Kamis, 14 Juli 2011

KAUS KAKI BOLONG (Versi Siap Rekam)

Takita: Pagi itu adalah hari pertama Libi masuk sekolah. Nama sekolahnya, SEKOLAH SEMUT BERKAUS KAKI.

Takita: Sebenarnya Libi adalah seekor lebah yang masuk di sekolah para semut. Ini karena Libi adalah satu-satunya lebah berwarna merah, mirip semut, dan sudah diangkat menjadi keluarga semut. Seperti namanya, setiap murid tidak ada yang tidak berkaus kaki. Kaus kaki seperti pakaian wajib. Lebih dari itu, memakai kaus kaki adalah kebanggaan buat murid di sekolah semut tersebut.

Takita: Fasilitas di sekolah Libi yang baru ini sangat beraneka ragam. Ada perosotan yang puanjaaang, ada ayunan yang tidak hanya berayun depan belakang, tapi juga bisa bergoyang ke kiri dan ke kanan, ada terowongan panjang bawah tanah, dan banyak lagi. Ditambah lagi sekolahnya yang beraneka warna dengan pemandangan kolam yang indah serta permainan lampu yang bisa menampakkan hujan, matahari dan pelangi. Sebuah sekolah yang luar biasa.

Takita: Teman-teman Libi di sekolah ini juga keren-keren. Selain bajunya yang selalu bersih dan disetrika rapi, peralatan sekolah mereka juga canggih. Rautan, pinsil, ballpoint, semua serba otomatis dan menggunakan mesin. Dan yang pasti, para murid memakai kaus kaki berwarna-warni indah dan berbau harum beraneka aroma.

* * *

Takita: Suatu ketika, tibalah saat belajar di laboratorium ilmu alam. Laboratorium yang besar dan bersih. Setiap masuk, guru dan murid harus melepas sepatunya. Lantainya berkarpet dan tidak ada kotoran atau debu sedikitpun.

Takita: Di lantai duduk berderet anak-anak semut yang sibuk melepas sepatu dan segera meletakkan di rak. Ketika Libi melepas sepatu, beberapa teman yang berada di sekitarnya memperhatikan. Pandangan mereka tajam tertuju pada ujung kaki Libi yang masih terbungkus kaus kaki. Ada apa ya di kaki Libi?

Takita: Beberapa detik kemudian tawa teman-teman Libi meledak.

Suara murid-murid: “hahahahahaha”

Pilo: “Kaus kaki bolong! hahahaha”

Suara murid-murid: “hahahahahaha”

Takita: Sekali lagi Libi menatap kaus kakinya. Dia segera lari menuju rak sepatu, meletakkan dan buru-buru masuk laboratorium.

Takita: Kelas berjalan dengan suara bisik-bisik diantara teman-teman Libi.

Suara murid-murid saling berbisik: “Kaus kaki Libi bolong”

Takita: Beberapa teman-teman Libi berusaha melongokkan kepalanya untuk melihat sendiri kondisi kaus kaki Libi.

Takita: Kaki Libi sibuk saling menutupi antara yang kiri dan yang kanan. Tapi ujung-ujung jari kaki itu rupanya tak mau dihalang-halangi. Jika yang kanan menutup yang kiri, maka jari kaki kanan yang di atas, tetap saja kelihatan.

* * *

Libi melemparkan tasnya di kasur, disusul tubuhnya mendarat tajam. Ia menelungkupkan wajahnya ke bantal.

Ibu Libi: Ada apa Libi?

Takita: Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Tahu siapa itu? Iya benar, itu ibunya Libi

Ibu Libi: Biasanya kalau baru datang, kamu cium tangan ibu, bercerita banyak hal. Ada apa?

Libi: huhuhuhuhu hiks (menangis)

Ibu Libi: Ayo cerita...!

Libi: Kapan Libi dibelikan kaus kaki baru? Huhuhuhu (masih menangis)

Jeda (waktunya setara dengan ibu menunduk. Ia tersenyum sambil mengelus kepala Libi dari belakang)

Ibu: Ibu kan sudah bilang, bulan depan ibu baru punya uang untuk beli kaus kakimu

Ibu Libi: Itu terlalu lama Bu... hukhuuu (nada protes sambil terisak)

* * *

Takita: Keesokan harinya, satu bangku di kelas Libi kosong. Siapa yang tidak hadir? Ada yang tahu? Iya, yang tidak hadir adalah Libi

Guru: Anak-anak, Libi kemana? Ada yang tahu?

