Senin, 12 September 2011

Mengelola Stand Up Comedy

“Kalau saya lebih suka nonton iklan. Karena hanya di iklan saya bisa melihat Asmiranda tersenyum”, demikian kurang lebih satu petikan kalimat dari Pandji Pragiwaksono (@pandji) dalam Stand Up Comedy-nya di acara Peluncuran @KompasTV (10/9).
Stand up Comedy merupakan salah satu bentuk seni, dimana seorang komedian tampil di depan umum, berbicara secara langsung kepada mereka. Kadang kegiatan ini direkam dalam bentuk video.
Adalah Pandji Pragiwaksono (@pandji) dan Radityadika (@radityadika), dua orang penggiat Stand Up Comedy Indonesia yang ke depannya akan tayang di @KompasTV.

Ada yang menarik dengan gagasan tentang satu jenis komedi ini. Menariknya adalah soal cara atau upaya untuk membuat apa yang disampaikan dan cara penyampaiannya bisa memikat hadirin. Berarti ada dua hal yang perlu diperhatikan, materi yang dibicarakan dan cara membawakannya.
Sebelum melanjutkan, saya teringat obrolan saya dengan Mas Bukik (@bukik) pada saat #kopdarsidoarjo. Saya mengutip (mungkin tidak letterlij) bagian yang menarik dari yang diceritakan @pandji di acara launching @KompasTV, seperti yang sudah saya sampaikan di paragraf pertama.
Pandji langsung menghentak setelah meluncurkan ide pertama tentang iklan. Pengantar yang singkat dan menarik. Sebagian besar orang tidak suka iklan. Tapi Si Pandji malah suka. Karena hanya di iklan dia bisa menyaksikan Asmiranda tersenyum. Kan, kalau di sinetron nangis mulu yak. Pada kalimat itulah Pandji menghentak dengan materi yang tak disangka-sangka. Jadi menarik, dan meledaklah tawa.
Karena saya tertarik dengan seni berbicara (tertarik loh ya.. bukan ahli), maka saya akan mencoba melihatnya dari sudut pandang seni berbicaranya. Bicara adalah berkomunikasi yang punya tujuan dasar, tersampaikannya pesan. Jadi, Stand Up Comedy lebih mendasar dari sekedar lawakan, tapi juga mengenai menyampaikan materi yang menarik dengan cara menarik. Inilah yang disebut seni berbicara.
Seperti salah satu prinsip seni, balance, tak harus isi materi dan cara penyampaian sama-sama kuat. Namun demikian, jika keduanya hebat, pasti jadi Stand Up Comedy yang dahsyat.
Berkenaan dengan keseimbangan, saya teringat pengalaman saya ketika akan berfoto di sebuah studio foto. Kisah di studio ini saya ceritakan kepada teman-teman yang sama-sama sedang mengikuti sebuah pelatihan.
Saya berfoto di sebuah studio, di kota kecil. Tukang fotonya seorang perempuan yang cekatan sekali kerjanya, serba cepat. Karena itulah, si tukang foto ini menata dandanan dan pose calon bidikannya juga dengan cara yang tegas, melebihi polwan. Saya diminta bersisir dengan gaya memerintah seorang komandan. Saya langsung merasa jadi anak SD yang diantar emaknya untuk bikin pas foto 3x4 untuk keperluan pendaftaran.
Bersisir rapilah saya. Sudah siap di dekat back drop merah yang baru saja diturunkan dari gulungan, katanya dasi saya menceng. Kerah baju juga belum terlihat licin. Dibentak dan disuruh kembalilah saya ke dekat cermin yang letaknya di bagian belakang studio.
Nah, semua sudah beres. Kali ini sudah tidak ada aba-aba yang menyaktikan hati lagi. Saya diminta duduk, disuruh meluruskan pandangan dan mengangkat dagu. Saya tahu, semua untuk kebaikanku, biar keren lah.
Tukang foto siap menjepret. Kamera diangkat di depan wajah. Mata juga sudah dipejamkan sebelah untuk mengintip di balik celah. Jari telunjuk diluruskan, siap untuk mendarat pada sebuah tombol pengambil gambar. Nyaris jepretan mengenai saya, kamera diturunkan, “Kok jelek ya?!”, begitu katanya.
Seketika yang menyimak cerita saya, tertawa terkekeh-kekeh. Yang lebih menarik lagi, ada salah seorang berkomentar, “Cerita ini sebenarnya biasa, tapi karena sampean yang membawakan, ceritanya jadi mengagumkan” (kepala mulai mengembang hehe). Lepas dari itu, komentar ini menunjukkan bahwa materi dan cara penyampaian bisa saling mendukung satu sama lain.
Bagi yang menggemari Stand Up Comedy, atau yang tertarik untuk mengikuti audisinya, beberapa hal ini mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Berkenaan dengan materi yang dibawakan, kita bisa jadikan yang berikut ini sebagai tips,
