, lingkungan seperti apa yang mendukung optimalisasi atau aktuailisasi kekuatan yang ia miliki.

Sebagai penyela yang fresh, semua menyanyikan lagu KITA dari Sheila On 7. Lagu tersebut digunakan untuk menyatukan semua kekuatan. Maksudnya, jika kekuatan tersebut dijadikan satu, maka kaan jadi seperti apakah PPP. Gubanan lagu dibuat secara berkelompok denan anggota 4-5 orang. Ini menyesuaikan dengan jumlah orang dalam tempat duduk. Diharapkan jumlah ingi mempermudah dialog kelompok antara satu deret tempat duduk.[3]

Setelah tiap kelompok menyanyikan lagu, sekarang giliran Bu Nurul[4] beraksi. Beliau membanyakan puisinya tentang pengabdian. Semua peserta terkagum dan bertepuk tangan meriah untuk Bu Nurul. Sekarang peserta membuat puisi serupa, yaitu tentang pengabdian. Tiap kelompok membuat puisinya bermodalkan kekuatan masing-masing orang dalam kelompok. Bagaimana pengelolaan kekuatan itu sehingga mewujudkan bayangan Fakultas Psikologi seperti di tahun 2020. Begitu juga kontribusi Departemen PPP terhadap Fakultas, serta kontribusi tiap orang kepada Fakultas Psikologi Unair melalui departemen.

Time to Show. Setiap kelompok memebacakan puisinya. Mereka dipersilahkan mengatur bagaimana membaca yang indah. Hasilnya, ada yang membaca secara bersama-sama dengan irama yang mereka ciptakan, ada yang sebagian bersenandung dan menggunakan lagu, serta ada juga yang diwakili satu orang dan kelompok yang lain membuat back sound-nya.

Puisi yang dibacakan ini sebagai bentuk deklarasi tiap anggota Departemen PPP dalam mewujudkan Fakultas Psikologi Unair seperti yang diimpikan. Mereka menegaskan akan berkontribusi secara bersama melalui departemen.



[1] Nama salah satu departemen di Fakultas Psikologi Unair, Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.

[2] Nama salah satu departemen di Fakultas Psikologi Unair, Departemen Psikologi Industri dan Organisasi

[3] catatan: bagian ini mungkin tidak seperti ini kejadiannya. Ini hanya mencari jembatan yang pas untuk keseluruhan proses. Jadi agak lupa-lupa ingat.

[4] Wakil Dekan I Fakultas Psikologi Unair

Selasa, 29 Juni 2010

NURANI

aku adalah seorang teman yang ingin menjadi detektif. bukan seperti konan yang mengumpulkan fakta lapangan, trus menganalisa, trus menyimpulkan apa yang terjadi, siapa pelakunya dan lain-lain.

aku ingin menjadi detektif yang menyelami pikiran, menelusup ke hati, dan reseptif terhadap semua penglihatan, pendengaran, juga hati.
ini subuah perjalanan yang mengatasnamakan objektivitas. bukan mengumpulkan objek dan mengeluarkan output yang berbau objek. subjektivitas yang bertanggung jawab adalah yang terpenting. ketika Muhammad mengatakan bahwa fatwa kebenaran dan kesalahan berasal dari hati, maka gunakan nurani untuk mencapai subjektivitas yang bertanggung jawab.

banyak orang yang merasa dirinya objektif, ilmiah, empiris, tetapi tak pernah menyelami empirisme dalam pemikiran dan perasaannya sendiri. setiap orang punya objektivitas pada dirinya sendiri. ketika para ilmuan banyak mencela sesuatu yang tidak berasal dari sensori, maka objektivitas ekstrasensori mengatakan bahwa inilah kebenaran yang sesungguhnya, hati nurani.

MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN SEBAGAI KEHADIRAN

Sekarang anda berada dimana? pada waktu kapan? sedang apa? Itu adalah awal dari kehidupan Anda. Bukankah kehidupan kita dimulai sejak lahir, atau bahkan sejak jaman ajali? Tidak, kehidupan kita diawali dari ketika kita memutuskan untuk berpikir, merasa dan melakukan sesuatu. Jika kita bicara tentang pijakan awal, maka ada banyak aspek dari hidup yang bisa menjadi pijakan untuk melangkah. Sebenarnya pijakan yang kita persepsikan sebagai awalan merupakan pertengahan atau akhir dari sebuah awalan. Dengan kata lain, pijakan tempat kita mengawali, tempat kita sedang menjalani dan bisa jadi akhir dari sebuah babak kehidupan adalah pijakan awal buat kita. Persepsi sebagai indikasi kesadaran akan menempatkan nama pada tempat sekarang kita berpijak. Nama itu bisa masa lalu, masa sekarang, atau masa depan. Berpijak pada masa lalu adalah berpijak pada masa sekarang dari sebuah perbuatan, berpijak pada masa depan juga demikian. Anda pusing dengan tulisan ini? Jangankan Anda, saya saja juga pusing.

Pada suatu ketika kita kadang membayangkan masa lalu yang menyedihkan dan tidak kita sadari kita melelehkan air mata. Kadang kita juga tiba-tiba tertawa ketika kita ingat ulang tahun kita yang dirayakan dengan menceburkan kita ke kolam ikan yang keruh dan penuh dengan lele dumbo. Sebenarnya masa lalu punya kekuatan pendorong untuk terjadinya sesuatu di masa berikutnya. Jika kenangan itu hadir pada masa sekarang, maka masa lalu punya kekuatan untuk terjadinya tangisan atau tawa. Bagaimana masa lalu punya kekuatan mendorong? Itu karena kitalah yang menarik masa itu untuk hadir di masa kini.

