Minggu, 26 Juni 2011

Belajar: Aktif Vs Kreatif

Pagi-pagi, habis beres-beres dan nganter Abe ke tempat momongnya, langsung sabet smartphone dan laptop. Tangan ini tak ingin berhenti nyerocos di layanan instant message. Saya asik berdiskusi tentang sesuatu yang beberapa hari ini membuat otak gatal (hem.., butuh sampo untuk otak ini), yaitu tentang pengalaman mengikuti active didactive learning pada dua hari sebelumnya. Ini lah barang antik yang belakangan ini ditimang-timang di tempat kerja, sebuah barang yang sedang hangat digandrungi.

Berbicara tantang belajar dalam dunia pendidikan, ternyata tak luput berbicara tentang kreativitas dalam menyelenggarakan prosesnya. Di malam sebelum tulisan ini dibuat, saya memancing para rudict (follower twitter saya) untuk membahas tentang kreativitas. Karena pancingannya belum mantap, maka otak yang gatal ini tak bisa dibendung, dan tertuanglah dalam tulisan berbagi pengalaman ini.

Sebelumnya saya ceritakan dulu secuplik pengalaman saya waktu ikut pelatihan. Pada pelatihan active didactive learning bersama trainer bule kemarin, setiap orang membuat rancangan belajarnya masing-masing. Sebagian besar membuat rancangan untuk memberikan pengetahuan teoritik (dan ada juga historis) kepada mahasiswa.

Rancangan yang dibuat oleh peserta training bagus-bagus. Bisa dikatakan kreatif. Tapi ada juga rancangan belajar yang luar biasa, yaitu milik Fathoni. Ia merancang pembelajaran selama satu semester (kalau tidak salah untuk MK Sosial Terapan) dengan membuat projek film.

Dibandingkan dengan rancangan yang lain, rancangan milik Fathoni ini memang lebih liar. Sementara itu, rancangan yang lain dibuat linear, dengan analogi satu banding satu, dan diperuntukkan untuk mentransfer pengetahuan. Karena itulah, masukan yang datang dari peserta training yang lain berkisar tentang pemberian teori, tuntunan dan aturan, serta keharusan untuk masuk kelas secara rutin. Padahal menurut Fathoni, desain rancangannya yang berbasis projek ini hanya membutuhkan konsultasi dan implementasi.

Sekilas tampak perbedaan cara berpikir yang linear dan nonlinar antara Fathoni dan peserta workshop yang lain. Kedua cara berpikir ini bisa dianggap kreatif, atau paling tidak mereka memandang cara berpikir mereka masing-masing adalah kreatif. Tapi kalau sama-sama kreatif, kenapa keduanya berbeda?

Itulah uniknya kreativitas. Banyak orang menyangka kreativitas itu dalam prakteknya hanya melihat dari sisi kutub sebelah: tidak kreatif. Jadi orang menganggap kreatif hanya lawan dari tidak kreatif. Jika orang terbiasa menggunakan otak kiri, maka menggunakan otak kanan dianggap kreatif. Jika orang terbiasa terikat, maka kebebasan dianggap kreatif. Padahal tidak demikian. Kereativitas itu seperti kantong raksasa ajaib yang bisa memasukkan segalanya. Dalam kantong tersebut ada linear-nonlinear (bahkan diantaranya atau pilihan lainnya), ada abstrak dan konkrit (bahkan diantaranya atau pilihan yang lainnya), ada titik, bidang, ruang dan sebagainya.

Berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap training active didactive learning, kreativitas satu kutub masih hidup subur di dalamnya dengan kutub kiri yang masih merajai. Kenapa saya katakan demikian? Karena dari komposisi peserta saja, Fathoni jadi orang tunggal yang berbeda dengan kerativias lain yang lebih dianggap tertata teratur. Dari sini juga terlihat ada kutub-kutub cara berpikir yang berbeda: teoritis-praktis, kutub otak kiri dan kanan (kepala dan hati). Dari kutub otak kiri dan kanan, muncul kutub-kutub lain: kutub konkrit-abstrak, linear-nonlinear, teratur-acak.

Berdasarkan teoritis dan praktis, ada peserta yang selalu menekankan pada teori, teori dan teori serta melupakan praktek. Padahal kreativias itu selalu menginjak bumi. Kreativitas mengajak untuk menyatukan yang teori dan kenyataan di lapangan.

Di pelatihan itu, di sana sini terdengar kekhawatiran bahwa mahasiswa tidak terkendali, tidak membaca buku, tidak tahu teori. Jika ada satu ide saja yang liar, maka kekhawatiran yang seperti itu selalu muncul. Padahal perlu kita cermati lagi ide liarnya seperti apa. Jika ide liar itu memang ditujukan untuk berkreasi, mahasiswa mampu mencipta, maka kebebasan itu tidak perlu dikhawatirkan. Bukankah orang akan jadi lebih kreatif jika dibebaskan? (cek video keren ini). Semakin banyak aturan, maka ruang kreatif jadi semakin sempit.

Dalam kreativitas, kekhawatiran mahasiswa jadi tak mau belajar dan tidak terkontrol tidak perlu terjadi. Mosaic Learning melihat fenomena seperti ini dengan sudut pandang kreatifnya, karena kreatif itu bukan soal kebebasan mutlak. Kreativitas membuat aturannya sendiri dalam diri subjek, dalam hal ini mahasiswa yang diberikan projek (seperti idenya Fathoni). Semakin kita membebaskan, semakin bisa mahasiswa membuat aturan. Kemandirian dan penghargaan ini yang menjadi kunci tetap hidupnya kreativitas mahasiswa. Apakah sudah masuk logika kita? Jika mata kreatif kita belum terbuka, rasanya pikiran kita akan masih berpikir keras untuk bisa menerimanya.

Namun demikian, hal ini masih bisa diperjelas. Dalam melakukan sebuah aktivitas pembelajaran, sebenarnya ada tiga komponen utama yang bisa diolah, yaitu modalitas (terutama kekuatan mahasiswa), hasil yang ingin dicapai, serta proses yang dijalankan.

Dalam training active didactive learning, kebanyakan orang menyarankan untuk mengolah proses. Ini harus lebih hati-hati, karena bisa jadi, pengelolaan proses yang berlebihan akan mengurangi ruang kreatif mahasiswa. Jika pengelolaan prosesnya lebih kepada cara fasilitator dalam memandu keseluruhan proses pembelajaran, itu tidak terlalu bermasalah. Tapi jika fasilitator banyak mengintervensi proses yang dirancang oleh mahasiswa, maka itu yang akan jadi masalah buat kreativitas mereka.

Sebenarnya, yang bisa tetap kita kelola adalah hasil atau modalitasnya. Sepakati atau buat saja kriteria yang tidak membatasi untuk hasil projek atau tugas mahasiswa. Seperti apa kriteria yang tidak membatasi itu?

