Minggu, 26 Juni 2011

Belajar: Aktif Vs Kreatif

Pagi-pagi, habis beres-beres dan nganter Abe ke tempat momongnya, langsung sabet smartphone dan laptop. Tangan ini tak ingin berhenti nyerocos di layanan instant message. Saya asik berdiskusi tentang sesuatu yang beberapa hari ini membuat otak gatal (hem.., butuh sampo untuk otak ini), yaitu tentang pengalaman mengikuti active didactive learning pada dua hari sebelumnya. Ini lah barang antik yang belakangan ini ditimang-timang di tempat kerja, sebuah barang yang sedang hangat digandrungi.

Berbicara tantang belajar dalam dunia pendidikan, ternyata tak luput berbicara tentang kreativitas dalam menyelenggarakan prosesnya. Di malam sebelum tulisan ini dibuat, saya memancing para rudict (follower twitter saya) untuk membahas tentang kreativitas. Karena pancingannya belum mantap, maka otak yang gatal ini tak bisa dibendung, dan tertuanglah dalam tulisan berbagi pengalaman ini.

Sebelumnya saya ceritakan dulu secuplik pengalaman saya waktu ikut pelatihan. Pada pelatihan active didactive learning bersama trainer bule kemarin, setiap orang membuat rancangan belajarnya masing-masing. Sebagian besar membuat rancangan untuk memberikan pengetahuan teoritik (dan ada juga historis) kepada mahasiswa.

Rancangan yang dibuat oleh peserta training bagus-bagus. Bisa dikatakan kreatif. Tapi ada juga rancangan belajar yang luar biasa, yaitu milik Fathoni. Ia merancang pembelajaran selama satu semester (kalau tidak salah untuk MK Sosial Terapan) dengan membuat projek film.

Dibandingkan dengan rancangan yang lain, rancangan milik Fathoni ini memang lebih liar. Sementara itu, rancangan yang lain dibuat linear, dengan analogi satu banding satu, dan diperuntukkan untuk mentransfer pengetahuan. Karena itulah, masukan yang datang dari peserta training yang lain berkisar tentang pemberian teori, tuntunan dan aturan, serta keharusan untuk masuk kelas secara rutin. Padahal menurut Fathoni, desain rancangannya yang berbasis projek ini hanya membutuhkan konsultasi dan implementasi.

Sekilas tampak perbedaan cara berpikir yang linear dan nonlinar antara Fathoni dan peserta workshop yang lain. Kedua cara berpikir ini bisa dianggap kreatif, atau paling tidak mereka memandang cara berpikir mereka masing-masing adalah kreatif. Tapi kalau sama-sama kreatif, kenapa keduanya berbeda?

Itulah uniknya kreativitas. Banyak orang menyangka kreativitas itu dalam prakteknya hanya melihat dari sisi kutub sebelah: tidak kreatif. Jadi orang menganggap kreatif hanya lawan dari tidak kreatif. Jika orang terbiasa menggunakan otak kiri, maka menggunakan otak kanan dianggap kreatif. Jika orang terbiasa terikat, maka kebebasan dianggap kreatif. Padahal tidak demikian. Kereativitas itu seperti kantong raksasa ajaib yang bisa memasukkan segalanya. Dalam kantong tersebut ada linear-nonlinear (bahkan diantaranya atau pilihan lainnya), ada abstrak dan konkrit (bahkan diantaranya atau pilihan yang lainnya), ada titik, bidang, ruang dan sebagainya.

Berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap training active didactive learning, kreativitas satu kutub masih hidup subur di dalamnya dengan kutub kiri yang masih merajai. Kenapa saya katakan demikian? Karena dari komposisi peserta saja, Fathoni jadi orang tunggal yang berbeda dengan kerativias lain yang lebih dianggap tertata teratur. Dari sini juga terlihat ada kutub-kutub cara berpikir yang berbeda: teoritis-praktis, kutub otak kiri dan kanan (kepala dan hati). Dari kutub otak kiri dan kanan, muncul kutub-kutub lain: kutub konkrit-abstrak, linear-nonlinear, teratur-acak.

Berdasarkan teoritis dan praktis, ada peserta yang selalu menekankan pada teori, teori dan teori serta melupakan praktek. Padahal kreativias itu selalu menginjak bumi. Kreativitas mengajak untuk menyatukan yang teori dan kenyataan di lapangan.