Coba kita putar ke masa depan. Kadang kita tersenyum saat membayangkan kita menjadi kakek atau nenek dengan cucu yang bermain di halaman. Tiba-tiba kita memperingatkan mereka, "Eh, jangan main terlalu jauh!", "Awas, entar jatoh lo!". Terus kita tersenyum. Kekuatan apa yang membuat kita tersenum dan menangis di masa depan? Kekuatan imajinasilah yang melakukan. Kata orang masa depan punya kekuatan yang menarik kita. Seperti kata orang fungsionalis, bahwa perbuatan kita dituntun kepada suatu fungsi dari perbuatan. Jika ditujukan pada sesuatu, maka sesuatu itu punya nilai yang disebut fungsi buat yang berbuat. Sebenarnya bukan tarikan kekuatan yang kita dapat dari masa depan, tapi kehadiran masa itu pada masa kini.

Melihat kedua fakta tersebut, maka penghayatan dari masa lalu dan kejelasan imajinasi di masa depan sama-sama punya kekuatan. Bagaimana kekuatan itu bisa aktual? Maka kehadiran di masa kinilah jawabannya.

Memang kehadiran masa lalu yang katanya sebagai pendorong dan kehadiran masa depan yang katanya berfungsi untuk menarik, tidaklah sesimple seperti garis yang menghubungkan kedua kutub dengan melalui masa kini. Namun demikian, pemikiran soal garis sebagai tempat berpijak sebenarnya sama seperti sirkus yang meniti tali yang direntangkan di ketinggian. Hidup tidak sesimpel garis seperti pada tali yang linear, tapi juga tidak sesulit seperti meniti tali di ketinggian. Jika kita mau berpikir agak luas, maka bisa jadi papan yang kita lewati. JIka mau lebih mudah, maka kita bisa melewati lapangan yang terbentang. Soal ketinggian, bisa menjadi lebih mudah ketika ternyata lapangan itu bukan hanya bisa dilewati secara mendatar, tapi juga bisa kita lalui secara vertikal. Maka akhirnya kehidupan itu bertambah luas, bertambah besar volumenya dan yang jelas semakin memudahkan kita melangkah. Lalu apa yang akan kita pilih, berjalan di tali yang kecil atau berjalan dalam ruang yang membebaskan kita untuk ke atas, bawah, kanan, kiri, depan, atau belakang. Jika ada pilihan yang memudahkan maka kenapa harus pilih yang susah?!

CINTA


Cinta. Aku menjadi tertatih tak tentu arah ketika setiap bayangan tulisan cinta selalu diawali dengan kata itu, juga tajuk cinta. Bukan dengungan logis rasional ketika dada berburu. Bukan pembahasan kebahasaan ketika ungkapan cinta bertalu. Bukan reaksi dari rangsangan mata, telinga, hidung, kulit, lidah yang membuat cinta itu buta, cinta itu tuli, cinta itu bisu, cinta itu.... Ketika semua telah tersebutkan, tidak dipungkiri bahwa cinta itu mati. Padahal cinta itu hidup, cinta itu melihat, cinta itu mendengar, cinta itu bicara. Setiap kehendak yang digerakkan oleh cinta punya bantahan, punya pembenaran, punya pembelaan. Butanya cinta saat wajah jadi ukuran, tulinya cinta saat suara jadi sandaran, bisunya cinta saat rayuan jadi pijakan, dan matinya cinta saat ia tak lagi jadi karunia.

Anekdot cinta saat melownisasi menjangkiti kaum tertolak, kaum tersia-sia, kaum terjajah. Meledaknya jantung tak pernah dapat hirauan. Sesaknya nafas tak lagi beroleh anggapan. Saat Iwan Fals berkata, "Aku bukan pilihan", atribut bisa melekat pada harta. Ketika Ibnu Hajar menyatakan bahwa, "Tidak Ada Cinta Bagi Penyair", rona telah terbiaskan oleh ayu atau gantengnya paras, tipisnya bibir, lentiknya bulu mata, mancungnya hidung, atau badan gembur, subur, dekat sumur, awas kecebur, mati nganggur. Tapi ternyata cinta membangkitkan semua. "Aku adalah pilihan", "Penyair berhak untuk mencinta dan dicinta". Setiap kata terucap adalah harapan. Setiap senyum, desah, lirikan, jadi buaian.

Cinta tak jauh dari benda sakral. Bahkan cinta dianggap sebagai agama. Setidaknya apa yang dikatakan Kang Jalal telah menempatkan cinta pada dikotomi yang sama dengan agama. Cinta memotivasi kekerasan tanpa balas atau pengabdian tanpa batas. Cinta mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi. Cinta menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal. Cinta memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Pembenaran akan cinta dan pembenaran karena mencinta menjadikan cinta itu hidup. Namun kematian cinta adalah kehidupan bagi pecinta. Setiap bayangan dari yang dicinta hadir, geliat argumen tak kan memurnikan cinta. Hanya helahan nafas yang menghentikannya pada ketulusan cinta. Hembusan panjang sebagai bentuk kepasrahan. Kepasrahan yang sering berujung pada kehidupan dari sang penyair, kehidupan bagi yang tak berhak untuk dipilih.

Akhirnya atas nama cinta, aku hidup dengan kehidupanku, aku melihat dengan mataku, aku mendengar dengan telingaku, aku bicara dengan lidahku.

BELAJAR DARI KUE APEM

pada suatu ketika, aku sedang berkunjung ke rumah seorang teman. Di situ disuguhi kue apem. Aku lihat kue itu berbentuk bulat. Saya tanya kepada teman bagaimana rasa kue apem tersebut. Kebetulan temanku memang sudah memakan satu kue itu. Sebelum temanku menjawab, aku sudah menggigit bagian kecil dari apem itu. Manis, hal yang pertama terlintas di pikiranku. Pemikiran pertama adalah tentang rasa. Aku teruskan memakan kue itu. Empuk hal kedua yang terlintas di pikiranku. Pemikiran kedua adalah tentang tingkat keras atau lunaknya kue. Selanjutnya kue apem sudah mendapatkan konsep manis dan empuk.