Coba sejenak kita beranalogi. Jika halaman kita kotor dan kita ingin meminta anak untuk membersihkannya, maka kita bisa memberinya perintah. Ada perintah yang berbunyi, “Ambil sampahnya dan masukkan ke tempat samah!”, tetapi ada juga yang seperti ini, “Buat halaman ini menjadi bersih dan indah!”. Bisakah kita membandingkan bagaimana efeknya? Perintah yang pertama sudah (bahkan terlalu) jelas dan menuntun. Efeknya adalah anak akan memungut sampah dan memasukkan ke tong sampah. Apakah dia akan membersihkan noda atau mencabut tanaman yang sudah mati, atau menyiraminya? Saya yakin, tidak. Bagaimana dengan stimulus yang kedua? Anda bisa merasakannya sendiri.

Selain mengelola hasil, modalitas juga bisa diolah. Membiarkan mahasiswa belajar dengan gayanya merupakan pengelolaan modalitas tersendiri. Biarkan yang visual belajar dengan gayanya, juga yang auditorik, intelektual maupun somatik. Selain itu, modalitas di luar diri mahasiswa juga berhak mereka kelola. Modal materi, apa yang mereka punya, atau relasi yang mereka miliki, juga bisa menjadi modal terendiri. Membantu mahasiswa meng-inquiry modalitas ini juga bisa membantu. Atau jika mahasiswa sudah menyadari modalitasnya, kita bisa mengatakan, “Gunakan apa yang kita miliki, modal yang kita punyai!”, sehingga pembuatan film oleh mahasiswa Fathoni tidak terlalu dipusingkan dengan modal materi yang harus digunakan.

Demikian sekelebat ulasan tentang kreativitas. Jadi, selain kita terus membiasakan menjadi kreatif, juga jangan berhenti untuk menyebarkan virus yang dapat membuat orang lain terbiasa menjadi kreatif.

Rabu, 22 Juni 2011

Membuat Cerita Itu Sulit? Ayo Kita Sederhanakan!

Sekarang kita akan lanjutkan pembahasan tentang bercerita dan membuat cerita. Untuk pembahasan level kedua ini, mari kita belajar membuat cerita.

Membuat cerita sama dengan pekerjaan people helper yang lain, yaitu membantu mewujudkan atau mengubah kondisi dari seseorang. Pengubahan kondisi ini bisa diarahkan atau hanya berupa tuntunan dengan stimulasi yang inspiratif. Nah, cerita lebih bersifat menginspirati, tidak menggurui maupun memaksa untuk berubah. Itupun, sifat cerita juga berbeda-beda, ada cerita yang kea rah mengarahkan atau bertujuan menginspirasi.

Terjebak dalam tujuan inilah yang menjadikan sulit dalam membuat cerita. Fokus kepada tujuan, sudah pasti harus. Akan tetapi, banyak orang yang kurang bersabar dalam pencapaian tujuan itu, sehingga ceritanya jadi instant. Seperti berbagai makanan instant yang mudah cara mengolahnya dan cepat juga memenuhi hasrat untuk kenyang. Tapi rata-rata makanan instant itu kurang baik kandungannya dan bisa jadi cepat membuat lapar kembali. Namun demikian, tujuan tetap harus dipegang dan jangan sampai lepas dalam keseluruhan cerita, setiap detil cerita.

Teringat waktu membuat cerita tentang “Aku Sayang Ibu”. Cerita ini berkisah tentang seekor lebah yang bernama Libi yang membenci ibunya gara-gara tidak berhasil mencapai garis finis saat berlomba lari dengan teman-temannya. Libi yang diakui punya kecepatan terbang yang tinggi jadi malu karena gagal, dan kesalahan ini ditimpakan kepada ibunya yang dianggap mengahalanginya saat menyuruhnya makan.

Pemulihan rasa sayang Libi kepada ibunya ini tidak harus dengan menyuruhnya untuk sayang atau menasehatinya secara frontal, baik yang dilakukan oleh ibu maupun tokoh yang lain. Cara halus untuk mengubahnya bisa dengan menggunakan titik balik peristiwa. Dalam cerita “Aku Sayang Ibu”, titik baliknya adalah dilepasnya gips penyangga tulang Libi yang pada waktu kecil pernah patah. Ibunya hanya menginginkan Libi cepat pulih, sehingga dia rajin mengawasi, memintanya makan dan menemani berlatih lari. Nah, seperti itulah tujuan difokuskan dan tetap dipegang dalam keseluruhan cerita.

Lalu bagaimana mencapai tujuan itu? Tentu ada keterampilan yang harus dibangun dari tokoh utama dalam cerita. seperti pada pemunculan insight dalam cerita “Aku Sayang Ibu”, membangun keterampilan juga dilakukan dalam bentuk titik-titik peristiwa. Di cerita dengan tokoh lebah ini, pembentukan keterampilan yang dimaksud adalah proses pemulihan rasa sayang Libi kepada ibunya.

Peristiwa Libi mendorong ibunya saat tidak suka ditemani ketika latihan berlari, sehingga makanannya jatuh berantakan adalah contoh peristiwa yang mengasah keterampilan. Saat Libi mengetahui bahwa ibunya begitu perhatian akan kondisi lengannya yang sejak kecil ternyata patah, saat itulah berbagai kisah yang pernah dilalui mampu mengembalikan rasa sayang Libi kepada ibunya. Kejadian ketika Libi mendorong ibunya yang semula hanya peristiwa biasa, kemudian menjadi peristiwa yang mampu mendatangkan pelajaran bagi Libi.

Bagaimana keterampilan itu bisa diolah? Membutuhkan stimulus yang berupa persoalan yang melecutkan dibutuhkannya keterampilan itu untuk diasah. Dari cerita “Aku Sayang Ibu”, peristiwa pelecutnya adalah kegagalan Libi memenangkan adu lari saat bermain bersama teman-temannya. Pada waktu itu ibunya yang selalu mengontrol kondisi kesehatan Libi menawarinya makan siang, karena sejak pagi belum makan. Peristiwa ini membuat Libi tidak suka dengan ibunya, terutama jika ditemani ketika berlatih lari untuk persiapan olimpiade. Libi menanggap kehadiran ibunya tidak berarti, bahkan menjadi masalah yang menghambat keberhasilannya.

Keselruhan sharing cerita “Aku Sayang Ibu” itu tadi sebenarnya adalah alur pembuatan cerita yang oleh George W. Burn disusun dengan urutan H K M (Hasil, Keterampilan, Masalah). Jadi dalam membuat cerita berkebalikan dengan bercerita. Dalam menyajikan cerita, urutanya adalah M K H (Masalah, Keterampilan, Hasil).

Jadi untuk mudahnya, dalam membuat cerita, 1) Tentukan tujuan dan tetap fokus kepadanya, 2) Membangun atau mengelola keterampilan, 3) Masalah yang membutuhkan pengelolaan keterampilan untuk pencapaian tujuan. Mudah kan membuat cerita? Selamat membuat cerita Anda!

