Jumat, 19 Agustus 2011

Arti Pilihan


Berawal dari cengkerama obrolan ngalor ngidul, muncul pertanyaan dari seorang teman, sebut saja Nina.

BELAJAR MENCINTAI DARI TANAMAN


“Di sini gelap..”, mataku melihat sekeliling. Sejurus ia mengalah, ”Wow, udaranya sejuk!”, kulitku tak mau kalah. Pori-poriku jadi melebar. Aku rasakan setiap tetes cairan menelusup, membuat ubun-ubunku dingin. Kepalaku seperti mengembang. Ada sesuatu yang mendorong di ujung kepalaku. Aku tumbuh, aku membesar, aku berubah jadi kekar, aku bertambah lebih tegar.

Senin, 15 Agustus 2011

SOMATIC LEARNING HAS BEEN KILLED

Alkisah datanglah sebuah kesempatan yang menuntun saya pergi ke kota bagian timur dari Jawa, Jember. Tugas dari kampus membuat saya mencicipi untuk kali kedua ke kota kecil yang luas tersebut. Kali kedua, karena seminggu sebelumnya saya juga mendatanginya untuk urusan penggalian data sehubungan dengan kegiatan seminar.

Kesempatan santai di sela jam istirahat untuk makan dan sholat Jumat, saya bertemu dengan seorang teman yang mempertaruhkan dirinya untuk menjadi pendidik di sebuah universitas yang memfokuskan diri pada dunia kependidikan. Dia adalah seorang dosen baru di sana.

Kebetulan teman saya ini lulusan dari perguruan tinggi yang sama dimana ia sekarang mendedikasikan sebagian hidupnya, kalu tidak disebut memberikan seluruh hatinya. Karena satu sebab ini, sedikit banyak ia mengenal dalemannya fakultas beserta orang-orang yang lebih lama menghuni tempat itu.

Singkat kata (bergaya SBY), ia curhat sehubungan dengan betapa kenalnya ia dengan kampus tercintanya. Perlu dijadikan landasan pengetahuan terlebih dahulu, teman saya ini merupakan orang yang supel, ramah, banyak teman, sopan, suka humor, bercanda dan ekspresif. Untuk ciri yang terakhir ini ia memulai curahan hatinya. Saking ekspresifnya, sampai-sampai ketulusan hatinya terbahasakan dalam gerak tubuh yang lincah mengikuti perasaannya yang terkadang meledak-ledak. Letupan-letupan dahsyat tersebut menunjukkan keenceran otaknya yang terus mengalir, mencipta, berkreasi, memodifikasi dan mengasosiasi.

Kekuatan yang seharusnya menjadi kebanggaan ini justru menjadi topik curhat dengan tema keluahan. Sebagai dosen baru, ia berusaha mengerem inisiatifnya untuk tidak terlalu berani banyak berinisiatif, mencoba-coba, atau mencari gara-gara. Lebih amannya ia mengambil langkah pasif-reaktif dalam bekerja dan bekerja sama dengan rekan muda dan tua di kampusnya.

Namanya juga anak muda, sesekali ia juga kelepasan dengan otak bocornya. Seperti yang pernah dikatakan Romi Rafael (Master Hipnotis), bahwa bahasa yang tidak bisa menipu adalah bahasa tubuh. Tidak jarang gestur dan ekspresinya menggambarkan keceriaan yang menjadi indikator kecerdasannya. Untuk satu ekspresi ia harus membayarnya dengan mahal. Pembimbing tugas akhirnya pernah berkata bahwa ia kekanak-kanakan, meski sang pembimbing tahu ada kedewasaan di dalam dirinya. Tapi bagian perkataan “kedewasaan” lebih menjadi basa-basi, karena sarang dan judgement yang paling kuat adalah pada, “Jangan selengekan!”. Hal yang sudah lama ia sadari ini mengingatkan kembali bahwa ia harus hati-hati bersikap. Pengalaman ini menjadi lebih reliable ketika seorang dosen senior mengatakan bahwa ia mbegeges dengan kata-kata, “Koe iku wis dosen, ojok mbegeges wae!”. Pengalaman kedua membuat ia menjadi lebih tidak enak lagi, sehingga ia terpaksa harus ambil aksi diam untuk beberapa hari. Alasannya tentu saja karena ia tidak ingin bertindak salah. Image bahwa ia petakilan (setidaknya bagi dosen tua) sudah lama tertaman, sampai suatu ketika gerak matanya yang aktif berpikir dipandang sebagai tidak memandang (tidak menghargai) orang yang sedang berbicara.

