Selasa, 29 Juni 2010

Thomasku

Saya adalah seorang dosen senior di Outhlubricant University, sebuah universitas kecil di negara bagian New Rock, Haramica. Nama saya Louis Leopold. Saya mengajar Fakultas Teknik. Saya diakui senior bukan karena saya tua dan menua di universitas. Selain memang saya ikut mendirikan perguruan tinggi kesayangan saya ini, saya juga orang paling progresif dalam memajukan PT yang sekarang dipimpin sahabat saya, seorang musuh dalam selimut yang selalu menemaniku tidur dengan cerita-ceritanya. Sedangkan saya masih menjadi dosen biasa tanpa jabatan apapun. Hanya saja saya memang dosen yang kharismatik. Setiap mahasiswi baru yang muda belia kenal dengan saya. Mereka selalu say hello ketika ketemu saya.

Keterlibatan saya dalam mendirikan universitas ini sangat besar. Saya ikut mengangkat batu, memanggul semen, mengaduk adonan pasir, menata batu bata. Dan saya tidak akan pernah melupakan jasa dari teman-teman seprofesi saya dalam mendirikan bangunan gedung yang cukup megah di hati saya ini. Mereka adalah pekerja keras yang tak kenal lelah. Bahkan mereka rela lembur untuk menepati deathline yang tak jarang ditetapkan secara mendadak. Karena bagi kita 1 hari mempunyai 24 jam, satu jam mengandung 60 menit, 1 menit memiliki 60 detik. Kita bisa menggunakan satuan apapun saat bekerja, asal kita tidak merasa tertekan dengan waktu yang menemani kita hidup. Paling tidak itu hanya bagian kecil dari kenangan manis saya pertama kali mendirikan gedung kampus ini.

Sebagai dosen yang progresif, kenangan manis selalu saya rasakan. Belum genap satu tahun meniti karier, saya sudah diberikan kepercayaan untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah projek besar. Ini hal yang membanggakan karena tidak semua dosen mendapatkan kesempatan yang sama. Beberapa dosen yang tidak memiliki kemampuan seperti saya dengan halus menolak pekerjaan yang mulia ini. Bahkan mereka sampai berjalan seperti pebalet saat pamitan sebelum jam resmi pulang untuk saya dapat saya nikmati.

Hal yang menyenangkan sebagai calon dosen tersohor adalah punya keluarga yang mengenal saya di kampus. Mereka adalah cikal bakal kekuatan untuk saya bisa dikenal lebih jauh. Rasa terimakasih saya pada mereka yang bekerja siang malam di kampus ini sehingga setiap hari bisa ketemu saya. Karena itu saya punya teman kalau pas kepayahan di malam hari. Keakraban yang terkondisi inilah yang membuat saya merasa punya keluarga di sini. Kehidupan pada saat melepas lelah adalah impian setiap anggota keluarga. Bercengkerama, saling berkeluh kesah, bercanda sampai perut kaku karena kebanyakan tertawa adalah momen-momen tak terlupakan.

Rasa syukur juga selalu terucap kalau saya teringat dengan mahasiswa yang tak kenal lelah membantu pekerjaan saya. Mereka adalah orang-orang jujur dan lugu dalam melakukan pekerjaannya. Mereka orang yang cerdas, meskipun tidak salalu menjadi pintar di setiap saat. Pelukan bagi mereka adalah kehangatan untuk timbulnya rasa memiliki bersama kampus tercinta. Pujian yang tulus membuat gairah selalu terpancar dan mengorbit di antara kita, dosen dan mahasiswa.

Di sisi lain, mahasiswa yang radikal dengan pemikiran dan perasaannya yang meluap setiap saat menjadikan saya selalu sadar bahwa saya adalah manusia, karena hal dasar yang melekat pada diri saya bukanlah seorang dosen, tapi seorang manusia, sama seperti mereka. Pemberontakan yang setiap saat mereka lakukan membuat saya bergairah karena setiap konflik yang menghadapkan saya dengan mereka adalah sebuah kesempatan untuk lebih sering memeluk mereka. Kehangatan akan tercipta dari suasana yang panas, sama juga ketika kesejukan terpacar dari sikap yang dingin. Terimakasih buat mahasiswaku yang pendiam, pemalu, ceria, bersemangat, radikal, pemberontak. Kalian adalah sumber inspirasi.

Hal yang paling "mengesalkan" adalah ketika saya punya seorang mahasiswa kesayangan yang sangat hebat. Namanya Thomas. Bukan hanya buah pikirannya yang inovatif, tapi juga bagaimana ia merasakan lingkungan di sekitarnya. Ia punya sense yang kuat dalam merasakan setiap niat dari lingkungan sekitarnya. Setiap ketulusan saya, selalu diartikan dengan caranya, sebuah apresiasi yang tak biasa. Ketika saya mengajarkan bagaimana membuka mata, maka Thomas sudah membayangkan bagaimana menciptakan teropong yang tembus pandang sampai ratusan mil. Tatkala saya mengajarkan bagaimana menyerap udara, ia sudah melompat dan mengatakan saya menemukan formulasi udara alternatif untuk bernafas selain O2. Bahkan ketika saya kesulitan memanggil-manggil dia karena keinginan saya untuk selalu menyapa, ia besoknya membawakan saya sebuah alat komunikasi nirkabel dengan berbagai variasi bentuk, mulai dari kaca mata, lensa kontak, atau yang ditanamkan di gigi.