Info penting: Nantikan cerita AKU SAYANG IBU di web Indonesia Bercerita.

Selasa, 21 Juni 2011

Ayo Mendidik Anak Indonesia dengan Bercerita!

Sebuah tweet dari kak @bukik yang kurang lebih berbunyi, “Bercerita itu mudah. Tapi tidak semua orang bisa merancang modul bercerita” (lebih 140 karakter tidak ya? hehe), mengingatkan pada diskusi di Matchbox Too tentang hambatan bercerita. Berbicara tentang bercerita, terdapat dua bentuk kegiatan pokok, yaitu menyajikan cerita dan menciptakan cerita.

Seperti halnya mendengarkan cerita, bercerita sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Coba ingat lagi, ada tidak waktu dalam sehari saja yang terlewatkan tanpa cerita. Mungkin hari ini kita tidak bertemu orang, tapi bisa jadi kita tetap ketemu cerita lewat media massa. Apalagi bagi yang suka ngerumpi, berbagi informasi diskon dan big sale (ehem #nyindir). Di tempat kerja juga taka sing yang namanya ngerasani (don’t try this at home!) yang juga berupa cerita. Mendengarkan dan bercerita adalah paket yang biasanya langsung terjadi secara simultan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi ternyata bercerita juga ada juga penghalangnya. Secara informal, bercerita sehari-hari tentu sangat mudah. Tapi kalau sudah diformalkan dalam bentuk cerita yang akan dibagi, maka hambatan itu muncul seperti sebuah sedak yang memuntahkan makanan yang sebelumnya kita nikmati. Ini juga terjadi di Indonesia Bercerita (@IDcerita) ketika ajang penjaringan cerita dilakukan. Minat baru meningkat ketika dibalut dengan kuis yang memberikan hadiah.

Jika kita dibebaskan bercerita, tanpa harus punya kepentingan tertentu yang merusak kesenangan, saya yakin akan banyak tumbuh pencerita dan gairah bercerita. Defens muncul ketika kita berpikir akan banyak orang yang mendengarkan cerita kita. Jangankan didengarkan orang banyak, saat perekam disodorkan (oleh diri sendiri sekalipun), defens itu muncul, dan tercekatlah suara kita.

Kebiasaan merekam cerita ternyata sama sulitnya dengan kebiasaan menuliskan ide. Karena itulah podcasting perlu dibudayakan. Podcasting itu adalah merekam aktivitas kita baik audio maupun visual. Jika apapun sudah terbiasa direkam, maka ceritapun juga akan masuk di dalamnya. Membiasakannya sebenarnya mudah, hidupkan perekam dan lakukan aktivitas seperti biasa. Untuk Anda yang biasa bercerita kepada anak, adik atau keponakan, lakukan saja terus. Aktivitasnya cuma ditambah satu, hidupkan perekam dan letakkan di dekat Anda. Dengarkan kembali. Kalau suka, jangan lupa berbagi.

Jika bercerita dan merekamnya dianggap susah, bagaimana dengan menciptakannya? Tentu saja tantangannya lebih besar. Lebih sulit lagi jika menciptakan cerita berbasiskan menulis. Bukan rahasia, berbicara lebih mudah daripada menuliskannya. Ide lebih mengalir saat dikatakan, tetapi jadi mampet saat dituliskan. Berbicara mencipta cerita, memang tidak harus menulis. Jika kita lebih nyaman menggunakan lisan, maka silahkan merekamnya.

Untuk sementara, kita biasakan bercerita saja dulu. Jika sudah merasakan nyaman, jangan lupa merekamnya. Kalau mau berbagi manfaat dari isi cerita, maka jangan ragu untuk memberikan kebaikan buat yang lain.

Level selanjutnya adalah pembahasan tentang membuat cerita. Membicarakan membuat cerita, berarti akan masuk level tantangan berikutnya. Dan tantangan tertinggi, seperti di tweet kak @bukik, membuat desain pembelajaran untuk mengajari orang bercerita dan membuat cerita adalah tingkat yang tertinggi. Tunggu saja pembahasan berikutnya.

Minggu, 19 Juni 2011

Manajemen Ge-Er untuk Menulis

Teringat sesuatu dari pegalaman membaca bagian tertentu dari buku tentang pembelajaran quantum. Di pembahasan tentang pikiran, dikatakan bahwa pikiran tak bisa dihentikan. Apa yang tidak ingin kita pikirkan, pikiran memikirkannya. “Jangan berpikir tentang gajah merah!”, maka seketika itu juga kita memikirkan bentuk atau gambar gajah yang kita warnai merah dengan imajinasi kita. Hal ini menujukkan betapa dahsyatnya pikiran.

Kehebatan pikiran ini juga bersesuaian dengan cerita dari Abrahm Jahn tentang diskusi dalam sebuah kelas. Guru bertanya kepada para murid tentang apa hal terbesar dalam hidup mereka. Ada yang menjawab ayahnya, karena ia yang paling besar dalam keluarga. Ada pula yang menjawab gajah, karena hewan itulah yang terbesar di kebun binatang yang pernah ia kunjungi. Seorang murid yang brilian mempunyai jawaban cerdas, yaitu mata. Menurutnya, ayah temannya maupun gajah yang ada di kebun binatang dapat masuk ke dalam mata dia, karena itu matalah yang terbesar menurutnya. Namun menurut Abrahm Jahn ada jawaban yang lebih cerdas, yaitu pikiran. Pikiranlah yang paling besar, karena pikiran tidak hanya memasukkan apa yang diindera, tapi juga apa yang sama sekali tak ada, imajinasi.

Karena dahsyatnya pikiran itulah, sebenarnya kita punya modal yang luar biasa untuk menjadi kreatif, untuk menuangkan ide dala tulisan. Dengan kata lain, sumber yang bisa kita gunakan untuk berceloteh sangat melimpah. Selain kita bisa melaporkan pandangan mata, membuat deskripsi yang kuat, kita juga bisa mengola apa yang tak terlihat, meramu imajinasi. Buat orang yang spirit hidupnya menulis, maka segala sumber adalah pencerah hidup buatnya.

Seperti halnya tulisan ini yang membuat jari terotomatisasi untuk menari. Baru bangun, langsung sambar laptop dan membiarkan hati bersua dengan tulisan. Apakah menurut Anda menulis itu susah? Atau Anda tergolong yang suka, sehingga itu terasa mudah?

Dulu, menulis itu jadi hal yang menyiksa. Kalau ada tugas dari dosen yang harus dituangkan dalam makalah, wah saatnya bunuh diri di depan mata. Menghasilkan tulisan saja sudah menguras keringat. Rasanya tubuh panas dingin dan pengen muntah.

Beranjak waktu berjalan dengan adanya kelompok studi yang sering berdiskusi, maka menulis mulai dibiasakan. Dulu saya suka hanya membuat tulisan selembar yang cuma berisi tiga sampai empat paragraf. Tapi ternyata tulisan itu banyak disuka, terutama oleh para angkatan tua (ketauhan pangsa pasarnya para pemuda bangkotan).