Suatu ketika terbukalah satu tabir lagi. Teman dekatnya yang juga dosen ternyata selama ini juga memandangnya sebagai orang yang cengengesan. Teman yang biasanya bercengkerama, bermain, guyonan, mempunyai pendapat yang sama dengan para dosen tua. Sepertinya si teman ini mengemban misi suci pesan dari dosen tua untuk membawa teman saya kembali ke “jalan yang benar”.

Temanku hanya bisa bilang, “Saya ini belajar juga dengan tubuh. Setiap molekul dalam tubuh saya belajar jauh lebih aktif ketika saya bergerak. Saya juga bertipe somatik. Saya salah satu dari sekian banyak yang dianggap gila hanya karena memberikan hak pada tubuh untuk bergerak dan belajar”. Ia mengatakan ini karena ia yakin bahwa temannya itu akan lebih ngerti mengingat mereka berasal dari universita yang bergerak di bidang kependidikan yang seharusnya tuntas dalam mempelajari soal Learning.

Pengalaman ini menunjukkan kepada kita bahwa norma yang disepakati kadang lebih kejam dari pada hukum yang menguasai hajat hidup manusia. Pandangan (mindset) juga menjadi saudara tiri yang tidak kalah kejamnya dalam menjustifikasi orang. Norma yang lebih berpihak pada tradisi yang dianggap sopan tidak mengakomodir hak untuk sekedar tersenyum, memekarkan otak dan menjadi lebih cerdas.

Norma tidak jarang hanya menempati eksistensi dengan tidak memuat esensi. Orang sudah lupa fungsi dan dengan manfaat apa norma dijalankan. Keterikatan pada cara dengan melupakan tujuan membuat jalan tak berarah. Senjata akhir untuk sebuah alasan tidak lebih dari jawaban, “Pokoknya itu, harus begitu!”. Bahkan ukurannya menjadi alasan untuk menanamkan suka atau tidak suka.

Lalu, esensi apa yang dikosongkan dari wadahnya? Pemahaman akan perbedaan. Pandangan saya yang sudah lama dipersenjatai dengan rasionalisasi individual differences, lebih setuju jika kita meninjau kembali justifikasi yang sudah tidak punya alasan relevan tersebut. Apa yang diucapkan oleh teman saya merupakan siksaan yang ia alami. Coba bayangkan jika dengan menahan tersenyum dan menggerakkan tubuh sesuai kata hati, seseorang harus mengorbankan pengembangan myelin, mempercepat pemunahan neuron dan penyusutan otak. Molekul-molekul yang senantiasa menuntut haknya untuk ikut serta dalam pembelajaran tubuh menjadi bisu, kelu dan membeku.

Tempat belajar teman saya yang bergeak di bidang kependidikan tersebut seharusnya mewadahi kebebasan geraknya dengan alasan sedikit pengetahuan tentang modalitas belajar SAVI (somatic, auditory, visual dan intelectual). Sepertinya keluhan teman saya ini juga sebagai bentuk perlindungan dari kebiasaan lama yang melarang siswa untuk berjalan-jalan, melompat, berbicara, tertawa. Tentu kita masih ingat ketika kita tidak boleh berisik atau membuat gaduh pada waktu TK atau SD dulu. Atau ketika pulang dengan mematung (anteng-antengan), siapa yang diam pulang lebih dulu. Ini merupakan warisan politis dalam membelenggu kita untuk tidak menjadi lebih pintar.

Sekarang coba bayangkan jika dosen muda tersebut adalah Anda. Apakah Anda akan menjadikan diri Anda bodoh sedikit demi sedikit? Sekarang berpindahlah tempat dan lihatlah diri Anda di tempat yang lama tadi. Bayangkan jika yang Anda lihat adalah anak Anda. Apakah Anda juga akan membiarkan anak Anda batal untuk menjadi lebih cerdas? Sekarang naiklah ke meja atau kursi yang ada di dekat Anda (hanya jika Anda tidak mengharamkan tindakan tersebut). Lihatlah diri Anda yang pertama. Bayangkan bahwa Anda sebagai orang tuanya sekarang juga merupakan dosen senior dari Anak Anda. Apa yang akan Anda lakukan terhadapnya?

