Selasa, 29 Juni 2010

MEKANISASI MEKANIS

Sebelumnya, mungkin lebih enak Anda melakukan hal berikut. Jika Anda punya kesempatan berada di alam terbuka, maka pergilah ke tempat dimana Anda merasa tenang. usahakan Anda sedang sendiri di tempat itu. Tapi sayang sekarang Anda tidak bisa langsung melakukan, karena Anda sedang berdiri membaca tulisan ini. Selanjutnya ambillah posisi dimana Anda merasa relax, baik sambil duduk, berbaring, atu apapun asal posisi tubuh Anda tidak tegang. Pandanglah ke arah tempat atau sesuatu yang jauh dari sentuhan konstruk, misalnya langit, sawah atau alam terbuka sehinga pandangan Anda terasa lepas. Syukur jika Anda orang yang tidak berkaca mata, tapi untuk yang pakai, jangan kecil hati, tetap pakai kaca mata Anda dan usahakan otot mata Anda tetap dalam keadaan relax. Apa yang anda lihat masukkan ke dalam pikiran sebagaimana adanya. jangan menjahili sesuatu yang nyaris alami dengan kosntruk-konstruk. Pikiran relax, tapi jangan sampai ngelantur. Rasakan setiap sensasi pada tubuh anda sebagaimana adanya. bintang bersinar, angin sejuk berhembus, matahari yang cerah dan hangat, serta kicau burung yang merdu. Rasakan semuanya dengan kepasrahan kepada nurani Anda. jika Anda orang yang yakin pada fitrah, maka biarkan persepsi Anda bermain. Anda akan merasakan matahari itu hangat, air atau angin itu sejuk, kicau burung itu merdu. Coba lakukan hal ini sesering mungkin hingga Anda tidak merasa berat melakukannya.

Uraian tersebut yang ternyata lebih mirip sebuah tips adalah usaha secara psikologis untuk melepaskan dari konstruk aktif maupun pasif. Konstruk aktif adalah interaksi (interkognisi maupun interafeksi) merupakan usaha untuk membentuk diri sendiri menjadi apa yang diinginkan diri dan lingkungan. Diri atau self menjadi obyek dari permainan atau konspirasi antara lingkungan dan individu itu sendiri. Dua hal inilah yang membuat orang stress, depresi, cemas dan berbagai gangguan psikologis lainnya, bahkan juga fisiologis. Bekerjanya kognisi dan afeksi pada tensi tinggi, inilah yang menjadikan psikolog menjadi laris. Tapi bukan masalah larisnya, yang menjadi masalah adalah efek individual yang menjadi tanggung jawab kita, bukan hanya sebagai psikolog, tapi yang terpenting sebagai manusia. tapi beruntunglah orang yang masih bisa merasakan kecemasan, depresi atau stress karena fitrah Anda telah menjalankan fungsinya dalam bersentuhan dengan lingkungan.

Kondisi psikis yang seperti ini lebih mudah terdeteksi. dan salah satu dari patologis menjadi ciri sekaligus penyebab dari psikotik. Kebebasan kita telah dirampas dalam sebuah peperangan antara ego individual dan ego sosial. Perhatian dan tenaga kita yang dihabiskan dalam peperangan itu, lagi-lagi dimenangkan oleh konstruk sosial yang menjadikan locus of control internal kita melayani pesanan sosial. Ketakutan kepada kembalinya individu pada dirinya sendiri menyebabkan orang selalu berusaha untuk conform atau lebih parah lagi menjadi budak sosial. Penyesuaian terhadap lingkungan menjadi timpang, dimana akomodasi dan asimilasi tidak lebih dari kata menang kalah. Ketika akomodasi menang, maka orang menjadi penguasa dan cenderung takut kehilangan kekuasaan atas lingkungannya. Usaha dalam mempertahankan equilibriumindividual ini juga sama menguras tenaganya dengan ketika kemenangan ada pada pihak asimilasi, dimana kita kembali dikuasai oleh lingkungan. Agar lebih membumi, sebaiknya akan disajikan sebuah realitas konkrit. Ambil saja contoh yang ngetren, misalnya pacaran. Kenapa kita harus pacaran, ternyata tidak diletakkan pada sebuah landasan yang sadar sebagai individu. Nilai yang kita usung untuk pacaran adalah nilai konstruk. Jika keadaannya seperti demikian, saya kira pacaran atau tidak adalah dua pilihan yang sama-sama konyol. Sama-sama punya kerawanan patologis. Solusinya adalah kita harus kembali kepada individuasi (meminjam istilahnya Jung). apa itu individuasi? nanti kita coba jelaskan sedikit.