Tulisan yang mendapatkan apresiasi yang luar biasa adalah tentang tiga manusia genial, yaitu Darwin, Einstein dan Freud. Ketiganya sekarang sudah menjadi ironi jaman. Tak tahulah apakah masih relevan jika tulisan itu dibaca sekarang, mengingat tulisan itu lahir sekitar tahun 2003. Tulisan Cuma empat paragraf pendek itu berhasil membesarkan hati.

Sampai atu saat saya baca sobekan artikel tentang menulis. Ada bagian yang menarik disampaikan oleh Hary Rusli (kalau tidak salah) tentang tips menulis. Menulis itu perlu dibiasakan. Kadang yang menghambat menulis karena orang sudah ke-ge-er-an. Yang dibayangkan, tulisannya akan dibaca ribuan orang serta akan dicela dan dicerca mati-matian. Tak ayal, keluarlah keringat dingin yang menyertai ketakutan.

Dengan cara apa membiasakan menulis? Jika memang dibaca orang jadi pertimbangan yang tak terelakkan, maka mulailah membuat tulisan yang sama sekali tak dibaca orang lain, yaitu buku harian. Bahasa pribadipun dihalalkan dalam buku harian. Perlu diketahui, bahwa tulisan di blog pribadi atau di majalah, yang diminati dan gampang diterima adalah yang menggunakan bahasa sehari-hari.

Setelah terbiasa menulis buku harian, bolehlah mulai membuat surat pribadi. Dalam surat pribadi kita bisa cerita sesuatu kepada orang lain. Sepertinya tulisan berisi curhat, tapi sebenarnya di balik itu kita belajar membuat tulisan yang bentuknya cerita.

Jika kepercayaan diri mulai terbentuk, maka mulailah berani membuat tulisan untuk publik terbatas, misalnya mading. Majalah dinding hanya dinikmati oleh kalangan terbatas. Paling dari satu sekolah maksimal 35% yang menikmatinya. Paling tidak prosentase sekian bisa jadi umpan balik yang sehat buat kita.

Sebenarnya ada alternatif lain yang semisal majalan dinding, yaitu blog. Web pribadi ini bisa memfasilitasi, karena punya sifat yang sama. Hanya saja, publik yang menikmatinya mungkin lebih luas. Tapi ini sangat fleksibel, yang kebetulan tahu blog kita atau yang kebetulan menemukannya di search engine saja yang akan memelototinya. Jika sudah merasa yakin, tinggal promo saja tulisannya dengan memberikan tautan di media sosial atau sejenisnya.

Nah, jika sudah merasa enjoy menulis, barulah membuat tulisan untuk surat kabar. Tentu saja tulisan yang dimuat di surat kabar akan dibaca oleh khalayak (karena itu selalu dihubungkan dengan layak atau tidak hehe). Demikian kira-kira isi artikel yang menghubungkan menulis dengan konsumsi massa.

Lepas dari perhatian pada konsumen yang membaca, mengawali belajar menulis bisa menggunakan jalur apa saja. Bahkan sekarang media sosial semacam facebook atau twitter bisa jadi lahan narciss untuk pamer tulisan. Di facebook bisa membuat tulisan di notes. Twitter bisa membuat tulisan bersambung atau memerikan tautan ke blog pribadi. Saya pikir semua hal yang dapat dimanfaatkan untuk membuat kita enjoy menulis, bisa dilakukan.

Bahkan sekarang sudah disediakan media menulis yang lebih panjang, yaitu dengan membuat buku. Jika dulu kita menulis buku harus menghadapi pagar mata sinis dan pikiran kritis dari para editor, sekarang kita bisa melakukan publikasi pribadi atau self publishing. Penerbit buku online bisa jadi acuan, misalnya nulisbuku.com. Dengan media ini pula beberapa tulisan saya, baik sendiri atau bersama orang lain, telah diterbitkan. Sebut saja “Suara Bisu”, “Suara Kecil”, “22 Hari Bercerita vol 1”. Rencana ke depan juga akan dipublish novel “Sacrifice” dan buku tentang bercerita yang sekarang sudah ada versi buku elektroniknya (e-book) yang bisa diunduh gratis di http://blog.indonesiabercerita.org/.

Demikian kira-kira tulisan tentang menulis yang saya bagi ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita untuk bisa selalu punya gairah menulis dan menulis. Akhirnya, selamat menulis!

Sabtu, 18 Juni 2011

Sura Kecil

Awal Mula

Berawal dari salah pengertian. Mulanya saya diminta untuk mengoordinir teman-teman penulis, yaitu Adyta Purbaya (@dheaadyta) dan Bellanissa B. Zoditama (@bellazoditama) untuk membuat cerita anak. Tapi saya keduluan, justru Dhea yang mengajak menulis bersama. Karena memang dari sononya suka menulis, maka, “Ayo kita lakukan!”. Saling bersambutlah gayung antar tiga penulis, saya (@rudicahyo), Dhea dan Bella.

Mulailah masing-masing menulis, paling tidak lima cerita untuk setiap penulis. Sempat terpikir untuk membuat 10 tulisan, biar stoknya banyak. Tapi karena kesibukan yang menderu, maka baru bisa membuat empat tulisan.

Bertiga saling nyetor tulisan. Maksudnya akan dilengkapi jadi lima tulisan, tapi kata para partner, cukup membuat sepuluh tulisan saja untuk bertiga. Hasilnya, saya membuat empat tulisan (Rabito Belajar dari Roboto, Pertempuran Air, Seruling Pohon Hujan, Ayo Menggosok Gigi), Dhea dengan tiga tulisan (Ayah Dimana?, Terbalik, Pencuri Kakak) dan Bella menulis tiga (Catatan Menuju Surga, Maafkan Manda ya, Nek, Anak Hujan).

Tulisan saling diedit dan dijadikan satu bendel file. Selanjutnya memikirkan judul buku. Ada ide Children Short Stories. Menurut saya itu judul yang menarik. Tapi judul itu sepertinya hanya menyebutkan jenis tulisan atau jenis cerita, yaitu cerita untuk anak. Muncullah ide spontan tentang judul Suara Kecil. Judul ini diinspirasi karena sifat cerita, yaitu yang beruba cerpen. Karena boleh saja menyebut cerita pendek sebagai cerita kecil. Makna lain yang muncul dari judul Suara Kecil adalah, kisah-kisah ini diceritakan oleh anak kecil, atau cerita ini diperuntukkan untuk anak kecil. Atas pertimbangan simple dan kaya makna inilah judul itu dipilih.

Lengkaplah sudah satu buku dengan judul Suara Kecil. Selanjutnya draft dikirimkan ke penerbit online, nulisbuku.com (@nulisbuku). Setelah proses proofread dan pengeditan cover, maka buku siap live dan siap di pesan di nulisbuku.com


Karakter Cerita

Entahlah, mungkin benar, tulisan dan gaya menulis mencerminkan penulisnya. Kebetulan, dan baru disadari kemudian, saya, Dhea dan Bella punya gaya menulis yang berbeda.