Sebuah proses belajar telah terjadi ketika apem mendapatkan atribut manis, atribut empuk dan atribut manis dan empuk. Belajar tidak hanya sekedar memindahkan teks ke dalam simbol yang terperi, mengubah bentuk apem menjadi apem. Seperti juga orang yang membaca tulisan dan memindahkan tangkapan visual menjadi simbol-simbol dalam otak. "Apem adalah sebuah kue" akan lebih bermakna daripada "apem – adalah – sebuah – kue". Hal ini sama saja ketika apa yang didapat tentang apem, yaitu rasa manis dan empuk. Ketika suatu saat kita mendengar kata apem, atau melihat kue apem, dalam pikiran kita bukan "apem" atau juga bukan bentuk kue apem. Pikiran kita sudah mampu mengidentifikasi bahwa apem adalah kue berbentuk bulat, berasa manis dan empuk. Meskipun sebenarnya bisa jadi apem berbentuk kotak, berasa pahit dan terasa keras.

Akhir dari dialog itu aku mengatakan, "Jika kita berbicara masalah rasa, yang ada hanya neg, bosan, atau muntah, tapi jika kita berbicara pengetahuan tentang rasa, maka tidak akan ada habisnya" [*]

SWEET DONUT

Pada suatu sore yang indah. Dimana hari saya menuntut ilmu melalui bangku kuliah. Pada waktu itu teman-teman sedang diskusi tentang analisis pada penelitian etnografi. Kita tidak sedang membicarakan analisis domain, analisis taksonomi, analisis eksponensial dan analisis tema kultural. Tidak, kita tidak sedang melakukan itu semua, tapi kita sedang membuat donat.

Hari itu sedang duduk berlima orang-orang yang akan bertualang untuk menghasilkan donat etnografi, sebuah donat yang diramu khusus untuk bagian analisis. Kita berlima mengunjungi sebuah toko bahan pembuat roti. Dalam toko banyak sekali terdapat bahan-bahan kue, seperti kismis, tepung, telur, baking powder, gula, garam, minyak dan lain-lain. Pada waktu itu kita sedang mengumpulkan data kualitatif yang berupa bahan-bahan pembuat kue. Sesuai dengan bahan yang diidentifikasi dalam toko, maka kita memutuskan untuk membuat donat sebagai domain utama. Bagian mana dari donat yang akan kita perhatikan dalam pembuatan kue nanti? Tentu saja kita memperhatikan pembuatan, bentuk kue donat, rasa. Ketiga hal ini menjadi domain-domain yang nantinya kita teliti. Domain-domain ini kemudian kita pelototi (observasi) dan kita berusaha untuk tanya-tanya kepada ahli donat (wawancara terfokus). Dari penelusuran ini, pada masing-masing domain diperoleh bagian-bagian dari domain (analisis taksonomi). Rasa menghasilkan pilihan mint, coklat atau selai; Bentuk menghasilkan bulat lonjong, bulat, atau kotak; Pembuatan menghasilkan pembuatan menggunakan tangan atau menggunakan mesin. Bagian-bagian kecil ini kita kontraskan pada masing-masing domain (analisis eksponensial).

Pada domain rasa kita kontraskan antara mint, coklat, atau selai.Begitu juga dengan domain bentuk dan cara pembuatan. Jika semua keterangan tentang rasa, bentuk dan pembuatan telah lengkap (data jenuh), maka domain-domain dihubungkan satu sama lain (analisi tema kultural). Jadi antara rasa, bentuk, pembuatan yang sudah mempunyai keterangan lengkap (deskripsi lengkap), dan kemudian dihubungkan sehingga tetap membangun donut yang uenak, empuk, gurih, renyah, ciamik pokoknya deach. Pada akhirnya donat-donat dengan berbagai rasa dan bentuk dikemas dalam kardus yang diberikan nama donat apresiatif dengan merek analisis etnografi. Hasil ini berbeda dengan domain asumsi awal tentang donat, karena asumsi akan membuat donat hanya diperoleh dari data awal yang sifatnya hanya permukaan. Donat yang ada pada angan-angan di awal tadi adalah donat imajinatif. Sedangkan donat yang di akhir adalah donat yang terwujud. Pada donat yang terakhirlah hasil penelitian sudah bisa disajikan dengan utuh lengkap dengan kemasannya yang cantik.

Sekarang kita punya donat dan tahu cara pembuatan donat, termasuk memilih bahan dan meramunya. Alangkah nikmatnya bisa membuat donat sekaligus menambah pengetahuan dalam penelitian kualitatif. Anda mau mencoba cara saya??? Mudah sekali, lihat kekuatan yang ada pada diri Anda (mungkin termasuk orang-orang yang berhubungan dengan Anda), lemparkan angan-angan dalam dunia imajinasi yang diimpikan, buat desain dan langkah kongkrit dan nyata untuk mewujudkan impian tersebut, dan nikmatilah hasilnya dengan teman-teman atau keluarga
Anda. Selamat membuat donat (atau kue-kue yang lain)