1. Pilih satu ide yang tidak biasa dari fenomena yang familiar
Sebuah kejadian mungkin sederhana, tapi menarik buat kita. Nah, yang penting kita sudah punya modal ketertarikan lebih dulu. Mungkin buat orang lain fenomenanya biasa, tapi kita tetap bisa cari bagian menariknya. @pandji menjadikan senyum Asmiranda di iklan jadi hentakan yang hebat, karena biasanya senyum itu tak pernah terlihat di sinetron.
2. Tonjolkan bagian yang menarik dari ide sehari-hari yang kita jadikan cerita
Meski materi diangkat dari fenomena biasa, tetap cari satu bagian yang menarik untuk ditonjolkan (blow up). Pada contoh cerita di studio foto, bagian yang paling menarik adalah ketika saya dikatain, “Kok jelek ya?!”. Nah, bagian itulah yang ditonjolkan (sakit hati pokoknya hahaha).
Dua hal yang berkenaan dengan materi akan lebih hebat lagi kalau diramu dengan gaya penyampaian yang menarik. Karena itulah mungkin cerita di studio foto dikatakan bergaya penyampaian menarik. Apa saja yang perlu diperhatikan untuk gaya penyampaian ini?
1. Berdayakan ekspresi secara maksimal
Saya masih terkesima dengan gaya @radityadika dalam bercerita. Ekspresi dan gesturnya selaras dengan isi yang diceritakan. Terutama yang bikin kagum adalah wajahnya yang serius banget, tak terpancing untuk tertawa. Jadi, seperti ada dedikasi pada ceritanya.
2. Amati hadirin dan buat sudut pandang yang proporsional ke semua arah
Perhatikan semua penonton, terutama di awal. Amati rekasi mereka sebagai tanda penerimaan terhadap kita. Selanjutnya jaga perhatian secara proporsional, termasuk memperhatikan ke bagian yang kosong (tidak ada hadirin). Tapi ketika memperhatikan bagian kosong, jangan terlalu lama. Aku melihat cara ini diterapkan dengan baik oleh @pandji dan @radityadika.
3. Bedakan ekspresi pada bagian yang biasa dengan bagian yang jadi kejutan
Ini pengelolaan ekspresi yang lebih spesifik. Pada saat saya bercerita tentang pengalaman di studio, mungkin karena saya enjoya berceritanya, dengan sendirinya saya membedakan ekspresi saat bilang, “Kok jelek ya?!”. Ketika diminta merapikan rambut dan dasi, semua saya buat ekspresi jengkel. Pada saat akan mengambil gambar, saya menampilkan ekspresi lega, karena sudah tidak ada celaan lagi untuk saya. Nah, di bagian akhir, ketika bilang “Kok jelek ya?!”, saya tak menampakkan ekspresi wajah saya waktu itu. saya justru memerankan ekspresi tukang foto yang sangat meremehkan. Selanjutnya, saya biar teman-teman yang sedang menyimak untuk membayangkan sendiri ekpresi saya waktu itu.
Kira-kira seperti itu tips secara teknis. Namun secara teoritik, mungkin jauh lebih butuh jam terbang ya, biar terjadi otomatisasi dalam berbicara atau bercerita untuk banyak orang. Misalnya saja persiapan mental untuk menguasai panggung. Degdegan boleh lah, karena untuk penampilan yang ok membuatuhkan degdegan, agar tubuh dengan sendirinya bersiap-siap (tips dari Asia Bagus nih). Tapi dari degdegan itu akhirnya pikiran, perasaan dan tubuh kita siap untuk selanjutnya dapat menguasai panggungnya.
Demikian sharing tentang Stand Up Comedy ini. Tulisan ini saya buat bukan berarti saya ahli dalam Stand Up Comedy, tapi lebih karena ketertarikan saya sebagai konsumen yang menikmati pertunjukannya.

Tulisan Terkait:

4 komentar :

  1. kalo saya pernah bercerita dengan sangat serius dan tidak bermaksud untuk melucu malah dibilang sangat lucu itu gimana ceritanya?

    BalasHapus
  2. Hahaha, barangkali memang orang terfokus pada gayanya. Mbak Hany mungkin menarik buat pendengar (dalam hal ini jadi pemirsa hahaha). Itulah uniknya perkawinan ide isi cerita dan gaya penyampaian. Harusnya jadi murni perkawinan mereka berdua. Tidak ada perselingkuhan dengan persepsi pendengar akan figur atau profil Mbah Hany. Di situ tantangannya. hehehe

    BalasHapus
  3. thanks kk... skrng emg lgi fokus latian buat standup comedy nii.. mau jdi standup comedian yg srius terkenal dan lucu... thanks skali lgi postingan nya kk...

    BalasHapus