Pertama saya (aduh, jadi bahas diri sendiri nih). Cerita yang saya tulis lebih bersifat imajinatif. Nuansa metafornya juga kuat. Sebut saja cerita Seruling Pohon Hujan yang menceritakan kecurangan dan keserakahan yang berdampak pada kejadian ajaib. Cerita ini bertokoh manusia dan mengalami peristiwa yang bersifat imajinatif. Berbeda dengan Rabito Belajar dari Roboto. Cerita ini mengisahkan tentang pembelajaran dari siapapun. Modelling sebenarnya proses belajar yang biasa. Tetapi jadi luar biasa karena tokohnya adalah kelinci. Jadi, letak metaforanya ada pada tokoh.

Beda lagi dengan Bella yang bercerita secara lugas. Pesan yang dikemas dalam cerita, disajikan dengan gamblang apa adanya. Deskripsi yang kuat membuat pembaca masuk dalam jalannya cerita, menikmati alur dan merasakan suasana cerita. Anak Hujan adalah contoh cerita yang membuat kita menjadi anak penawar jasa payung, yang merasakan dinginnya tiap tetes hujan. Catatan Menuju Surga juga mengajarkan media pembelajaran yang riil untuk mengubah kebiasaan, mengubah perilaku. Dengan demikian, cerita Bella mudah untuk diselami, seperti mengalaminya sendiri.

Lebih-lebih lagi cerita yang ditulis Dhea. Sebenarnya hampir mirip dengan Bella, yaitu lugasnya isi cerita. Bedanya adalah pada gaya berceritanya. Dhea membuat pembaca menjadi dirinya, masuk dalam cerita dengan bahasa ‘aku’. Gaya cerita bertutur membuat cerita yang ditulis Dhea sangat mengalir. Emosi yang disuguhkan juga sangat kuat. ‘Aku’ membantu kita masuk lebih dalam, sehingga setiap perasaan tokoh utama juga dirasakan oleh pembaca. Kita dapat measakannya dalam Pencuri Kakak atau cerita Ayah Dimana?

Demikian karakter cerita dari masing-masing penulis yang disajikan seperti bunga rampai beraneka warna dan aroma di buku Suara Kecil. Ayo segera miliki dan baca bukunya!


Suara Kecil dan Pohon Karakter

Pohon Karakter adalah panduan mudah untuk membentuk karakter anak melalui cerita. Di pohon karakter disajikan berbagai karakter yang dimiliki anak Indonesia.

Selain digunakan untuk panduan memilih cerita, Pohon Karakter juga bisa jadi pedoman dalam membuat cerita. Pohon Karakter disusun mulai dari karakter yang bertempat di akar, batang, daun dan buah. Setiap bagian pohon mengandung karakter. Akar yang terdiri dari penerimaan diri, berpikir apresiatif, imajinatif dan rasa ingin tahu; batang yang terdiri dari pengelolaan emosi, motivasi diri, kemandirian dan rendah hati; daun yang terdiri dari empati, ramah, penyayang dan bebagi; buah yang terdiri dari kreatif, kemampuan belajar dan kolaborasi.

Cerita di Suara Kecil juga disajikan lengkap dengan Pohon Karakternya. Karena itu, penyimak cerita dapat dengan mudah memilih cerita yang sesuai untuk pembentukan karakter yang diinginkan.

Penulis Suara Kecil

Rudi Cahyono

Rudi Cahyono. Panggil saja Rudi. Seorang yang terus belajar untuk menjalankan profesinya sebagai pendidik. Sebagai kesenangan, menulis juga menjadi cara Rudi berbagi, mendidik Indonesia. Namun secara formal, Rudi adalah pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Berbagai artikel dan essay telah dihasilkan. Free e-book Indonesia bercerita adalah salah satu hasil karyanya yang bisa diunduh secara gratis di www.blog.indonesiabercerita.org. Buku pertamanya adalah kumpulan cerita eksistensial berjudul Suara Bisu. Buku ini bisa dinikmati melalui www.nulisbuku.com. Tulisan-tulisan Rudi bisa juga ditilik di www.mosaicpsychology.blogspot.com

Selain mendidik dan menulis, Rudi juga menjadi penggiat cerita. sekarang, Rudi adalah chief creative officer Indonesia Bercerita, yang mendidik melalui cerita. Podcast adalah media pendidikannya, yang dapat diunduh secara gratis di www.indonesiabercerita.org

Rudi Cahyono dapat dikontak di:

Twitter: @rudicahyo

Email: rudicayo@idcerita.org

Facebook: Cahyono Rudi


Adyta Purbaya

Hallo! Saya Adyta Purbaya. 20 Tahun. Sulung dari tiga bersaudara. Mahasiswi S1 Akuntansi Universitas Sriwijaya (berharap ini adalah semester akhir). Kutu-buku tanpa kacamata minus. Pengagum guitarist dan guitarist-wanna-be yang tidak pernah lancar main gitar. Traveller yang phobia ngebut.

Menulis adalah bernafas. Bernafas itu untuk hidup. Meninggalkan menulis barang sehari sama dengan hidup tanpa bernafas. Apa kamu bisa melakukannya? Saya tidak! :)

Saya cinta warna ungu, Avenged Sevenfold, musik, guitar, buku-buku. Saya cinta anak kecil. Dunia mereka yang polos, berbincang dan menghabiskan waktu dengan bermain bersama mereka adalah salah satu pilihan menghabiskan hari minggu saya. Menyenangkan ketika melihat wajah tertarik mereka mendengarkan saya membacakan cerita :)

Semoga apapun itu yang tertulis disini mampu membagi pelajaran yang tersimpan rapat di kepala adik-adik.

Jadi, apakah ada di antara adik-adik pembaca yang ingin menjadi penulis? Penulis itu pintar, lho! :)

Adyta Purbaya

twitter : @dheaadyta

blog : www.adytapurbaya.blogspot.com

email : casis.manis@yahoo.com


Bellanissa Brilia Z

Nama saya Bellanissa B. Zoditama, atau biasa dipanggil Bella. Saat ini aya mengenyam pendidikan di Institut Manajemen Telkom Bandung, angkatan 2009.

Menulis cerita anak adalah salah satu debut pertama saya, setelah sebelumnya mengikuti berbagai macam proyek dan lomba kepenulisan lainnya, dan menerbitkan novel pertama berjudul My Best(BOY)friend di NulisBuku.com.

Sapa saya di :

Twitter : @bellazoditama

blog : www.bellazoditama.wordpress.com ;

www.bellepooh.tumblr.com

Jumat, 10 Juni 2011

Stand up Please!

Ini soal ‘berdiri’. Loh apa maksudnya? Iya, kali ini saya ingin berbagi cerita tentang berdiri. Berdiri yang kali ini berbeda, yaitu berdiri yang dikelola jadi cara yang unik dan menarik untuk membantu proses belajar.