"angka" dan "tuhan"

analisis post-struktural

Angka. Ringan sekali menyebutnya, namun lebih besar pengaruhnya dalam menjaring kepercayaan. Mengucap kata "angka" memang lebih ringan daripada kata "tuhan". Mungkin bisa dikarenakan kata "angka" diawali dan diakhiri dengan vokal yang sama, sehingga dengan hanya dua kosa kata saja, bunyi a lebih mendominasi dari pengucapan ang maupun ka. Fungsi huruf mati ng (sebagai peleburan dari n dan g yang menjadi eng) hanya diucapkan pada posisi mati. ng memang sedikit kuat pada kosa kata ang, tetapi dilemahkan karena a pada ang dibacking oleh kekuatan a akhir pada ka. Untuk kosa kata ka sendiri, konsonan yang semivokal dan disepakati sebagai ka, sebenarnya tidak membutuhkan a. Namun karena diikat oleh kosa kata ang dalam kata "angka", yang selanjutnya diperkuat (lagi-lagi oleh konvensi) dengan makna yang ditunjuk (ciri bahasa manusia yang ke-7: kebermaknaan), maka tidak mungkin hanya ditulis angk kalau tidak ingin menjadi angek

Pada sisi lain, kata "tuhan" lebih merepotkan karena diawali konsonan t dan diakhiri konsonan n yang keduanya membutuhkan tenaga tambahan lagi ketika pengucapannya tidak menurut fonim semivokalnya. Misalnya saja "tuhan" menjadi tahan, tuhen, atau bahkan tahen. Kelelahan pengucapan ini ternyata masih bisa diperingan karena konsonan ha sudah memenuhi semivokalnya. Memang ketika dirangkai dengan huruf lain, semivokal dengan bunyi vokal di belakang lebih ringan dan mudah daripada di depan. Hal ini bisa dikarenakan kesepakatan untuk bunyi vokal mengikuti konsonan (semivokal) lebih banyak daripada yang bunyi vokalnya mendahului (berbanding 12:6, vokal 5, huruf yang lebih kompleks 3, yaitu q, x, z).

Kenapa harus "angka" dan "tuhan"? Sebelum menjawabnya, mari kita tinjau arti kata "angka" dan juga kata "tuhan". Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, "angka" diartikan tanda atau tulisan sebagai pengganti bilangan (Poerwadarminta, 1984). Sedangkan kata "tuhan" dalam kamus yang sama diartikan Allah, Tuhan Allah, Allah; Tuhan Yang Esa, Allah yang hanya satu. Lalu apa hubungan antara keduanya?

Dilihat dari artinya, kedua kata terebut memang tidak ada hubungannya blabar pisan. Tapi apa yang tidak bisa dihubung-hubungkan pada jaman sekarang. Hubungan ini bukan cuma hubungan yang stagnan, hanya mentok sampai pada tingkat "ketemu", seperti detektif yang mencari penitinya sendiri karena lupa tempat menaruhnya. Bukan juga hubungan seperti pada kebanyakan skripsi yang hanya mengait-ngaitkan (kalau tidak membandingkan) antara pikiran, perasaan, dan perbuatan. Seperti juga kawan Dauz yang menghubung-hubungkan antara cinta dan sendal jepit sebagai usaha menjawab bahwa semua bisa dihubungkan kalau kita mau. Namun di sini tidak akan sekedar membolak-balik antara "kata tuhan" dan "Tuhan (ber)kata". Di sini akan coba membahas unsur kebermaknaan yang pragmatis-fungsional dari bahasa yang akhirnya juga mengarah kepada ciri ke-6 (spesialisasi) dari bahasa manusia. Spesialisasi adalah efek bahasa yang dengan daya kecil menghasilkan dampak yang besar, baik fisik maupun psikis.

Dari sinilah hubungan antara "angka" dan "tuhan" dapat dirunut. Sementara kata "tuhan" kita biarkan dulu sendirian, mari kita bahas tentang "angka". Seperti pada paragraf awal tuisan ini, angka mempunyai efek dalam menjerat pengikut untuk mempercayainya. Banyak hal hanya bisa dianggap meyakinkan kalau sudah dikuantifikasikan dalam angka-angka. Penelitian misalnya, kuantitatif dianggap lebih meyakinkan daripada kualitatif, meskipun tidak lebih sangar (katanya sih). Buku-buku juga lebih laris manis dengan judul yang memanfaatkan kekuatan angka-angka: 10 Kiat Meraih Sukses, Meningkatkan Kemampuan Otak Dua Kali Lipat Hanya dalam Waktu 24 Jam, 6 Jurus Meruntuhkan Hati Lawan Jenis dan lain-lain. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah dalam bidang akademis. Ternyata angka (baca nilai) masih memegang pengaruh melebihi kualitas hasil belajar yang berupa kepintaran.

Dari uraian yang boros kata-kata di atas, dalam menghubungkan "angka" dengan "tuhan" mungkin cukup dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya perlu dirasakan untuk akhirnya bisa menghubungkan atau membandingkan "angka" dengan "tuhan". Apakah yang Anda rasakan ketika nilai Anda A, AB, B, BC, C, CD, D, DE, atau E (memang ada nilai seperti itu? J) yang sumbernya juga dari kategori angka-angka? Di sisi lain, bagaimana perasaan Anda ketika hari kemarin Anda nyontek atau tidak nyontek (nyontek dapat A= yess, berhasil nyontek; tidak nyontek dapat E=sial, kenapa dulu nggak nyontek saja). Tapi yang lebih ditekankan adalah pada perbandingan perasaannya (senang atau sedih) ketika berhubugan dengan angka dan ketika berhubungan dengan Tuhan. Bagaimanapun dalam menghubungkan tergantung pada tingkat bagaimana Anda merasakan.

Keperkasaan angka-angka yang menjurus pada dominasi tidak sepenuhnya salah konsumen (baca siswa atau mahasiswa), tapi juga diperkuat oleh kokohnya sistem yang menanamkan mental "angka tuhan". Dengan otoritasnya, sistem membangun anggapan bahwa A lebih pintar daripada E, tanpa melihat isi di balik A atau E tersebut. Penulis tidak bermaksud mengatakan angka telah dipertuhan. So, think it by your self!