Sebelumnya kita akan kembali permasalahan kedua yang juga menyebabkan orang mengalami beban psikologis. Sama juga sebenarnya dengan penguasaan diri atas lingkungan, tapi bedanya proses yang terjadi berikut ini adalah proses hegemonik. Secara tidak sadar manusia jadi teralienasi (atau lebih tepatnya mengalienasi diri) dengan menjadi mekanis. Jika orang yang mengalami tekanan psikologis karena ketundukan kepada lingkungan dapat dengan mudah mendeteksi ketimpangan yang terjadi, dalam kasus ini lebih parah subyek tidak merasa bahwa dirinya mengalami penyimpangan. Orang sering terjebak dengan hal yang mekanis, mematikan kreativitas dan rasa empatinya yang notabene adalah fitrah. Orang yang seperti ini lebih sulit sembuh karena bukan cuma tidak sadar akan keadaannya, tapi juga tidak sadar akan kesadarannya. Dapatkah kita rasakan kalau kita sebenarnya sudah terjebak dengan rutinitas, menyia-nyiakan banyak potensi yang kita miliki. Kita tidak lebih hanya dicetak sebagai robot. Terus gimana caranya agar kita merdeka. Lepaskan diri dari konstruk untuk mengarah kepada individuasi. Untuk contoh keadaan yang kedua ini dapat kita rasakan dengan disetirnya kita oleh banyak tugas. Bukan cuma masalah beratnya beban yang kita pikul, tapi efek psikologis yang kita alami. Bukankah kita psikologi? Tentunya harus dipertimbangkan efek psikologis dari sebuah perilaku disamping efek fisiknya. Dari berbagai tugas yang diberikan, rasanya tidak yakin juga kalau tugas itu sudah ditelaah oleh dosen yang memberikan tugas. Kadang tugas itu diberikan dengan pola seperti penjajahan. Seharunya dosen mempunyai empati dalam hal ini. Kalau tidak bisa, ndak usah empati pada beratnya tugas lah. Coba empati pada tugas itu sendiri, apakah sebuah tugas itu relevan. Bukan juga cuma soal manfaat, tapi masalah apakah tugas itu sudah cukup mendapatkan analisa sehingga efek psikologis sudah menjadi salah satu pertimbangan. Tidak semua bab atau sub bab dalam mata kuliah yang seenaknya bisa dijadikan tugas (misalnya bikin makalah). Mungkin ada bagian yang sudah cukup dengan kuliah ceramah atau diskusi.

Sekaranglah waktunya kita lakukan apa itu individuasi. Tidak penting pengertian individuasi, yang penting kita bisa menyadarinya. Kita adalah indiviudu yang punya otoritas atas tubuh dan pikiran kita sendiri. Ini bukannya slogan dari pemberontakan, inilah yang seharusnya menjadi suara dari nurani. Lingkungan hanya referensi, alat atau tawaran. Kita punya hak untuk mentransformasikan, berpikir, bersikap dan mengambil tindakan atas relalitas. Keterikatan hendaknya dibingkai dalam sebuah kesadaran. Karena kuatnya lingkungan, maka empati rasanya sudah waktunya diwujudkan dengan perlawanan. Jika karena alasan yang sama (kuatnya otoritas lingkungan red.), maka salah satu cara bisa denganmemanage diri, misalnya dengan relaksasi di atas. Tapi perlu juga hati-hati, karena relaksasi yang sudah dibentuk itu bisa merupakan konstruk baru. Akhirnya apapun yang Anda pilih, pastikan itu adalah pilihan yang sadar.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar