Selasa, 29 Juni 2010

CINTA


Cinta. Aku menjadi tertatih tak tentu arah ketika setiap bayangan tulisan cinta selalu diawali dengan kata itu, juga tajuk cinta. Bukan dengungan logis rasional ketika dada berburu. Bukan pembahasan kebahasaan ketika ungkapan cinta bertalu. Bukan reaksi dari rangsangan mata, telinga, hidung, kulit, lidah yang membuat cinta itu buta, cinta itu tuli, cinta itu bisu, cinta itu.... Ketika semua telah tersebutkan, tidak dipungkiri bahwa cinta itu mati. Padahal cinta itu hidup, cinta itu melihat, cinta itu mendengar, cinta itu bicara. Setiap kehendak yang digerakkan oleh cinta punya bantahan, punya pembenaran, punya pembelaan. Butanya cinta saat wajah jadi ukuran, tulinya cinta saat suara jadi sandaran, bisunya cinta saat rayuan jadi pijakan, dan matinya cinta saat ia tak lagi jadi karunia.

Anekdot cinta saat melownisasi menjangkiti kaum tertolak, kaum tersia-sia, kaum terjajah. Meledaknya jantung tak pernah dapat hirauan. Sesaknya nafas tak lagi beroleh anggapan. Saat Iwan Fals berkata, "Aku bukan pilihan", atribut bisa melekat pada harta. Ketika Ibnu Hajar menyatakan bahwa, "Tidak Ada Cinta Bagi Penyair", rona telah terbiaskan oleh ayu atau gantengnya paras, tipisnya bibir, lentiknya bulu mata, mancungnya hidung, atau badan gembur, subur, dekat sumur, awas kecebur, mati nganggur. Tapi ternyata cinta membangkitkan semua. "Aku adalah pilihan", "Penyair berhak untuk mencinta dan dicinta". Setiap kata terucap adalah harapan. Setiap senyum, desah, lirikan, jadi buaian.

Cinta tak jauh dari benda sakral. Bahkan cinta dianggap sebagai agama. Setidaknya apa yang dikatakan Kang Jalal telah menempatkan cinta pada dikotomi yang sama dengan agama. Cinta memotivasi kekerasan tanpa balas atau pengabdian tanpa batas. Cinta mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi. Cinta menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal. Cinta memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Pembenaran akan cinta dan pembenaran karena mencinta menjadikan cinta itu hidup. Namun kematian cinta adalah kehidupan bagi pecinta. Setiap bayangan dari yang dicinta hadir, geliat argumen tak kan memurnikan cinta. Hanya helahan nafas yang menghentikannya pada ketulusan cinta. Hembusan panjang sebagai bentuk kepasrahan. Kepasrahan yang sering berujung pada kehidupan dari sang penyair, kehidupan bagi yang tak berhak untuk dipilih.

Akhirnya atas nama cinta, aku hidup dengan kehidupanku, aku melihat dengan mataku, aku mendengar dengan telingaku, aku bicara dengan lidahku.

2 komentar :

  1. cinta juga mengajarkan kesetaraan :)

    BalasHapus
  2. indahnya cinta meleburkan rasa, menyatukan hati, membuat jadi setara :)

    BalasHapus