KETIKA ORANG YANG TERLALU PINTAR TIBA-TIBA MENJADI BODOH

Ini bukan hukum karma seperti yang sering kita dengar dari cerita-cerita rakyat. Bukan seperti orang kaya yang sombong kemudian jatuh miskin. Bukan juga sebuah fenomena perpindahan dari daerah bodoh ke daerah pinter, atau sebaliknya. Maksudnya orang yang kelihatan pinter di daerah bodoh menjadi orang yang tampak bodoh di daerah pinter, atau orang yang ketularan pinter menjadi orang yang ketularan bodoh pada hukum berbanding lurus. Bukan, bukan itu semua. Semua kata bukan ini menunjukkan kepintaran. Sebuah proses pemecahan kategori dan penggabungan ke dalam bentuk kesimpulan. Kepintaran ini yang biasa disebut dengan ketajaman analisis. Semakin tajam pisau analisis yang digunakan, semakin dikatakan pinter seseorang. Masalah sintesis adalah masalah tanggung jawab. Manusia cerdas akan mengetahui tanggung jawabnya ketika melakukan analisis.

Ketika orang sudah memiliki pisau yang terlalu tajam, maka semuanya bisa dibabat. Seperti orang mengatakan sesuatu yang bisa dimakan. Sesuatu yang bisa dimakan belum tentu itu makanan. Ban, sendal, kaus kaki juga merupakan sesuatu yang bisa dimakan, tapi mereka bukan makanan. Sama seperti "bisa dibabat". Semuanya bisa dibabat, bahkan kata "bisa dibabat" ini mengacu kepada dua arah, segala pisau bisa digunakan untuk membabat, atau segala benda bisa dibabat dengan satu pisau.

Jika di sekeliling kita kebanyakan adalah orang bodoh, maka pisau kita bisa jadi tidak diandalkan meskipun ketajamannya tidak diragukan. Orang biasanya lebih suka menggunakan pisau lama yang tidak beresiko. Orang yang terlalu pintar di lingkungan yang terbiasa menggunakan orang bodoh, tidak akan terpakai, bahkan orang tersebut bisa merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia. Ketika aksi kepintarannya mulai muncul, kecurigaan dan kekhawatiran yang justru keluar. Takut orang ini akan membahayakan posisi orang-orang tumpul.

Perlu diketahui, ada perbedaan antara orang pintar dengan orang yang terlalu pintar. Orang pintar tidak selalu pintar, sedangkan orang yang terlalu pintar sudah pasti pintar. Orang pintar biasanya lebih mudah untuk menjadi robot dari orang bodoh, sedangkan orang yang terlalu pintar akan bergerak mengikuti kata hatinya, mendayagunakan otaknya secara mandiri, bukan orang latah, apalagi 'orang orderan'.

Perlu dibedakan lagi orang yang mengaku pintar dengan orang yang benar-benar pintar. Orang yang mengaku pintar bisa dipastikan dia orang bodoh. Sedangkan orang yang benar-benar pintar, bisa dipastikan memang pintar. Orang yang pintar tetapi mengekor pada orang bodoh, orang tersebut bisa dikatakan tidak bodoh, tetapi tolol alias blo'on bin guoblok.

Mencari orang yang terlalu pintar ini sulit. Jika ada, pasti berusaha disingkirkan oleh orang-orang bodoh. Orang bodoh lebih memilih orang pintar yang tolol daripada orang yang benar-benat pintar. Masih bingung? Ok, agar kesucian orang-orang yang pintar sungguhan tidak ternodai oleh tangan kotor orang bodoh, maka kita masukkan saja orang yang benar-benar pintar itu ke dalam kategori genius. Berarti harus menjelaskan lagi apa itu orang genius.

Orang genius sebenarnya juga orang pintar, tetapi memiliki dua hal yang menjadi keunggulannya dibanding orang pintar yang tolol. Pertama, orang genius selalu bekerja total, ada atau tidak ada perintah dari orang lain. Orang genius merasa bahwa apa yang harus dilakukan bukan karena orang lain, tapi lebih merupakan tanggung jawab terhadap pilihan. Kedua, orang genius mampu melihat pola dalam ketidakteraturan. Satu kata yang bisa menggantikan ciri kedua ini adalah kreatif. Kedua ciri ini saling berhubungan membentuk diri manusia genius secara utuh.

Fenomena yang terjadi sekarang ini, banyak orang yang merasa genius, mengaku genius, dan kelihatan genius. Orang-orang seperti ini biasanya adalah orang yang menghendaki kemapanan posisi pribadinya. Jika buku mengatakan bahwa meja adalah benda dari kayu yang berkaki empat, maka ia akan menolak jika kemudia ada meja dari besi. Pemikiran dari orang tolol ini jika menjadi kebiasaan akan terefleksi dalam sikap dan perbuatannya. Ini berkaitan lagi dengan pembabatan orang genius dengan pisau tumpul. Banyak orang genius yang kemudian bermunculan, justru merasa dirinya bodoh. Tekanan dan intimidasi dari orang yang mengaku genius benar-benar membuat dirinya tidak berharga. Begitu ia muncul, pras, prok, dess, dihabisi oleh orang-orang tolol yang bergaya genius.