Sabtu, 13 Agustus 2011

TRANSFORMASI CINTA

Ini adalah hari kedua setelah malam pertama diisi dengan kegiatan santai. Sebuah acara pelatihan untuk organisasi mahasiswa yang dinamai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Penalaran. Organisasi ini merupakan kumpulan dari mahasiswa yang menykai pergulatan dengan pemikiran, membuat karya tulis, program pengajian keilmuwan dan diskusi.


Seperti halnya hari ini, pelatihan diadakan sebagai penyambutan atau upacara inisiasi buat anggota baru, diselenggarakan di Batu 28-30 November 2008. Pelatihan semacam ini (yang biasa disebut dengan pendidikan latihan atau diklat) memang selalu diadakan setiap tahun ketika menerima anggota baru. Minggu pagi ini juga ada sekitar 60 orang peserta yang mengikuti materi hari ini.


Yang akan diceritakan kali ini adalah bagian transformasi cinta. Sesi ini merupakan amanat dari para senior organisasi yang menginginkan anak buahnya memiliki integritas dan mencitai organisasi.


Sebagai penyenang dan penyemangat awal, para peserta yang memang sudah dikelompokkan pada sesi sebelumnya, diajak untuk berpose di depan kamera. Tiap kelompok berhak untuk membentuk formasi dan bergaya yang seseru mungkin. Mereka diberikan kesempatan berfoto tiga kali yang kemudian dipilih salah satunya. Foto yang mereka pilih dicetak di kertas.


Focus dikembalikan kepada sesi inti. Sebagai stimulus awal, peserta diajak membiacarakan tentang organisasinya dan hubungan mereka dengan organisasi. Setiap peserta diajak untuk membayangkan benda, lokasi dan suasana yang menarik buat mereka. Berbagai hal atau benda bisa dibayangkan, bahkan imajinasipun tidak dilarang. Setelah membayangkan banyak hal, dibagikan kertas buat mereka, masing-masing satu lembar. Peserta diminta memilih salah satu benda, suasana atau keadaan yang menurut mereka mencerminkan organisasi mereka. Dibuatlah gambarnya di kertas. Peserta dikelompokkan dan tiap orang bercerita di dalam kelompoknya. Banyak cerita-cerita menarik yang muncul tentang analogi atau metaphor dari UKM Penalaran.


Sebagai tambahan, peserta diminta melipat kertasnya dua kali, sehingga membentuk dua garis yang saling tegak lurus berpotongan di tengah kertas. Peserta mengamati posisi gambarnya terhadap garis yang berpotongan. Ada yang tidak memotong sama sekali, kecil di bagian pojok kertas, namun ada juga yang tepat di tengah dan gambarnya cukup besar. Hal ini hanya sebagai tambahan yang menggambarkan tingkat intensi setiap anggota organisasi terhadap organisasinya. Atau lebih mudahnya disebut sebagai tingkat partisipasi atau keterlibatan. Semakin ke tengah atau memotong persilangan garis, tingkat kepecayaan diri anggota untuk terlibat dalam organisasi cukup besar.


Kembali kertas dibagikan untuk masing-masing orang. Sekarang tiap peserta diajak untuk membayangkan pengalaman masing-masing tentang kasmaran dan jatuh cinta. Kecintaan terhadap istri atau suami, pacar atau teman dibayangkan sampai detil. Dalam waktu satu menit, peserta diberikan kesempatan untuk mendaftar kata-kata kunci yang menggambarkan perasaan atau pikirannya tentang kasmaran.


Kembali ke dalam kelompok. Semua kata kunci yang didapat oleh kelompok, dipilih 10 kata yang paling menarik, menginspirasi atau menggairahkan.