Takita: Pilo mengangkat tangan

Pilo: Mungkin dia sedang mengerjakan PR nya Bu Guru

Guru: PR apa?

Dion: Menjahit lubang di ujung kaus kakinya

Murid-murid: hahahahaha

Guru: Kenapa kaus kakinya? (gusar?)

Pilo: Kaus kakinya bolong di ujungnya, Bu

Guru: Celaka! Ini aib (suara lirih, seperti teriakan yang ditahan)

Takita: Di sekolah SEMUT BERKAUSKAKI memang semua anak memakai kauskaki. Kaus kaki adalah benda penting untuk melindungi kaki anak-anak semut. Bahkan sampai ada murid yang tidak masuk sekolah gara-gara kaus kakinya kotor atau rusak. Dia baru masuk lagi setelah kaus kakinya kembali bagus, atau membeli yang baru.

Takita: Sejak saat itu, berita tentang kaus kaki Libi yang bolong menyebar ke seluruh sekolah.

Suara murid-murid saling menggosip: Anak baru itu, kaus kakinya bolong

Suara murid-murid saling menggosip: Dia satu-satunya anak ajaib, ujung jarinya berloma-lomba keluar

Suara murid-murid saling menggosip: Gimana kalau kita kasih nama si kaki bolong?

Takita: Begitulah cerita heboh tentang kaus kaki Libi yang bolong

Takita: Bahkan ada poster bertuliskan DICARI SEORANG BOCAH HILANG. CIRI-CIRINYA LIHAT DI BAWAH GAMBAR INI. Tahu gambar apa? Iya, gambar kaki yang memakai kaus kaki bolong.

Takita: Tertawa meledek terdengar di setiap ujung sekolah. Memang tidak semua, tapi sudah cukup membuat Libi, tepatnya kaus kakiya yang bolong, menjadi bintang.

Takita: Tidak semua teman Libi sama. Dapin dan Lea adalah dua teman Libi yang berusaha mencari Libi ke rumahnya.

* * *

Lea dan Dapin: Selamat siang!

Ibu Libi: Selamat siang! Libi ada di kamar. Masuk aja!

Takita: Di kamar, Libi sedang duduk serius menghadap ke mejanya. Di atas meja ada dua buah helai kaus kaki bolong yang tak pernah lepas dari padangannya sejak dua jam yang lalu.

Dapin: Libi, kamu ngapain?

Takita: Libi tetap tak menggubris

Lea: Libi...

Takita: Dapin dan Lea melongok ke meja Libi. Mereka ingin tahu apa yang sedang dilakukan Libi di mejanya, sampai-sampai ia tak mendengar mereka berdua.

Dapin: hahahahaha

Takita: Dapin tak dapat menahan tawa setelah tahu yang di depan Libi adalah dua helai kaus kaki bolong.

Lea: sssssttttt, jangan tertawa! (berbisik)

Takita: Libi memandang mereka berdua. Ia raih dua kaus kaki di meja dan meninggalkan mereka berdua. Ia terbang mengitari kamarnya dan akhirnya menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas ranjang. Ia angkat dua kaus kakinya. Ia pandangi kaus kaki tersebut.

Takita: Dapin duduk di samping Libi, menepuk pundak Libi.

Dapin: Sudah, biar kaus kaki bolong, belajar jalan terus dong!

Lea: Iya Libi. Besok masuk sekolah yuk!

Libi: Dengan kaus kaki bolong ini? (nada protes)

Takita: Beberapa saat mereka bertiga tak bersuara. Entah apa yang mereka pikirkan.

Dapin: Benar itu Libi... (memecah kesunyian)

Lea: Meskipun kaki kita berbeda, apa kamu mau menggunakan kaus kakiku?

Libi: Biarpun aku pakai kaus kaki baru, tetap saja mereka akan mengolokku

Dapin: Betul Lea. Bukankah di sekolah sudah ada julukan Si Kaus Kaki Bolong? Hahahahaha

Lea: Hush!