Tulisan ini hanya sebuah bahan refleksi. Apakah Anda termasuk orang yang genius, mengaku genius atau hanya bergaya genius? Hanya diri Anda sendiri yang tahu. Bahan refleksi sebenarnya berasal dari fenomena. Fenomena yang terjadi adalah sebuah fakta. Beranjak dari sini, maka berhati-hatilah dengan orang genius yang tolol atau dengan orang goblok. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk di dalamnya. Naudzubillah summa naudzubillah [ ", ]

Thomasku

Saya adalah seorang dosen senior di Outhlubricant University, sebuah universitas kecil di negara bagian New Rock, Haramica. Nama saya Louis Leopold. Saya mengajar Fakultas Teknik. Saya diakui senior bukan karena saya tua dan menua di universitas. Selain memang saya ikut mendirikan perguruan tinggi kesayangan saya ini, saya juga orang paling progresif dalam memajukan PT yang sekarang dipimpin sahabat saya, seorang musuh dalam selimut yang selalu menemaniku tidur dengan cerita-ceritanya. Sedangkan saya masih menjadi dosen biasa tanpa jabatan apapun. Hanya saja saya memang dosen yang kharismatik. Setiap mahasiswi baru yang muda belia kenal dengan saya. Mereka selalu say hello ketika ketemu saya.

Keterlibatan saya dalam mendirikan universitas ini sangat besar. Saya ikut mengangkat batu, memanggul semen, mengaduk adonan pasir, menata batu bata. Dan saya tidak akan pernah melupakan jasa dari teman-teman seprofesi saya dalam mendirikan bangunan gedung yang cukup megah di hati saya ini. Mereka adalah pekerja keras yang tak kenal lelah. Bahkan mereka rela lembur untuk menepati deathline yang tak jarang ditetapkan secara mendadak. Karena bagi kita 1 hari mempunyai 24 jam, satu jam mengandung 60 menit, 1 menit memiliki 60 detik. Kita bisa menggunakan satuan apapun saat bekerja, asal kita tidak merasa tertekan dengan waktu yang menemani kita hidup. Paling tidak itu hanya bagian kecil dari kenangan manis saya pertama kali mendirikan gedung kampus ini.

Sebagai dosen yang progresif, kenangan manis selalu saya rasakan. Belum genap satu tahun meniti karier, saya sudah diberikan kepercayaan untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah projek besar. Ini hal yang membanggakan karena tidak semua dosen mendapatkan kesempatan yang sama. Beberapa dosen yang tidak memiliki kemampuan seperti saya dengan halus menolak pekerjaan yang mulia ini. Bahkan mereka sampai berjalan seperti pebalet saat pamitan sebelum jam resmi pulang untuk saya dapat saya nikmati.

Hal yang menyenangkan sebagai calon dosen tersohor adalah punya keluarga yang mengenal saya di kampus. Mereka adalah cikal bakal kekuatan untuk saya bisa dikenal lebih jauh. Rasa terimakasih saya pada mereka yang bekerja siang malam di kampus ini sehingga setiap hari bisa ketemu saya. Karena itu saya punya teman kalau pas kepayahan di malam hari. Keakraban yang terkondisi inilah yang membuat saya merasa punya keluarga di sini. Kehidupan pada saat melepas lelah adalah impian setiap anggota keluarga. Bercengkerama, saling berkeluh kesah, bercanda sampai perut kaku karena kebanyakan tertawa adalah momen-momen tak terlupakan.

Rasa syukur juga selalu terucap kalau saya teringat dengan mahasiswa yang tak kenal lelah membantu pekerjaan saya. Mereka adalah orang-orang jujur dan lugu dalam melakukan pekerjaannya. Mereka orang yang cerdas, meskipun tidak salalu menjadi pintar di setiap saat. Pelukan bagi mereka adalah kehangatan untuk timbulnya rasa memiliki bersama kampus tercinta. Pujian yang tulus membuat gairah selalu terpancar dan mengorbit di antara kita, dosen dan mahasiswa.

Di sisi lain, mahasiswa yang radikal dengan pemikiran dan perasaannya yang meluap setiap saat menjadikan saya selalu sadar bahwa saya adalah manusia, karena hal dasar yang melekat pada diri saya bukanlah seorang dosen, tapi seorang manusia, sama seperti mereka. Pemberontakan yang setiap saat mereka lakukan membuat saya bergairah karena setiap konflik yang menghadapkan saya dengan mereka adalah sebuah kesempatan untuk lebih sering memeluk mereka. Kehangatan akan tercipta dari suasana yang panas, sama juga ketika kesejukan terpacar dari sikap yang dingin. Terimakasih buat mahasiswaku yang pendiam, pemalu, ceria, bersemangat, radikal, pemberontak. Kalian adalah sumber inspirasi.

Hal yang paling "mengesalkan" adalah ketika saya punya seorang mahasiswa kesayangan yang sangat hebat. Namanya Thomas. Bukan hanya buah pikirannya yang inovatif, tapi juga bagaimana ia merasakan lingkungan di sekitarnya. Ia punya sense yang kuat dalam merasakan setiap niat dari lingkungan sekitarnya. Setiap ketulusan saya, selalu diartikan dengan caranya, sebuah apresiasi yang tak biasa. Ketika saya mengajarkan bagaimana membuka mata, maka Thomas sudah membayangkan bagaimana menciptakan teropong yang tembus pandang sampai ratusan mil. Tatkala saya mengajarkan bagaimana menyerap udara, ia sudah melompat dan mengatakan saya menemukan formulasi udara alternatif untuk bernafas selain O2. Bahkan ketika saya kesulitan memanggil-manggil dia karena keinginan saya untuk selalu menyapa, ia besoknya membawakan saya sebuah alat komunikasi nirkabel dengan berbagai variasi bentuk, mulai dari kaca mata, lensa kontak, atau yang ditanamkan di gigi.

Saya dan mahasiswa saya yang satu ini sering ketemu di sebuah seminar. Tak jarang kami berdua jadi pembicara di forum yang sama. Kita sering berdebat dengan landasan pemikiran yang sangat kuat. Hal yang membanggakan ketika saya sadar bahwa pemikiran saya yang saya ajarkan ke dia sudah dia kembangkan dengan lebih hebat. Mahasiswa saya yang luar biasa. Pada perkembangannya, pertemuan dengan dia selalu membuat saya mengalirkan keringat dingin, untung tidak sampai beku. Kehangatan yang diberikan oleh mahasiswa saya ini membuat kebekuan menjadi kesejukan.