Kejadiannya adalah pada hari Minggu, 22 Mei, saat workshop karier di Fakultas Psikologi Unair. Setiap seminggu sekali saya mengisi satu materi untuk empat gelombang peserta di setiap minggunya. Di setiap pertemuan itu, selalu diawali dengan aktivitas yang fresh sekaligus mampu menggali pengalaman selama proses workshop.

Aktivitasnya pun beda-beda di setiap minggunya. Minggu pertama menggunakan permainan memindahkan benda sambil bernyanyi (“siapa yang bisa memindahkan ini?”), minggu kedua menggunakan “pesawat cinta”, dan yang minggu ketiga dan keempat dengan melakukan “stand up please!”.

“Stand up Please!” dilakukan dua kali karena kedahsyatan efeknya. Ini sebenarnya cara lama untuk energizing ketika kondisi peserta sebuah workshop atau pelatihan sedang ngedrop. Entahlah siapa orang cerdas yang telah menciptakannya.

Caranya mudah, saya mengatakan “Stand up please!”, dan peserta harus segera meresponnya dengan berdiri seraya menjawab, “Yes Sir!”. Peserta tidak diperkenankan duduk sampai saya mengatakan “Sit down!”. Peserta duduk dengan menjawab, “Thank you Sir”. Pasti sudah ada yang pernah mengenal cara ini kan?

Kali ini sedikit dimodifikasi. Setelah peserta dicoba dan dapat meresponnya, maka tantangannya perlu ditambah. Jadi, ketika ada kata “Stand up please!” dari saya, maka mereka segera berdiri dan mengatakan “Yes Sir!”. Bedanya, tempat berdiri harus lebih tinggi dari posisi kaki sebelumnya. Karena mereka duduk di kursi, maka respon yang kebanyakan muncul adalah segera berdiri di atas kursi. Lucu ya…

Sebenarnya cara ini sudah pernah saya gunakan secara spektakuler di acara pendidikan dan latihan untuk Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran. Kata-kata ini juga bisa diucapkan sewaktu-waktu sebagai kejutan ketika suasana mulai agak meredup (meskipun waktu itu mereka tidak ada matinya). Selain itu, kata-kata sakti ini hanya saya yang memilikinya. Artinya, jika ada orang lain mengatakannya, maka tidak perlu direspon. Reaksi mereka pun lebih unik, ada yang memanjat jendela, menaiki tangga, berdiri di atas meja, buffet, bahkan ada yang kreatif dengan hanya menginjak selembar kertas.

Dalam acara workshop karier, ceritanya tidak berhenti hanya sampai di situ. Otak terus berkreasi untuk bisa memanfaatkan aktivitas kecil tersebut untuk mengorek pengalaman dan menginspirasi peserta. Caranya, ketika berdiri setiap orang harus mengungkapkan rasa cinta kepada salah satu orang yang ada di ruang workshop tersebut.

“Wahai …. (sebut nama orangnya), aku begitu mencintaimu. Kau begitu menginspirasiku, karena selama tiga hari ini kamu … (sebut 3 hal dari orang itu yang membuat kamu terinspirasi). Ke depannya, aku ingin hubungan kita … (sebut harapan terhadap hubungan tersebut)”

Kalimat tersebut adalah redaksi dari ungkapan rasa cinta. Tidak harus diucapkan persis sama seperti itu. Tiap orang boleh membuat kalimatnya sendiri, asalkan tetap berisi hal-hal yang dimaksud dalam contoh ungkapan tersebut. Ungkapannya pun tidak harus ditujukan kepada yang berlawanan jenis, tapi juga boleh sesama jenis, panitia, atau fasilitatornya.

Hasilnya, suasana jadi begitu emosional. Ada yang mengungkapkan perasaan yang melebihi dari tiga hari ini. Ada juga yang berdamai dan menangis, karena telah terjadi hubungan yang tidak menyenangkan selama ini. Ada juga yang mengungkapkan kekaguman sekaligus permintaan maaf karena telah berkali-kali menolak ketika ditembak (cie… jadi ajang curcol dong).

Ternyata aktivitas spontan ini begitu dahsyat efeknya. Selain sangat emosional, kegiatan yang renyah ini juga mengajak untuk membudayakan mengapresiasi. Tidak banyak orang yang terbiasa melakukan apresiasi secara terbuka dan langsung kepada orangnya. Kali ini tiap orang punya kesempatan itu. Tidak jarang membuat orang bangga, malu dan bersemu merah. Tapi dari situ, jadi terbuka, ternyata ada fans yang mengagumi kelebihan kita. Dengan kata lain, kegiatan kecil ini dapat membantu kita menemukenali kekuatan yang kita miliki selama ini.

Aktivitas pembuka ini memang cocok dan sesuai dengan agenda hari ini. Saya memfasilitasi peserta untuk menemukan dan mengenali kekuatan diri serta menciptakan impian untuk masa depan. Dari aktivitas pembuka, peserta terbantu untuk memperkuat kelebihdan diri, baik yang sudah dikenali, maupun yang hanya diketahui oleh orang lain. Mau coba?

Pesawat Kaleng

Pernah tahu surat kaleng? Pasti sudah pada tahu, yaitu surat yang tak bernama pengirim. Surat kaleng biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, yang paling sering digunakan untuk menteror (pasti keseringan nonton sinetron). Alih-alih untuk tujuan negatif, bagaimana jika surat kaleng kita gunakan untuk hal yang positif.
Agar lebih menarik, ide tentang surat kaleng ini saya kawinkan dengan origami, yaitu membuat pesawat dari kertas yang bisa diterbangkan. Caranya, setiap orang dibagikan kertas. Secara rahasia, mereka menuliskan perasaan kagumnya terhadap salah satu orang yang ada di ruang workshop. Peserta boleh mengungkapkan pada orang yang berlawanan jenis, sesama jenis, panitia atau fasilitator (kesempatan mencari fans nih). Ssssst jangan sampai saling tahu antar peserta!
Suratnya dilipat dengan cara membuat pesawat yang bisa diterbangkan. Bagian yang ada tulisannya dilipat di bagian dalam dong! Nambah pengetahuan lagi nih, yang belum bisa membuat pesawat dari kertas, saatnya belajar dari peserta yang lain.
Setiap orang siap dengan pesawatnya. Yuk bikin lingkaran besar! Semua menghadap ke dalam lingkaran. Dalam hitungan ketiga, secara bersama-sama peserta menerbangkan pesawatnya. Jika peserta keasyikan, boleh lah diulang sekali lagi. Setiap orang mengambil pesawat yang jatuh paling dekat dengan dirinya.
Setelah puas menerbangkan, setiap orang mengambil satu pesawat yang terdekat untuk dibacakan. Jika waktunya cukup, setiap orang boleh membacakan. Tapi jika tidak cukup, lebih baik meminta beberapa orang saja untuk membacakannya. Hal ini lebih baik, karena tidak semua orang mendapatkan surat ungkapan rasa kagum. Jadi tetap bisa membuat bangga yang mendapatkan ungkapan rasa kagum, dan tidak menyiutkan kebanggaan buat yang tak memperolehnya.
Dampaknya, tawa dalam ruangan (atau outdoor) meledak. Selain itu, ungkapan rasa kagum, tak perduli dari siapapun, dapat membuat kita menghargai diri sendiri, lebih percaya diri, menemukan dan mengenali kekuatan diri sendiri. Mau coba?
Ada yang menarik dari permainan yang saya ciptakan ini. Ketika saya berkelana di dunia fasilitasi dan bertemu dengan beberapa trainer, banyak yang menggunakan metode ini. Tapi ketika ditanya, siapa yang membuatnya, mereka tidak pernah tahu (antara bangga dan miris hehe). Mudah-mudahan ke depan jadi sudah tahu nih, siapa yang membuat permainan yang saya beri nama “Surat Kaleng” ini.