Takita: Kembali ketiganya diam. Kali ini lebih lama

Lea: Aku ada ide! (memekik diikuti bunyi cling! *ada ide*)

Takita: Dapin dan Libi menoleh dan menunggu ide Lea dengan antusias.

Lea: Saatnya kita mempromosikan kaus kaki bolong

Dapin dan Libi: Maksud kamu? (hampir bersamaan)

Takita: Tanpa bicara, Lea segera mencopot kaus kakinya.

Lea: Kamu punya gunting?

Takita: Libi menunjuk meja belajarnya. Lea mengambil gunting yang tergeletak di situ. Ia memotong ujung kaus kakinya.

Dapin: Apa yang kamu lakukan, Lea?! (memekik)

Libi: Iya Lea.. aku saja mendambakan kaus kaki yang indah seperti itu. Kenapa kamu malah merusaknya?

Lea: Ini tidak rusak Libi. Ini justru indah. Malah lebih indah

Takita: Dapin dan Libi menggeleng tak mengerti

Lea: Mulai hari ini, aku akan mendukung Libi untuk mempromosikan kaus kaki bolong

Dapin: Ini ide gila!

Lea: Apa keuntungannya kalau kaus kaki kita bolong?

Dapin: Kaki kita jadi dingin, tidak gerah

Lea: Apa lagi?

Libi: Ujung jari kita masih bisa untuk menjepit kalau kita bermain di atas pohon, atau ketika kita memakai sendal jepit

Lea: Bagus! Ayo kalian berdua buat posternya!

Libi dan Dapin: Siap!

* * *

Takita: Ini hari pertama Libi masuk sekolah lagi, setelah seminggu tidak masuk. Kali ini dia berangkat sekolah dengan semangat bersama Lea dan Dapin. Ia terbang mengelilingi Lea dan Dapin yang hanya bisa jalan. Kenapa kok Libi bisa terbang, sedangkan Lea dan Dapin tidak bisa? Iya, karena Lea dan Dapin adalah semut merah, sedangkan Libi seekor lebah.

Takita: Tawa mereka bertiga merekah, diselingi lagu berjudul KAUS KAKI BOLONG.

Kaus kaki bolong

Kaus kaki paling keren

Kaus kaki bolong

Hanya untuk yang beken

Takita: Begitulah lagu yang mereka ciptakan untuk mempromosikan kaus kaki bolong. Sepanjang jalan mereka bertiga menghafalkan lirik lagunya. Meskipun susah menghafal, tapi Dapin tetap bersemangat mengikuti lagu yang dinyanyikan Libi dan Lea.

Takita: Di sekolah, Libi, Lea dan Dapin segera menempel poster-poster yang bergambar kaus kaki bolong. Di poster itu juga ditulisi lirik lagu yang mereka dendangkan dimana-mana. Mereka bertiga juga tidak malu menunjukkan kaus kaki mereka yang bolong. Selain itu, Dapin juga bersemangat menyebarkan selebaran-selebaran tentang ‘kaus kaki bolong’. Beberapa orang yang merasa kampanye mereka seru, ikut mempromosikan. Yang lain juga tidak ingin ketinggalan.

Takita: Promosi kaus kaki bolong ini terus berlangsung. Setiap hari selalu bertambah murid yang memakai kaus kaki bolong. Dimana-mana murid atau bahkan guru yang sebelumnya menentang, jadi ikut menyanyikan lagu ‘kaus kaki bolong’.

* * *

Takita: Sudah berganti bulan. Ini saat yang telah dijanjikan oleh ibu. Ibu janji apa kepada Libi? Iya, Libi mendapatkan sebuah bingkisan yang dibungkus kotak cantik.

Ibu Libi: Libi, ini kaus kaki yang ibu janjikan dulu. Ini baru ibu berikan bulan ini, karena ibu baru punya uang bulan ini. Tidak hanya itu, ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun Libi. Jadi ini sekaligus hadiah ulang tahun buat Libi

Libi: Terimakasih Bu

Takita: Libi senang. Ia Libi mencium pipi ibu dan memeluknya.