Jika saya ketemu dengannya dalam sebuah kuliah, saya menjadi merasa kuliah menjadi lebih mudah. Dengan kepintarannya, anak itu membantu saya mengajari yang lain, bahkan saya banyak mendapatkan masukan bukan hanya pada isi materi, tapi juga bagaimana menyampaikannya. Thomas selalu membantu saya menyampaikan materi saya terkadang sulit buat saya. Thomas adalah penyambung lidah kuliah. Tak jarang ia menggunakan permainan untuk menggambarkan strukut atom dan chaos, membuat simulasi fraktal yang sangat mengesankan.

Belakangan ini saya sudah jarang ketemu mahasiswa saya yang dulu. Hampir semua yang ikut kuliah saya adalah wajah baru. Namun saya masih bisa merasakan semangat yang sama, berkobar di antara mereka. Semangat untuk saling mengingatkan, saling memberikan masukan dan menemukan serta mengembangkan ilmu-ilmu baru bersama. Bahkan mereka jauh lebih radikal. Bahkan ada sekelompok mahasiswa yang saya cintai membungkam idealisme saya dengan hedonisme yang eksotis. Mengajari pragmatisme yang fungsional, humanisme yang insaniah, dan spiritualisme yang berketuhanan.

Waktu terus berjalan dengan suguhan pengalaman yang indah dan tak terlupakan. Saya belakangan lebih suka menikmati keadaan tubuh saya yang mengingatkan pada Tuhan. Ternyata keadaan ini tidak cuma mendekatkan saya dengan Tuhan, tapi juga dengan mahasiswa-mahasiswi saya. Mereka berdatangan untuk meminta kuliah di ranjang saya. Semangat saya selalu timbul sampai saya lupa bahwa hari ini adalah nafas terakhir buat saya. Hampir semua mahasiswa berdatangan silih berganti, dari yang sudah seperti keluarga, teman, sampai yang tak tahu namanya sama sekali. Mereka datang untuk tetap mendengarkan kuliah-kuliah saya. Mereka menganggap semua yang saya bicarakan adalah kuliah, dan memang demikian. Saya membahas tentang persahabatan dengan mereka, mencoba menemukan makna hidup, saling membantu untuk meraaskan nikmatnya kesempatan bernafas, bahkan seorang mahasiswi datang hanya untuk mempersembahkan sebuah puisi yang indah:



hidupku tak luput dari tempat berpijak

bukan meninggalkan jejak

mutiara indah tak buatku beranjak

hanya jarak yang jadikan gairah memuncak


mentariku tlah pergi

aku setia tuk menanti

hati riang dari bayang-bayang

tangan kaki kuat karena ingatan membentang


matahariku telah tiba

hatiku kembali bersuka

semangat tersisa tak terputus masa

karena setiap kata tak pernah musnah


cinta membawaku pada diriku

cinta mengantarku menjadi diriku

aku dituntun oleh hayalanku

dipandu oleh kekuatanku


aku hidup

menghidupkan

tetap hidup

mengambil bagian kehidupan


Suatu ketika di detik-detik akhir yang mengawali kehidupan saya, saya teringat pada Thomas. Ingatan saya padanya membuat pengharapan yang semakin kuat. "Dia tidak akan datang. Mungkin dia sudah lupa. Lagian dia sudah menjadi orang terkenal. Lebih baik engkau pikirkan keadaanmu!" Nasihat seorang rekan. Bagus juga, tapi bagi saya keadaan saya sudah tidak terpikirkan lagi, tapi saya jalani. Keyakinan saya akan kehadiran Thomas semakin kuat. Setiap pikiran dan rasa saya memberikan kekuatan bagi perjalanannya menuju kepada saya.

Hari ini adalah hari terakhir. Saya hanya tahu hari, tapi tidak tahu di jam ke berapa, menit keberapa, atau detik keberapa saya akan mengawali akhir saya. Bergulirnya waktu tak menyurutkan harapanku akan hadirnya Thomas. Ternyata keyakinan menghubungkan saya pada semua kebetulan. Koran pagi ini berada di samping pembaringan. "Saya menemukannya!" teriak saya. Semua orang-orang di sekeliling ranjang tertuju pada saya.

"Po, ada tamu istimewa buatmu" suara wanita yang tak asing bagiku menggema di kamar yang menua dalam keremajaan. Seorang prian berjas melangkah agak cepat mendahuliu Nadya, istriku.

"Thomas!" sapaku kalem. Senyumku dibalas pelukan oleh Thomas. Koran yang masih di tangan saya menempel di punggung Thomas. Saya tidak ingin cepat-cepat melepaskan pelukan Thomas. Sampai saya rasakan dunia gelap dan saya tak sempat merasakan pengganti O2 yang nantinya akan diciptakan oleh Thomas[1].

Pertanyaan: Apakah dosen tersebut adalah salah satu dari kita? Jika tidak, mudah-mudahan menjadi guru dan murid sepanjang masa adalah salah satu cita-cita kita.


[1] Thomas Beta Edison

arti pilihan

berawal dari cengkerama obrolan ngalor ngidul, muncul pertanyaan dari seorang teman, sebut saja sherly (nama sebenarnya).

Sherly: Mas, kalo kamu suka sama orang, apakah sayangmu diberikan semuanya?

Aku: kalo pertanyaannya suka, ya yang aku berikan adalah sukaku semuanya. Tapi kalo pertanyaannya sayang, maka aku berikan sayangku semuanya.

Sherly: Mas ga takut sakit?

