Senin, 31 Oktober 2011

Kamu Masuk Golongan Penulis yang Mana?

Menulis itu asik. Sama asiknya dengan ngobrol, ngerumpi dan ngegosip. Masa iya sih?


Sebenarnya tulisan ini diinspirasi oleh sebuah tulisan "Tips Waras untuk Nulis" dari blog menarik milik @shitlicious. Dari yang menulisnyalah tulisan ini lahir. Karena buat aku dia penulis yang sangat menarik, maka aku follow twitternya :)

Sebelum meluncur kepada keasikan menulis, kiranya kita butuh pijakan perbandingan, yaitu ketidakasikan. Lho kok ada yang tidak asik? Iya, faktanya banyak yang masih belum bisa menikmati keasikan menulis ini. Tapi tenang, 'banyak' bukan berarti tidak ada. Buktinya buku-buku dengan penulis Indonesia juga pada berpajangan. Blog pun juga semakin mentereng dengan tampilan dan tulisan yang beraneka ragam. Belum lagi tulisan yang berseliweran di media masa yang tidak hanya didominasi wartawan, tetapi juga para kontributor dari kalangan mahasiswa dan anak muda. Padahal sekarang semakin berkurang jumlah penulis, karena mereka sudah beralih profesi menjadi pengetik hahaha.

Berbicara keasikan tidak selalu harus dikaitkan dengan membanjirnya tulisan di berbagai media, atau semakin banyak yang berkecimpung di dunia tulis-menulis. Keasikan berhubungan dengan enjoy atau bagaimana seorang penulis menikmati prosesnya dalam melahirkan tulisan.

Yang tidak bisa dilepaskan dari menikmati proses menulis adalah dua hal, bisa dan biasa. Berdasakan 'bisa', dengan mudah bisa dipilah dua golongan, yang bisa dan yang tidak bisa. Yang tidak bisa menulis bukan berarti tidak mampu, tinggal kemauan belajar dan membiasakan saja. Gradasi mulai dari tidak bisa sampai biasa itu yang bisa jadi dasar pembagian golongan penulis berdasarkan ke-enjoy-annya dalam menulis: yang belajar menuju bisa, bisa tapi belum biasa dan yang sudah piawai menuliskannya.

Mengenai yang tidak bisa dan belajar menuju bisa melakukan, penulis yang seperti ini sudah jelas, tidak perlu ada pembahasan yang lebih jauh. Ini adalah golongan calon penulis. Apa kesulitan mereka?

Mengetahui kesulitan para penulis pemula itu penting, karena kita akan membahas tentang keasikannya. Tapi perlu diyakini bahwa setidakbisa-bisanya menulis, tidak mungkin ada calon penulis yang tidak bisa menuliskan kata atau membuat kalimat. Yang bagian ini pasti sudah dilalui. Kesulitannya pada pikiran dan tangan. Apa itu?

Banyak orang yang lebih mudah membicarakan idenya, tapi kesulitan menuliskannya. Memang, budaya lisan yang sudah terkadung populer membuat pikiran lebih mengalir jika diomongkan. Sedangkan tulisan, karena juga belum terbiasa, akan tertahan dalam susunan huruf, kata dan kalimat. Menyusun kata-kata bisa jadi hambatan tersendiri, meski buat penulis yang gaek, kata tersusun seolah menari-nari.

Untuk penulis awal ini, perlu dipaksa untuk memulai menulis. Boleh mempermudah memulainya dengan memotret fenomena, menggambarnya atau membuat bagan hubungannya. Setelah itu boleh dibuat tulisan mengalirnya dengan bahasa yang paling nyaman.

Masalahnya, mungkin akan muncul perasaan tidak nyaman ketika menuangkannya dalam bahasa tulis. Selain soal kebiasaan dan kebiasaan, asumsi bahwa tulisan kita akan dikonsumsi orang juga membuat kita terlampau berhati-hati. Akibatnya, yang biasanya cerewetpun akan jadi bisu dibuatnya.

Kalau memang kesulitan menuangkan pikiran dalam bahasa yang mengalir, ya tulislah dengan bahasa apapun yang sedang kita bisa. Anggaplah itu juga mengalir. Masih kesulitan? Buatlah outline atau susunan pokok pikiran dari apa yang ingin kita tulis.

Kedua, golongan penulis yang bisa tapi tak terbiasa. Sebut saja golongan ini sebagai 'penulis tengah'. Penulis tengah membuat tulisannya, menuangkan pikirannya, dengan strategi. Metode yang jadi bersifat antisipatif ini membuat penulis tengah berjarak dengan tulisannya. Bahasa yang digunakanpun biasanya bukan dirinya, beda banget.

Kebanyakan golongan penulis adalah penulis tengah (mungkin termasuk aku). Mereka yang sudah menulis bukupun banyak yang masuk golongan ini. Ini sama dengan penulis pemula, letak kesulitannya di ujung jari. Ketika pikiran dituangkan, secara otomatis langsung seperti bukan diri sendiri yang menulis. Namun ada juga yang sengaja menjadikan gaya yang bukan dirinya sebagai gaya penulisannya. Yang ini beda lagi. Penulis tengah tidak dengan sengaja melakukannya.

Apa yang harus dilakukan para penulis tengah? Ya tidak ada. Teruslah menulis, karena itu tak akan mempengaruhi ketersampaian maksud atau pesan tulisannya.

Penulis yang terakhir adalah yang sudah terbiasa. Golongan ini menulis dengan jari yang menari. Apa yang membuat beda? pelibatan hati. Jika penulis sebelumnya menuangkan buah pikirnya, penulis yang ketiga ini sekaligus menuangkan isi hatinya. Pikiran dan hatinya menyatu dalam tulisan yang dilahirkannya.

Secara mudah, model-model tulisan yang gampang kita lihat sebagai milik golongan yang terbiasa ini, misalnya essay, kebanyakan fiksi (meski tidak semua) dan diary (atau tulisan bergaya diary). Bukan berarti tulisan yang lain tidak termasuk, tapi jenis-jenis tulisan ini memang bisa membantu penulisnya untuk larut, sehingga pikiran dan hatinya tertuang secara simultan.

Namun demikian, tulisan apapun bisa masuk pada golongan yang ketiga ini. Pelibatan hati dan pikiran adalah ciri dan caranya. Pelibatan hati dan pikiran membuat tulisan juga mengalir. Tentu membuat jadi lebih produktif.

Tidak ada hal khusus yang harus dilakukan juga untuk menjadi penulis golongan ketiga. Cukup terus menulis sehingga menjadi terbiasa. Selain itu, dalami bidang yang kita tulis sampai menyatu dengan diri, terasa di hati. Akan lebih mudah untuk orang yang konsisten di bidang tertentu, karena lebih fokus. Dengan kata lain, kita menjadi ahli di bidang yang kita tulis.

Akhirnya, selamat menulis. Jika menyukai menulis, maka teruslah menulis. Jadikan dirimu penulis pada tingkat yang terbaik!

Demikiran kira-kira share pengalaman dalam merasakan proses menulis. Kamu termasuk penulis yang mana?

10 komentar :

  1. yap.. saat hati yang mengambil alih proses penulisan.. kita cuma manfaatin sedikit kemampuan otak untuk menggerakan jari-jari kita.. Bahkan dengan mata terpejam pun, tetap bisa membuat tulisan kita berbicara.. :D

    BalasHapus
  2. Keren, aku banyak belajar dari tulisan Kak Alit. Terimakasih :)

    BalasHapus
  3. Karna apa yang kita tulis itu berawal dari pola pikir kita.. :)) postingannya so nice kayak sosis mueheheheh

    BalasHapus
  4. kalau saya selalu melibatkan perasaan dalam menulis..

    tapi tetap saja belum maksimal produktif

    posting nya bikin nagih nulis nih ^^

    BalasHapus
  5. justclickado, Ayo menulis, Kakak! :)

    BalasHapus
  6. sip, tinggal belajar gimana nulis, terus tulisannya ngomong sendiri aja nih.. :D masih kagok soalnya. apa harus latihan bicara? hehe

    BalasHapus
  7. Mungkin juga. Melatih sinkronisasi pikiran, bicara dan tulisan. Ayo terus menulis! Jam terbang bisa jadi salah satu cara :)

    BalasHapus
  8. aku yang ketigaaaaa.... *ditoyor krn sok pede* hahaha

    BalasHapus