Libi: Libi sudah tidak mau merepotkan ibu. Libi tidak mau lagi menuntut ibu membelikan kaus kaki baru buat Libi

Ibu Libi: Ini kejutan buat Libi. Coba Libi buka hadianya

Takita: Perlahan Libi menyobek kertas pembungkus hadiah. Matanya berbinar ketika melihat hadiahnya. Sepasang kaus kaki bolong baru.

MENGUBAH CERITA TEKS DESKRIPTIF KEDALAM BENTUK SKRIP SIAP REKAM

Setelah ceritanya jadi, langkah selanjutnya adalah merekam cerita itu. Agar lebih mudah, cerita diubah dulu menjadi bentuk skrip yang siap rekam. Sebenarnya bisa saja cerita bebas deskriptif langsung direkam, namun lebih mudah jika diubah dalam bentuk skrip yang siap rekam. Keuntungan mengubah dalam bentuk skrip siap rekam adalah:

  1. Dialog tiap tokoh yang terlibat dalam cerita lebih jelas
  2. Memudahkan jika cerita dibawakan oleh banyak pengisi suara
  3. Jika dibawakan oleh satu orang pun, akan memudahkan pencerita beralih suara dari satu tokoh ke tokoh yang lain
  4. Lebih praktis untuk diceritakan kembali

Dalam mengubah cerita teks deskriptif menjadi skrip yang siap rekam, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Bahasa untuk menggambarkan atmosfir cerita berbeda, antara yang berbentuk teks deskriptif dengan yang skrip siap rekam. Teks deskriptif menggambarkan atmosfir cerite lewat deskripsi, sedangkan skrip siap rekam lebih banyak digambarkan secara tidak langsung melalui dialog tokohnya.
  2. Karena alasan pada nomor 1, maka cerita dalam bentuk skrip siap rekam lebih baik menghapus bagian-bagian yang tidak terlalu penting, yaitu bagian yang tidak langsung berhubungan dengan inti cerita
  3. Keterangan cara dialog tokoh (misal sedih, gembira, terharu) akan lebih baik dioperasionalkan dalam bentuk perilaku (jadi terisak, sesenggukan, memekik, berteriak, histeris), dan cukup ditulis singkat saja (boleh dalam tanda kurung)
  4. Bagian deskriptif yang bukan merupakan dialog tokoh, dibawakan oleh narator dengan kalimat secukupnya (berkaitan dengan inti cerita)
  5. Agar cerita lebih interaktif dan lebih manis, dialog narator dapat ditambahkan dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memancing keterlibatan pendengar. Berikan jeda atau kesempatan beberapa saat untuk menjawab, selanjutnya narator dapat menjawab sendiri pertanyaannya.

Untuk lebih jelasnya, silahkan bandingkan cerita KAUS KAKI BOLONG antara yang bentuk cerita teks deskriptif dengan cerita yang berupa skrip siap rekam.

BERBAGI PENGALAMAN MEMBUAT CERITA

Awalnya adalah ketika aku membantu menjadi notulen untuk ujian atau sidang skripsi. Ujiannya santai (tapi tegang buat yang disidang hehe). Dalam proses tanya jawab, ku copot sepatu agar terasa nyaman. Karena ketika kaki di gesekkan di besi bagian bawah kursi, rasanya ada yg lembut menggesek telapak kaki.

Eh, ternyata baru tahu kalau kaus kakiku bolong. Penguji di sebelahku yang mengetahui hal itu langsung tertawa. Karena dasarnya aku cuek dengan persoalan seperti itu, dan juga penguji yang tertawa tersebut adalah teman juga, saya langsung ingat film Sponge Bob.

Apa yang aku ingat dari film kartun tersebut? Dramatisasi. Iya, dramatisasi. Film itu punya kekuatan dalam melakukan dramatisasi. Teringat satu episode tentang kampanye pembatalan pembangunan jalan yang menggusur rumah ubur-ubur. Yang melakukan kampanye pembatalan hanya dua, yaitu Sponge Bob dan Patrix. Sebenarnya Mr. Crab juga ikutan, karena restorannya terancam dilalui jalan di atasnya, dan diramalkan akan bangkrut. Namun Mr. Crab sudah membayangkan kebangkrutannya dan akhirya merasa tak berdaya. Karena itulah ia tak ikutan melakukan promosi pembatalan jalan.