Aku: sakit?

Sherly: maksudnya sakit hati

Aku: kenapa harus takut? Kalo ga mau sakit hati, emang iya lah. Siapa sih orang yang mo sakit hati. Tapi kalo takut, ya buat apalah. Toh emang hidup kalo ga ketawa ya menangis, kalo ga senang ya sedih. Tapi bukan berarti dikotomis seperti itu sih.

Sherly: lha terus?

Aku: ya ada kalanya emang kudu menikmati kesedihan, atau menangisi kebahagiaan. Semuanya jg tergantung makna yang dilekatkan

Sherly: bisa seprti itu ya Mas? Trus soal sakit hati tadi, Mas pernah ngalami?

Aku: sering

Sherly: oh ya?!

Aku: mangkannya itu, aku udah terbiasa kali ya. Ada perubahan dari menganggap sakit hati sebagai penderitaan hingga menjadi sakit hati sebagai bagian dari hidup, seni menjalaninya.

Sherly: Mas berani juga ya?!

Aku: berani? hehehehe... bukan gitu. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika km memilih A maka B, C, D merupakan lingkup yang mempengaruhi ketika pilihan disajikan. Tetapi ketika keputusan diambil, maka yg lain tidak lebih dari bunga2nya. Jalani aja pilihanmu, toh km jg ga akan bisa membandingkan dengan pilihan yang lain yg sudah terabaikan.

Sherly: tapi kok masih banyak orang yg menyesali pilihan ya Mas?

Aku: itulah arti dari konsistensi pilihan dan konsekuensinya. Sebernya mereka rugi, karena hanya bisa membandingkan dengan rekaannya, bukan senyatanya. Mereka hanya membandingkan pilihannya (misalnya A) dengan B', C', D' dll yang hanya rekaan, bukan B, C, D dst yang sesungguhnya. Rugi kan?!

Sherly: iya jg ya Mas. Trus kalo milih cewe neh ya Mas. Kalo tiba2 ada yg lebih cantik gitu gimana dg pilihan kita?

Aku: itu lah pilihan, ttp ada konsekuensinya. Hanya saja, apakah kita bisa konsisten dengan itu. Kalo kita memilih sesuatu yang lebih, terus gimana sesuatu yang kurang. Sedangkan semuanya ada kelebihan dan kekurangannya masing2. Bisa jadi kita mengingkari seseorang karena kekurangannya dan kita memilih sso yg menurut kita lebih. Gimana perasaan kita jika ternyata orang yg kita anggap lebih itu jg lebih memilih orang lain yg dianggap lebih? Kesenangan atau kebahagiaan itu bisa dibangun, diciptakan, toh dialog terciptanya kebahagiaan jg bisa dibentuk dari diri kita sebagai pusat, meskipun lingkungan jg berpengaruh. Tapi paling tidak naluriah kita yg egosentris ttp memegang peranan. Jadi kebahagiaan atau kesenangan kita ttp ada pada diri kita, tergantung bagaimana kita memaknai sst

Sherly: ok deach Mas. Lain kali disambung ya?!

Aku: Ok

Bercinta Ala Pecinta


“Di sini gelap..”, mataku melihat sekeliling. Sejurus ia mengalah, ”Wow, udaranya sejuk!”, kulitku tak mau kalah. Pori-poriku jadi melebar. Aku rasakan setiap tetes cairan menelusup, membuat ubun-ubunku dingin. Kepalaku seperti mengembang. Ada sesuatu yang mendorong di ujung kepalaku. Aku tumbuh, aku membesar, aku berubah jadi kekar, aku bertambah lebih tegar.

Ku kuak tanah yang memungkinkanku membayangkan siang. Jendela terbuka dan ku sadar akan cahaya. Aku tengok kembali tempatku berpijak tatkala malam. Tanah gelap yang mungkinkan ku rasakan nikmatnya terang.

Menatap masa depan berbekal kenangan. Silau menuntunku pada tatap energi harapan. Kembali pori-poriku terbuka. Ku rasakan tiap sentuhan lembut mengalir tanpa luka. Kekuatan alam melesat terarah, menuju pusara diri. Setiap degupnya menyuarakan rasa. Di sini, dalam hati.

Kini mulai ku rasakan yang berbeda. Cinta yang diterjemahkan dalam bahasa remaja. Setiap ku tatap ronanya hatiku berbunga. Setiap ku dengar suaranya tak henti mendamba. Setiap ku sentuh kulitnya dadaku meronta. Rasaku berkelana dalam cintamu. Pujaku menggilas benci pada sisi yang sama. Semua terbawa pada satu gairah, cinta, cinta, dan cinta.

Aku jatuh cinta apa yang aku lihat, apa yang aku dengar, apa yang aku cium, apa yang aku rasa, apa yang aku kecap. Segala yang menerpa kuserap dengan rasa cinta. Semua yang menyapa ku sambut dengan penuh kasih. Cintaku setia, seperti manusia mencintai sesama, manusia mencintai keluarga, manusia mencintai kekasih, dan manusia mencintaiTuhannya. Air menghapus dahaga, memberi energi, tanah menyuapi dengan hara. Namun cintaku menggerakkanku ke sana, ke arah surya. Cinta yang setia menuntunku untuk selalu bercengkerama, cinta yang setia membimbingku untuk selalu bersenggama, cinta yang setia menggiringku jatuh di pelukannya. Oh, suryaku, kekasihku, cintaku.

Demikianlah, aku menggunakan tangan untuk bercinta, kaki mengejar sang dicinta, mata nyalang menerjang setiap bayang kasih. Setiap diri dipenuhi cinta, bergerak dengan cinta, menyambut dengan cinta, berbagi cinta, memberi cinta, mencintai pecinta, setia pada yang dicinta.

~ The Plant ~