Saya dan mahasiswa saya yang satu ini sering ketemu di sebuah seminar. Tak jarang kami berdua jadi pembicara di forum yang sama. Kita sering berdebat dengan landasan pemikiran yang sangat kuat. Hal yang membanggakan ketika saya sadar bahwa pemikiran saya yang saya ajarkan ke dia sudah dia kembangkan dengan lebih hebat. Mahasiswa saya yang luar biasa. Pada perkembangannya, pertemuan dengan dia selalu membuat saya mengalirkan keringat dingin, untung tidak sampai beku. Kehangatan yang diberikan oleh mahasiswa saya ini membuat kebekuan menjadi kesejukan.

Jika saya ketemu dengannya dalam sebuah kuliah, saya menjadi merasa kuliah menjadi lebih mudah. Dengan kepintarannya, anak itu membantu saya mengajari yang lain, bahkan saya banyak mendapatkan masukan bukan hanya pada isi materi, tapi juga bagaimana menyampaikannya. Thomas selalu membantu saya menyampaikan materi saya terkadang sulit buat saya. Thomas adalah penyambung lidah kuliah. Tak jarang ia menggunakan permainan untuk menggambarkan strukut atom dan chaos, membuat simulasi fraktal yang sangat mengesankan.

Belakangan ini saya sudah jarang ketemu mahasiswa saya yang dulu. Hampir semua yang ikut kuliah saya adalah wajah baru. Namun saya masih bisa merasakan semangat yang sama, berkobar di antara mereka. Semangat untuk saling mengingatkan, saling memberikan masukan dan menemukan serta mengembangkan ilmu-ilmu baru bersama. Bahkan mereka jauh lebih radikal. Bahkan ada sekelompok mahasiswa yang saya cintai membungkam idealisme saya dengan hedonisme yang eksotis. Mengajari pragmatisme yang fungsional, humanisme yang insaniah, dan spiritualisme yang berketuhanan.

Waktu terus berjalan dengan suguhan pengalaman yang indah dan tak terlupakan. Saya belakangan lebih suka menikmati keadaan tubuh saya yang mengingatkan pada Tuhan. Ternyata keadaan ini tidak cuma mendekatkan saya dengan Tuhan, tapi juga dengan mahasiswa-mahasiswi saya. Mereka berdatangan untuk meminta kuliah di ranjang saya. Semangat saya selalu timbul sampai saya lupa bahwa hari ini adalah nafas terakhir buat saya. Hampir semua mahasiswa berdatangan silih berganti, dari yang sudah seperti keluarga, teman, sampai yang tak tahu namanya sama sekali. Mereka datang untuk tetap mendengarkan kuliah-kuliah saya. Mereka menganggap semua yang saya bicarakan adalah kuliah, dan memang demikian. Saya membahas tentang persahabatan dengan mereka, mencoba menemukan makna hidup, saling membantu untuk meraaskan nikmatnya kesempatan bernafas, bahkan seorang mahasiswi datang hanya untuk mempersembahkan sebuah puisi yang indah:



hidupku tak luput dari tempat berpijak

bukan meninggalkan jejak

mutiara indah tak buatku beranjak

hanya jarak yang jadikan gairah memuncak


mentariku tlah pergi

aku setia tuk menanti

hati riang dari bayang-bayang

tangan kaki kuat karena ingatan membentang


matahariku telah tiba

hatiku kembali bersuka

semangat tersisa tak terputus masa

karena setiap kata tak pernah musnah


cinta membawaku pada diriku

cinta mengantarku menjadi diriku

aku dituntun oleh hayalanku

dipandu oleh kekuatanku


aku hidup

menghidupkan

tetap hidup

mengambil bagian kehidupan


Suatu ketika di detik-detik akhir yang mengawali kehidupan saya, saya teringat pada Thomas. Ingatan saya padanya membuat pengharapan yang semakin kuat. "Dia tidak akan datang. Mungkin dia sudah lupa. Lagian dia sudah menjadi orang terkenal. Lebih baik engkau pikirkan keadaanmu!" Nasihat seorang rekan. Bagus juga, tapi bagi saya keadaan saya sudah tidak terpikirkan lagi, tapi saya jalani. Keyakinan saya akan kehadiran Thomas semakin kuat. Setiap pikiran dan rasa saya memberikan kekuatan bagi perjalanannya menuju kepada saya.

Hari ini adalah hari terakhir. Saya hanya tahu hari, tapi tidak tahu di jam ke berapa, menit keberapa, atau detik keberapa saya akan mengawali akhir saya. Bergulirnya waktu tak menyurutkan harapanku akan hadirnya Thomas. Ternyata keyakinan menghubungkan saya pada semua kebetulan. Koran pagi ini berada di samping pembaringan. "Saya menemukannya!" teriak saya. Semua orang-orang di sekeliling ranjang tertuju pada saya.

"Po, ada tamu istimewa buatmu" suara wanita yang tak asing bagiku menggema di kamar yang menua dalam keremajaan. Seorang prian berjas melangkah agak cepat mendahuliu Nadya, istriku.

"Thomas!" sapaku kalem. Senyumku dibalas pelukan oleh Thomas. Koran yang masih di tangan saya menempel di punggung Thomas. Saya tidak ingin cepat-cepat melepaskan pelukan Thomas. Sampai saya rasakan dunia gelap dan saya tak sempat merasakan pengganti O2 yang nantinya akan diciptakan oleh Thomas[1].

Pertanyaan: Apakah dosen tersebut adalah salah satu dari kita? Jika tidak, mudah-mudahan menjadi guru dan murid sepanjang masa adalah salah satu cita-cita kita.


[1] Thomas Beta Edison

Tidak ada komentar :

Posting Komentar