Nah, serunya ketika mereka berdua melakukan kampanye pembatalan, ternyata semua penduduk mendukung pembangunan jalan. Ketika promo pembatalan berjalan, aksi dukungan juga bergulir dengan kekuatan yang lebih besar. Akibatnya Patrix dan Sponge Bob selalu kalah, karena dukungan terjadi di setiap sudut kota.

Secara keseluruhan ceritanya masih panjang dan berakhir dengan kemenangan Patrix dan Sponge Bob. Kemenangannya bukan berarti pembangunan jalan dibatalkan. Jalan sudah selesai dibangun, tapi efek yang terjadi setelah pembangunan itu yang menjadi masalah. Jalan kembali ditutup dan keadaan dikembalikan ke kondisi semula, termasuk sarang ubur-ubur.

Inspirasi film ini datang begitu saja ketika melihat kaus kaki yang berlubang. Dalam hati terbersit juga ingin menunjukkan bahwa kaus kaki bolong itu cuma perbedaan. Hanya saja kebetulan yang bolong tidak banyak. Karena itu, bukan hal yang mustahil jika suatu saat ada tren kaus kaki bolong. Bukankah juga sudah ada trend baju compang-camping, kusut dan rambut yang semerawut?

Terbayang cerita tentang seseorang yang mempunyai kaus kaki bolong. Untuk orang dewasa, kaus kaki bolong mungkin hanya masalah biasa. Ini mungkin jadi persoalan menyembunyikan di balik sepatu atau membeli yang baru. Tapi hal ini bisa jadi masalah yang besar jika terjadi pada anak-anak. Bayangkan menjadi anak-anak yang diolok-olok kaus kakinya bolong. Ini bisa menjadi masalah besar, merasa malu dan sampai tidak masuk sekolah.

Nah, kampanye seperti yang dilakukan oleh Sponge Bob dan Patrix bisa terjadi untuk mengubah trend memakai kaus kaki. Dengan demikian bolong atau tidak itu hanya persoalan variasi. Selain itu, anak juga dilatih untuk mempunyai alternatif berpikir yang berbeda, dari berpikir perbedaan kualitas menjadi perbedaan variasi model kaus kaki.

Untuk mengubah cara berpikir tersebut, dibutuhkan pengelolaan keterampilan. Keterampilan apa yang dapat dikelola dari tokoh sehingga anak dapat berpikir bahwa bolong itu juga sama baiknya? Karakter mengapresiasi yang jadi jawabannya. Yang perlu dibangkitkan pertama kali adalah mengapresiasi kaus kaki bolong. Dalam cerita perlu ada proses ini. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, terjadi proses pembelajaran tokoh utama (Libi) yang dibantu oleh Lea dan Dapin.

Karakter apresiatif terbentuk, tinggal bagaimana mempromosikan karakter itu. Mempromosikan karakter apresiatif butuh media yang menjadi cantolan (anchor). Dalam cerita ini cantolannya adalah kaus kaki bolong yang dipromosikan untuk diapresiasi.

Sampai sini terselesaikan sudah memasukkan beberapa unsur dalam cerita, yaitu tokoh, keterampilan dan persoalan serta tujuan yang ingin dicapai. Sekarang saatnya memoles menjadi cerita yang menarik.

Anak-anak suka dengan cerita imajinatif. Cerita yang merangsang imajinasi punya daya stimulasi yang kuat, baik untuk mencuri maupun menjaga perhatian. Karena itu, kita bisa menjadikan cerita tersebut sebagai cerita metaforik. Yang paling mudah, kita bisa memakai tokoh binatang. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, Libi ada seekor lebah yang sekolah di sekolah para semut. Dua temannya, Lea dan Dapin adalah dua ekor semut. Nah, sekarang ceritanya jadi lebih manis kan?

Untuk memperkuat cerita, kita perlu perhatikan dramatisasinya. Sebelumnya sudah dibahas, promosi kaus kaki bolong sudah merupakan cara dramatisasi untuk menumbuhkan karakter mengapresiasi. Ini dapat kita perkuat dengan menambah atmosfir setting cerita. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, setting sekolah yang digunakan adalah sekolah yang mewah, serba rapi dan menjunjung tinggi budaya berkaus kaki. Jika suatu saat ada orang yang menggunakan kaus kaki bolong, akan jadi masalah besar di sekolah tersebut. Nah, dengan demikian konteks cerita juga menyumbang untuk efek dramatisasinya.