#IndonesiaJujur: Curang Menjamin Bahagia?

Apa yang membuat kita tidak jujur? Ada dua hal besar biasanya yang menghalangi nurani yang naluriahnya berbuat jujur. Pertama, ketidakberanian untuk jujur dan yang kedua adalah tidak ada dukungan dari lingkungan (dan sistem) untuk membuat orang jujur pada dirinya sendiri.

Keluarga Nyonya Siami (berita selengkapnya di sini) merupakan keluarga yang berani untuk jujur. Tetapi kemudian menjadi takut karena tak ada dukungan dari lingkungan agar orang berani jujur terhadap diri sendiri. Artinya, Nyonya Siami tahu bahwa ketika dia meminta maaf kepada warga, itu justru merupakan satu kesalahan. Tapi masyarakat sekitarnya lebih suka membunuh kejujuran dengan teror yang menakutkan terhadap naluri kemanusiaan.

Pagi ini ada perdebatan kecil di lini masa twitter. Ada yang menganggap persoalan kejujuran ini sebagai problem mental manusianya yang membuat lingkungan jadi bobrok. Sementara pemikiran yang lain lebih menyoroti hal ini secara sistemik.

Jika melihat secara terbatas pada lingkungan Nyonya Siami, penjelasan atas cengkeraman kekuasaan lingkungan sudah cukup. Tapi jika melihat pada usaha Nyonya Siami yang melapor ke sekolah, bahkan sampai ke dinas pendidikan, maka persoalannya kemudian menjadi sistemik, mengingat laporannya pun tak digubris.

Idealnya sistem dibangun dengan mengakomodasi semua kebutuhan yang dilingkupi oleh sistem tersebut. Selama ini sistem dicipta oleh segelintir orang yang berkuasa dengan mengatasnamakan rakyat sebagai prasyarat kamuflatif untuk bisa dikatakan demokratis. Kenyataannya, sistem pendidikan yang hanya berorientasi hasil dan merentet pada kebutuhan akan materi (penghasilan dan kekayaan) sudah mendarah daging. Akibatnya, sistem menciptakan kebiasaan. Kebiasaan apa? Cara berpikir, besikap dan perilaku warganya. Demi lulus, curang dianggap biasa. Demi dapat pekerjaan, suap jadi makanan yang lezat (seperti kasus penipuan untuk bisa jadi PNS di Sidoarjo).

Mengubah sistem susah? Tak usahlah dipandang susahnya. Ayo mulai dari terdekat, terkecil, diri sendiri dan hari ini, untuk mengampanyekan jujur dalam semua lini kehidupan, terutama di dunia pendidikan.

Jumat, 03 Juni 2011

Kebisuan Berlimpah Makna

Sudah seminggu ini didera berbagai beban siksa dari penyakit yang estafet tak ada jeda. Mulai dari flu yang disertai luka di tenggorokan, sehingga ketika ingusnya dibuang, selalu ada gumpalan darah yang menyertainya. Dalam keadaan normalpun ada cairan kuning bening yang meleleh tanpa bisa dicegah. Sedikit mulai mereda, sariawan tak mau kalah. Bibir, lidah, pangkal rahan, hingga tenggorokan tak luput dari luka. Seperti tak ada ruang tersisa. Hanya sakit, sakit dan sakit yang aku rasa. Apalagi kalau makan sesuatu yang pedas dan panas, sakitnya minta ampun.

Hari ini yang sedianya bebas dari bagian mengajar, karena memang sudah tandas sebelum ujian tengah semester, ternyata tak mengijinkan aku menghela nafas rehat. Sehari sebelum esok, ditelepon untuk menggantikan mengajar. Untunglah materi masih sama dengan minggu sebelumnya yang juga menggantikan pengajar lain.

Berharap pagi ini ada perubahan rencana, ternyata tidak. Selepas menjadi notulis dalam sidang skripsi, langsung melenggang ke kelas yang dimaksud. Tidak terlalu penting apa mata kuliah yang sedang ku gantikan, karena memang yang akan aku ceritakan tidak terlalu berhubungan dengan itu.

Terpikir untuk membuat ‘kelas bisu’, tapi ku urungkan. Ku buat saja kelas sederhana dengan cara menyajikan slide bahan mengajar. Tapi tetap tanpa bicara, karena memang dipakai bercuap-cuap rasanya tenggorokan ini mau copot. Setiap slide disajikan kurang lebih selama 15-20 detik, sampai semuanya tampil. Setiap satu slide ditayangkan, setiap mahasiswa membuat satu pertanyaan.

Langkah berikutnya adalah membagi kelas menjadi kelompok-kelompok. Tiap kelompok terdiri 7-10 mahasiswa. Mereka berdiskusi tentang pertanyaan yang sudah dibuat. Tugas mereka adalah membuat presentasi hasil diskusi. Tiap kelompok aktif diskusi dengan berbagi pengetahuan serta memperkaya dengan membuka buku.

Setiap kelompok menyajikan presentasi. Semua yang ada di dalam slide tidak hanya tersampaikan, tetapi menjadi lebih kaya. Setiap kelomok punya persamaan dan perbedaan yang membuat pemahaman dan penjelasan jadi berlimpah. Tanpa suara, hari ini belajar lebih banyak dari yang dibayangkan di perkuliahan.

Berkenalan dengan Mosaic Learning

Tahu mosaic kan? Pernah lihat mosaic? Saya yakin semua pada tahu mosaic. Iya, benar. Mosaic adalah gambar yang tersusun dari kepingan-kepingan dengan beraneka bentuk maupun warna. Apa yang melintas di benak Anda jika disajikan sebuah mosaic?