Foto tiap kelompok yang sudah dicetak dibagikan. Dengan kertas manila, foto itu boleh ditempel dan dihias. Foto tersebut adalah gambaran organisasi. Cerita tentang organisasi muncul dari foto tersebut. Setiap kelompok mengobrolkan cerita-cerita tentang organisasi berdasarkan foto. Hasil dari sharing dituangkan dalam berbagai bentuk, bisa puisi, kata mutiara, motto, slogan, lagu atau akronim. Penuangannya dengan memanfaatkan 10 kata terpilih yang berhubungan dengan kasmaran atau jatuh cinta.


Hasilnya bermacam-macam, gambara tentang organisasi yang penuh cinta, guyub, saling toleran, saling mendukung, produktif, kompetitif dan sebagainya.


Pada akhirnya peserta menyimpulkan tentang kecintaannya terhadap organisasi dan fasilitasi transformasi cinta organisasi berhasil dilakukan.

Belajar Kompleksitas, Simplisitas, Fleksibilitas dari Spiderman

“Berarti kamu mencintaiku?”, Tanya MJ pada Peter Parker

“Iya”, jawab Peter singkat.

Mereka berdua saling senyum, meski Peter sedang menahan besi beribu-ribu pon.

“Ini... sangat... berat” Kata Peter, masih dengan tetap tersenyum.

Ini adalah cuplikan yang tidak teralalu letterlij dari film Spiderman 2. Secuil adegan ini memberikan ruang belajar yang luas untuk beberapa hal yang lahir dari nuansa dan suasana yang melingkupi MJ dan Peter Parker. Terdapat dua ruang pembelajaran yang berbeda dari bagian film ini. Ruang pertama adalah konteks film dan yang kedua adalah konteks kehidupan real di luar film.

Apa yang ditanyakan MJ dan dinyatakan oleh Parker adalah tanya jawab yang sebelumnya memang berawal dari perhelatan batin yang panjang. Selama ini Peter selalu mengingkari perasaannya bahwa ia mencintai MJ. Keadaan yang mendesak menjadikan kata itu terlontar begitu sederhana, “Iya”. Kata yang bisa dirasakan begitu romantisnya daripada tiga kata yang lebih panjang, “I love you”.

Mari kita cermati bagian yang lain dari film yang sama,

“Ini tidak mudah” kata Peter, sambil melepaskan pegangan tangan MJ.

“Kamu memperumitnya”, sergah MJ.

MJ berusaha untuk menjadikan semuanya lebih simpel. Ia meninggalkan Peter ketika ia ditolak untuk pertama kali (Spiderman pertama). MJ memilih orang yang mencintainya dengan berusaha menampakkan ia benar-benar sedang mencinta. Maksudnya, ia mengingkari hatinya yang masih terpaut pada Peter. Keterpautan ini dibekukan pada sakit hati ketika ia ditolak. Ternyata sakit hati dan cinta berdiri sendiri-sendiri, membentuk kubu yang menjadi kekuatan untuk menggerakkan kehendak. Apa yang dilakukan MJ seperti apa yang disenandungkan oleh Dewa dengan cintailah cinta, atau apa yang dipetuahkan oleh Melly dan KD, cintailah dia yang mencintaimu. Sebuah simplisitas yang diserahkan pada hukum stimulus dan respon. Ternyata memang tidak semudah itu, karena kekuatan eksitasi (pendorong) dan inhibisi (penghambat) saling bertentangan. Akhirnya simplisitas lebih mengikuti kata hati untuk kembali kepada Peter. MJ melarikan diri dengan gaun pengantinnya untuk menemui Peter.

Berbeda dengan Peter yang dikatakan oleh MJ memperumit. Penolakan yang masih tak jelas buat MJ dilakukan dengan berat oleh Peter untuk menyelamatkan MJ dari musuh-musuh Spiderman. Yang dipilih oleh Peter adalah seperti lagu yang juga dilantukan oleh Dewa, cinta tak harus memiliki. Peter dikatakan memperumit oleh MJ, padahal sebenarnya MJ telah masuk dalam kerumitannya sendiri. Bedanya, Peter melakukan dengan sadar atas pertimbangan tertentu, sementara MJ lebih mengikuti kata hati yang sebenarnya juga kamuflase.

Pengingkaran hati yang dilakukan oleh Peter maupun MJ merupakan hal berat yang akhirnya dibayar dengan beberapa kali mengalirkan air mata. Bahkan pengingkaran ini lebih berat daripada reruntuhan yang ditahan oleh Peter sambil tersenyum, meskipun ia mengatakan berat (pada cuplikan pertama).