Kita telah membuat satu cerita komplit berjudul “Kaus Kaki Bolong”. Cerita ini dijamin tidak hanya menghibur, tetapi juga punya dampak terapis, karena dapat mengubah cara berpikir dan berperilaku. Mudah bukan membuat cerita yang menarik? Mari kita coba!

KAUS KAKI BOLONG

Pagi itu adalah hari pertama Libi masuk sekolah. Nama sekolahnya, SEKOLAH SEMUT BERKAUS KAKI. Libi adalah seekor lebah yang masuk di sekolah para semut. Ini karena Libi adalah satu-satunya lebah berwarna merah yang sudah diangkat menjadi keluarga semut. Seperti namanya, setiap murid tidak ada yang tidak berkaus kaki. Kaus kaki seperti pakaian wajib. Lebih dari itu, memakai kaus kaki adalah kebanggaan buat murid di sekolah semut tersebut.

Di sekolah semut yang baru ini, Libi senang sekali, karena fasilitas sekolahnya beraneka ragam. Ada perosotan yang puanjaaang, ada ayunan yang tidak hanya berayun depan belakang, tapi juga bisa bergoyang ke kiri dan ke kanan, ada terowongan panjang bawah tanah, dan banyak lagi. Ditambah lagi sekolahnya yang beraneka warna dengan pemandangan kolam yang indah serta permainan lampu yang bisa menampakkan hujan, matahari dan pelangi. Sebuah sekolah yang luar biasa.

Tidak seperti sekolah lamanya dulu, teman-teman Libi di sekolah ini juga keren-keren. Selain bajunya yang selalu bersih dan disetrika rapi, peralatan sekolah mereka juga canggih. Rautan, pinsil, ballpoint, semua serba otomatis dan menggunakan mesin. Dan yang pasti, para murid memakai kaus kaki berwarna-warni indah dan berbau harum beraneka aroma.

Suatu ketika, tibalah belajar di laboratorium ilmu alam. Laboratorium yang besar dan bersih. Setiap masuk, guru dan murid harus melepas sepatunya. Lantainya berkarpet dan tidak ada kotoran atau debu sedikitpun.

Di lantai duduk berderet anak-anak semut yang sibuk melepas sepatu dan segera meletakkan di rak. Ketika Libi melepas sepatu, beberapa teman yang berada di sekitarnya memperhatikan. Pandangan mereka tajam tertuju pada ujung kaki Libi yang masih terbungkus kaus kaki.

Beberapa detik kemudian tawa teman-teman Libi meledak.

“Kaus kaki bolong!”, celetuk Pilo, salah satu teman baru Libi, diikuti dengan tawa yang terkekeh-kekeh.

Teman-teman Libi tak kalah keras ikut menertawakan kaus kakinya.

Sekali lagi Libi menatap kaus kakinya. Dia segera lari menuju rak sepatu, meletakkan dan buru-buru masuk laboratorium.

Kelas berjalan dengan suara bisik-bisik diantara teman-teman Libi.

“Kaus kaki Libi bolong”, demikian mereka saling mengabarkan.

Beberapa diantaranya berusaha melongokkan kepalanya untuk memastikan kondisi kaus kaki Libi, apakah bisikan para murid bukan isapan jempol belaka.

Kaki Libi sibuk saling menutupi antara yang kiri dan yang kanan. Tapi ujung-ujung jari kaki itu rupanya tak mau dihalang-halangi. Jika yang kanan menutup yang kiri, maka jari kaki kanan yang di atas, tetap saja kelihatan.

* * *

Libi melemparkan tasnya di kasur, disusul tubuhnya mendarat tajam. Ia menelungkupkan wajahnya ke bantal.

“Ada apa Libi?”, suara lembut perempuan dari balik pintu. “Biasanya kalau baru datang, kamu cium tangan ibu, bercerita banyak hal. Ada apa?”, lanjat perempuan yang ternyata ibunya Pimpim itu.

Libi diam terisak-isak.

“Ayo cerita...!”, desak ibu.