Karya seni mosaic punya keunikan jika dibandingkan dengan hasil karya seni yang lain. Mosaic itu merangkum sudut pandang. Jika dilihat dari jauh, justru semakin terlihat gambarnya. Jika lebih didekati, maka akan semakin jelas unsur pembentuknya. Bandingkan dengan lukisan, hologram atau patung. Lukisan memang hampir sama dengan mosaic, yaitu sama-sama hasil karya seni rupa dua dimensi. Bedanya, setiap unsur lukisan, yaitu warna dan goresan telah ditakdirkan untuk menjadi unsur yang menetap. Jika sebuah cat berwarna coklat disapukan pada kanvas untuk menjadi gambar jalan, maka sapuan cat itu ditakdirkan menjadi gambar jalan di lukisan tersebut. Jika warna hijau digoreskan untuk menjadi daun, maka warna yang tergores itu menjadi daun. Bagian gambar yang jadi tersebut (jalan dan daun) jika dipindahkan, maka akan tetap menjadi gambar jalan dan daun. Berbeda dengan mosaic. Apapun unsur yang dipadukan, dalam mosaic masih memungkinkan dihasilkan gambar yang sama, seperti yang diinginkan pembuatnya. Meskipun kita mengurangi kepingan dengan bentuk atau warna apapun, gambar yang kita inginkan masih dapat dibuat.

Bandingkan dengan horogram. Berbicara tentang horogram, memang ada kesamaan dengan mosaic, yaitu tentang persepsi menyeluruh yang membentuk makna. Dalam horogram, sudut pandang yang beda, menghasilkan gambar yang beda pula. Antar satu gambar dan gambar yang lain bersinggungan, tetapi tidak saling mendukung untuk membentuk satu tampulan bersama. Antar sudut pandang berlomba untuk menampakkan gambarnya masing-masing. Lain halnya dengan mosaic. Mosaic membangun satu gambar utuh. Persepsi yang dibangun adalah kebermaknaan menyeluruh untuk membangun sebuah tampilan.

Yang terakhir, mari kita coba bandingkan dengan patung. Seni rupa yang terakhir ini jelas yang paling berbeda dari lukisan, hologram, maupun mosaic. Tahu apa bedanya? Iya, patung berbentuk tiga dimensi. Karena itu, patung merupakan bentuk real dari hologram, tapi punya kesamaan kesatuan dengan mosaic. Patung juga seperti melipat kanvas menjadi bentuk yang punya ukuran panjang, lebar dan tinggi. Namun demikian, patung juga terbangun atas elemen yang sekali cipta sudah merupakan takdirnya (seperti lukisan). Jika sebuah kayu atau batu sudah terukir menjadi kepala, maka sampai kapanpun hasilnya akan tetap menjadi kepala. Berbeda dengan mosaic, setiap bagian bisa menjadi apa saja, beralih peran, berganti posisi.

Pembelajaran Mosaic

Itu tadi telah kita bahas mosaic sebagai karya seni dibandingkan dengan hasil karya seni rupa yang lain. Sekarang maru kita letakkan analogi mosaic ini dalam pembelajaran.

Pembelajaran dengan menggunakan analogi mosaic didasari oleh prinsip mosaic triadic, yang terdiri dari complexity, simplicity, flexibility. Mari kita jelaskan satu persatu.

Complexity (boleh dilambangkan dengan huruf ‘x’)

Mosaic itu kompleks, begitu juga dengan pembelajaran. Sekali kita merekam fenomena dan memaknai, sesungguhnya terjadi sebuah proses yang rumit, saling terkait satu sama lain. Dalam diri telah terjadi mulai dari proses atensi, persepsi, asosiasi, memori, reproduksi dan seterusnya. Belum lagi jika belajar dilakukan secara kolaboratif, melibatkan orang lain. Terjadi proses pembentukan makna bersama, persepsi yang memperkuat persepsi orang lain dan seterusnya. Begitulah pembelajaran.

Dalam mosaic learning, setiap bagian diperhitungkan punya kontribusi mempengaruhi hasil dan proses belajar. Jika kita memilih sebuah metode yang melibatkan visual, auditori, somatic, maka media juga dipilih dengan cara yang tepat. Begitu juga ramuan yang dihantarkan lewat kepiawaian sang fasilitator, juga harus diramu secara tepat. Satu stimulus mungkin punya pengaruh besar buat proses belajar. Perhatikan contoh berikut:

“Kita telah menyelesaikan satu tugas. Yang berikutnya ini lebih susah....”

Kalimat tersebut sepertinya sederhana, tapi coba perhatikan dua hal yang berbeda yang menimbulkan persepsi emosi yang berbeda pula. “Kita telah menyelesaikan satu tugas...” adalah bentuk penghargaan yang membuat bergairah. Tapi “Yang berikutnya ini lebih sulit...” akan membuat orang mengerahkan energi untuk waspada. Seringan apapun tugas berikutnya, pasti akan mudah dipersepsikan sebagai hal yang sulit. Itu hanya salah satu contoh campur tangan prinsip complexity dalam pembelajaran.

Simplicity (boleh dilambangkan dengan huruf ‘y’)

Berlawanan dengan complexity, simplicity adalah bagian yang sederhana dalam belajar. Pemotongan proses, alur yang mudah, penguraian materi yang padat adalah contoh usaha yang didasari prinsip simplicity ini.

Setiap unsur pembelajaran yang diramu memang menjadi sesuatu yang rumit. Tapi penyederhanaan mutlak harus dilakukan oleh seorang fasilitator pembelajaran. Seperti mosaic, rumit dan sederhana ini bisa saling berganti tergantu sudut padang kita dalam melihatnya. Benang yang kusut akan terurai jika kita mendekatinya sampai mengetahui setiap celah seratnya. Bayangkan kita masuk dalam simpul-simpul benang itu. Dengan sendirinya mata kita akan mengurainya. Mosaic pun demikian, kita bisa mendekat atau menjauh untuk menghasilkan persepsi menyeluruh dan parsial. Sesungguhnya di dalam kerumitan itu ada kesederhanaannya.

Flexibility (boleh dilambangkan dengan huruf ‘z’)

Flexibility adalah kelenturan kita dalam menarik ulur yang sukar menjadi sederhana dan masuk dalam kerumitan dari hal yang tampak sederhana. Dalam proses pembelajaran beralih dari kedua hal itu dibutuhkan. Permasalahan yang sederhana kita perlu urai setiap unsur yang terlebit di dalamnya. Hal ini penting untuk mengetahui bagaimana penyederhanaan dalam proses belajarnya.

Jika peserta ajar menghadapi persoalan yang rumit, maka kita perlu bantu menguraikannya, sehingga lebih mudah untuk mengelolanya. Begitu juga persoalan yang tampak sederhana yang ternyata dapat menjadi persoalan yang runyam dalam proses belajar, coba kita cari unsur-unsur yang memperumitnya. Baru kemudian kita urai menjadi fasilitasi yang memudahkan peserta ajar untuk mencari sendiri jalan keluarnya.

Ini adalah prinsip yang melandasi mosaic learning dalam bekerja. Prinsip ini yang kemudian menjadi pijakan lahirnya berbagai metode yang menggunakan analogi mosaic dalam proses belajar. Dengan mosaic learning, kita akan belajar dengan cara yang kreatif untuk hasil yang berkualitas.