Menengok pada kata berat yang diucapkan Peter, kadang bahasa memang membuat hati sedikit ringan untuk dilepaskan dari bebannya. Tapi kata tidak cukup mewakili sepenuhnya apa yang dirasakan di hati. Setiadaknya kata akan membentuk realita, itu yang akan terjadi. Lalu apakah dengan mengatakan berat kemudian semuanya akan menajdi berat? Bisa jadi demikian. Namun lagi-lagi tidak sesimpel itu. Pada waktu Peter mengatakan berat, hatinya mungkin mengucapkan ringan. Atau cinta yang membuat ringan sehingga mulutnyapun begitu mudah untuk mengatakan berat. Dan pada waktu itu bisa jadi kata berat tidak menemui makna yang sesunggunya.

Ada dua prasangka paling tidak yang mungkin terjadi sehubungan dengan kata berat ini. Pertama, Peter merasakan kenikmatan kejujuran ketika segalanya berasa ringan. Secara fisik apa yang dipikulnya memang berat, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan bersamaan dengan beban hati yang semakin ringan. Sehingga dua hal yang bertentangan ini membentuk konstruksi makna baru yang terkonversi, berat tetapi ringan atau ringan tetapi berat. Lebih tepatnya sebenarnya berat dan ringan sekaligus. Kedua, Peter disangkakan mengungkapkan kelugasan bahwa melindungi MJ itu memang berat, seberat besi yang sedang ditahannya agar tidak menimpa MJ. Biasanya sebagian para wanita terjebak pada prasangka kedua yang akhirnya terjadi kesalahpahaman yang melukai lelaki. Memang, lelaki juga merasakan kebahagiaan jika usaha keras yang ia lakukan untuk wanitanya bermakna secara nyata di hati si wanita. Ketika MJ bisa merasakan betapa berat besi yang dipikul Peter, itu mungkin sudah cukup membuat Peter bahagia. Sedikit saja pembelajaran reflektif akan membuat MJ tau bahwa apa yang ditanggung di benak Peter jauh lebih berat, meski analoginya masih bisa ditautkan.

Sebenarnya pertemuan antara Peter Parker dan Mary Jane adalah dialog antara simplisitas dan kompleksita. Pertimbangan rasio telah merumitkan jalan hidup Peter Parker. Sementara itu aksi reaksi yang terjadi dalam kehidupan Mary Jane telah menempatkannya pada ruang simplisitas. Namun demikian, pada dasarnya keduanya terjebak dalam kerumitan mereka sendiri. Kerumitan ini terjadi ketika keduanya menolak kata hati. Apa yang dilakukan Mary Jane dengan mencintai orang yang mencintainya sekilas tampak simpel. Tetapi pengingkaran hati telah menjadikan Mary Jane rumit dalam dirinya. Simplisitas aksi reaksi yang dilakukan oleh Mary Jane telah mengundang kerumitannya sendiri. Sementara Peter Parker telah menampakkan kerumitannya dari awal. Interaksi antara wilayah internal dirinya dan pertimbangan eksternal keselamatan Mary Jane memunculkan konflik batin yang membuat rumit. Semuanya baru terjawab ketika keduanya menyerahkan pada simplisitas suara hati.

Bagaimana simplisitas ini bisa dimenangkan, ternyata pergulatan keduanya (kompleksitas dan simplisitas) melahirkan unsur ketiga. Keadaan yang menekan mengawinkan dua unsur untuk melahirkan fleksibilitas. Tekanan yang bertubi-tubi dari gencarnya serangan musuh Spiderman menjadikan kata “Aku cinta kamu” yang tidak pernah diucapkan oleh Peter Parker kepada Mary Jane tergantikan dengan senyum dan jawaban, “Iya”. Menari dengan irama alam, musik kondisi dan situasi, telah menjadikan gerak hati, pikiran dan tubuh begitu gemulai untuk memilih secara alami. Bukan pikiran, hati atau tubuh yang menang, tetapi kealamiahan diri untuk berpadu secara harmonis dengan keadaan yang muncul sebagai jawaban kebahagiaan [ ]