“Kapan Libi dibelikan kaus kaki baru?”, suara Libi diantara isakan.

Ibu menunduk. Ia tersenyum sambil mengelus kepala Libi dari belakang.

“Ibu kan sudah bilang, bulan depan ibu baru punya uang untuk beli kaus kakimu”

“Itu terlalu lama Bu...”, Libi tetap merengek.

* * *

Keesokan harinya, satu bangku di kelas Libi kosong. Siapa yang tidak hadir? Tentu saja Libi.

“Kemana Libi? Ada yang tahu?”

Pilo mengangkat tangan, “Mungkin dia sedang mengerjakan PR nya Bu Guru”

“PR apa?”, tanya Bu Guru bingung.

“Menjahit lubang di ujung kaus kakinya”, celetuk Dion, diikuti suara tawa hampir seluruh murid.

Sejak saat itu, berita tentang kaus kaki Libi yang bolong menyebar ke seluruh sekolah.

“Anak baru itu, kaus kakinya bolong”, “Dia satu-satunya anak ajaib, ujung jarinya berloma-lomba keluar”, “Gimana kalau kita kasih nama si kaki bolong?”, demikian cerita heboh tentang kaus kaki Libi yang bolong.

Tidak hanya itu, ada juga yang kreatif bikin poster gambar kaki yang memakai kaus kaki dan ujung jarinya nongol. Di atasnya ditulis, DICARI SEORANG BOCAH HILANG. CIRI-CIRINYA LIHAT DI BAWAH INI.

Tertawa meledek terdengar di setiap ujung sekolah. Memang tidak semua, tapi sudah cukup membuat Libi, tepatnya kaus kakiya yang bolong, menjadi bintang.

Diantara banyak yang tertawa itu ada juga yang menaruh iba. Dapin dan Lea adalah dua teman Libi yang berusaha mencari Libi ke rumahnya.

* * *

“Selamat siang!”

“Selamat siang!”, Ibu Libi menyambut Dapin dan Lea. “Libi ada di kamar. Masuk aja!”, lanjut ibu mempersilahkan mereka berdua.

Di kamar Libi sedang duduk serius menghadap ke mejanya. Di atas meja ada dua buah helai kaus kaki bolong yang sedari dua jam yang lalu tak pernah lepas dari padangannya.

“Libi, kamu ngapain?”, tanya Dapin menghampiri.

Libi tetap tak menggubris.

“Libi...”, susul Lea sambil memegang pundak Libi

Dapin dan Lea melongok, apa yang sedang dilakukan Libi di mejanya, sampai-sampai ia tak mendengar mereka berdua.

Dapin tak dapat menahan tawa setelah tahu yang di depan Libi adalah dua helai kaus kaki bolong. Lea buru-buru mencolek Dapin, memberi isyarat untuk diam.

Libi memandang mereka berdua. Ia raih dua kaus kaki di meja dan meninggalkan mereka berdua. Ia terbang mengitari kamarnya dan akhirnya menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas ranjang. Ia angkat dua kaus kakinya seperti sedang menerawang untuk memastikan uang asli.

Dapin duduk di samping Libi, menepuk pundak Libi.

“Sudah, biar kaus kaki bolong, belajar jalan terus jalan dong”, Dapin berusaha memberi semangat.

“Iya Libi. Besok masuk sekolah yuk!”, lanjut Lea.

“Dengan kaus kaki bolong ini?”, protes Libi

“Ibu sudah menasehati biar dia tetap belajar. Kaus kaki dan belajar itu tak ada kaitannya”.

Ibu masuk dengan sepiring kue madu kesukaan Libi.

“Ayo Dapin, Lea, dimakan kuenya!”, lanjut ibu

Kini mereka bertiga tak bersuara. Masing-masing orang terdiam, entah memikirkan apa.

“Benar itu Libi...”, Dapin angkat bicara.

“Meskipun kaki kita berbeda, apa kamu mau menggunakan kaus kakiku?”

“Biarpun aku pakai kaus kaki baru, tetap saja mereka akan mengolokku”, tepis Libi.

“Betul Lea, bukankah di sekolah sudah ada julukan Si Kaus Kaki Bolong? Hahahahaha”

“Hush!”, kembali Lea mencolek Dapin. Kali ini ditambah pelototan mata.

Kembali ketiganya diam. Kali ini lebih lama.

“Aku ada ide!”, pekik Lea.

Dapin dan Libi menoleh dan menunggu dengan antusias.

“Saatnya kita mempromosikan kaus kaki bolong”

“Maksud kamu?”, tanya Dapin dan Libi hampir bersamaan.

Lea tak menjawab. Ia segera mencopot kaus kakinya.

“Kamu punya gunting?”, tanya Lea

Libi menunjuk meja belajarnya. Lea mengambil gunting yang tergeletak di situ. Ia memotong ujung kaus kakinya.

“Apa yang kamu lakukan, Lea?!”, pekik Dapin

“Iya Lea.. aku saja mendambakan kaus kaki yang indah seperti itu. Kenapa kamu malah merusaknya?”

“Ini tidak rusak Libi. Ini justru indah. Malah lebih indah”

Dapin dan Libi menggeleng tak mengerti.

“Mulai hari ini, aku akan mendukung Libi untuk mempromosikan kaus kaki bolong”

“Ini ide gila!”, kata Dapin

“Apa keuntungannya kalau kaus kaki kita bolong?”, tanya Lea

“Kaki kita jadi dingin, tidak gerah”, kata Dapin

“Apa lagi?”, tanya Lea lagi

“Ujung jari kita masih bisa untuk menjepit kalau kita bermain di atas pohon, atau ketika kita memakai sendal jepit”, Libi melanjutkan, tak mau kalah.

“Bagus! Ayo kalian berdua buat posternya!”

Dapin dan Libi bengong

“Tunggu apa lagi?!”, bentak Lea

“Eh, iya”

“Siap!”

Dapin dan Libi terkesiap dan segera melakukan ide Lea.

* * *

Ini hari pertama Libi masuk sekolah lagi, setelah seminggu tidak masuk. Kali ini dia berangkat sekolah dengan semangat bersama Lea dan Dapin. Ia terbang mengelilingi Lea dan Dapin yang hanya bisa jalan, karena mereka berdua bukan lebah. Tawa mereka bertiga merekah, diselingi lagu berjudul KAUS KAKI BOLONG.

Kaus kaki bolong

Kaus kaki paling keren

Kaus kaki bolong

Untuk yang merasa beken

Begitulah lagu yang mereka ciptakan untuk mempromosikan kaus kaki bolong. Sepanjang jalan mereka bertiga menghafalkan lirik lagunya. Sesekali Dapin salah dan harus diingatkan oleh Lea dan Libi.

Di sekolah, Libi, Lea dan Dapin segera menempel poster-poster yang bergambar kaus kaki bolong. Di poster itu juga ditulisi lirik lagu yang mereka dendangkan dimana-mana. Mereka bertiga juga tidak malu menunjukkan kaus kaki mereka yang bolong. Selain itu, Dapin juga bersemangat menyebarkan selebaran-selebaran tentang ‘kaus kaki bolong’. Beberapa orang yang merasa kampanye mereka seru, ikut mempromosikan. Yang lain juga tidak ingin ketinggalan.

Promosi kaus kaki bolong ini terus berlangsung. Setiap hari selalu bertambah murid yang memakai kaus kaki bolong. Dimana-mana murid atau bahkan guru menyanyikan lagu ‘kaus kaki bolong’.

* * *

Sudah berganti bulan. Ini saat yang telah dijanjikan oleh ibu. Libi mendapatkan sebuah bingkisan yang dibungkus kotak cantik.

“Libi, ini kaus kaki yang ibu janjikan dulu. Ini baru ibu berikan bulan ini, karena ibu baru punya uang bulan ini. Tidak hanya itu, ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun Libi. Jadi ini sekaligus hadiah ulang tahun buat Libi”

“Terimakasih Bu”

Libi mencium pipi ibu.

“Libi sudah tidak mau merepotkan ibu”, lanjutnya. “Libi tidak mau menuntut ibu membelikan kaus kaki baru”

“Ini kejutan buat Libi. Coba Libi buka hadianya”

Perlahan Libi menyobek kertas pembungkus hadiah. Matanya berbinar ketika melihat hadiahnya. Sepasang kaus kaki bolong baru.

end