Di pelatihan itu, di sana sini terdengar kekhawatiran bahwa mahasiswa tidak terkendali, tidak membaca buku, tidak tahu teori. Jika ada satu ide saja yang liar, maka kekhawatiran yang seperti itu selalu muncul. Padahal perlu kita cermati lagi ide liarnya seperti apa. Jika ide liar itu memang ditujukan untuk berkreasi, mahasiswa mampu mencipta, maka kebebasan itu tidak perlu dikhawatirkan. Bukankah orang akan jadi lebih kreatif jika dibebaskan? (cek video keren ini). Semakin banyak aturan, maka ruang kreatif jadi semakin sempit.

Dalam kreativitas, kekhawatiran mahasiswa jadi tak mau belajar dan tidak terkontrol tidak perlu terjadi. Mosaic Learning melihat fenomena seperti ini dengan sudut pandang kreatifnya, karena kreatif itu bukan soal kebebasan mutlak. Kreativitas membuat aturannya sendiri dalam diri subjek, dalam hal ini mahasiswa yang diberikan projek (seperti idenya Fathoni). Semakin kita membebaskan, semakin bisa mahasiswa membuat aturan. Kemandirian dan penghargaan ini yang menjadi kunci tetap hidupnya kreativitas mahasiswa. Apakah sudah masuk logika kita? Jika mata kreatif kita belum terbuka, rasanya pikiran kita akan masih berpikir keras untuk bisa menerimanya.

Namun demikian, hal ini masih bisa diperjelas. Dalam melakukan sebuah aktivitas pembelajaran, sebenarnya ada tiga komponen utama yang bisa diolah, yaitu modalitas (terutama kekuatan mahasiswa), hasil yang ingin dicapai, serta proses yang dijalankan.

Dalam training active didactive learning, kebanyakan orang menyarankan untuk mengolah proses. Ini harus lebih hati-hati, karena bisa jadi, pengelolaan proses yang berlebihan akan mengurangi ruang kreatif mahasiswa. Jika pengelolaan prosesnya lebih kepada cara fasilitator dalam memandu keseluruhan proses pembelajaran, itu tidak terlalu bermasalah. Tapi jika fasilitator banyak mengintervensi proses yang dirancang oleh mahasiswa, maka itu yang akan jadi masalah buat kreativitas mereka.

Sebenarnya, yang bisa tetap kita kelola adalah hasil atau modalitasnya. Sepakati atau buat saja kriteria yang tidak membatasi untuk hasil projek atau tugas mahasiswa. Seperti apa kriteria yang tidak membatasi itu?

Coba sejenak kita beranalogi. Jika halaman kita kotor dan kita ingin meminta anak untuk membersihkannya, maka kita bisa memberinya perintah. Ada perintah yang berbunyi, “Ambil sampahnya dan masukkan ke tempat samah!”, tetapi ada juga yang seperti ini, “Buat halaman ini menjadi bersih dan indah!”. Bisakah kita membandingkan bagaimana efeknya? Perintah yang pertama sudah (bahkan terlalu) jelas dan menuntun. Efeknya adalah anak akan memungut sampah dan memasukkan ke tong sampah. Apakah dia akan membersihkan noda atau mencabut tanaman yang sudah mati, atau menyiraminya? Saya yakin, tidak. Bagaimana dengan stimulus yang kedua? Anda bisa merasakannya sendiri.

Selain mengelola hasil, modalitas juga bisa diolah. Membiarkan mahasiswa belajar dengan gayanya merupakan pengelolaan modalitas tersendiri. Biarkan yang visual belajar dengan gayanya, juga yang auditorik, intelektual maupun somatik. Selain itu, modalitas di luar diri mahasiswa juga berhak mereka kelola. Modal materi, apa yang mereka punya, atau relasi yang mereka miliki, juga bisa menjadi modal terendiri. Membantu mahasiswa meng-inquiry modalitas ini juga bisa membantu. Atau jika mahasiswa sudah menyadari modalitasnya, kita bisa mengatakan, “Gunakan apa yang kita miliki, modal yang kita punyai!”, sehingga pembuatan film oleh mahasiswa Fathoni tidak terlalu dipusingkan dengan modal materi yang harus digunakan.

Demikian sekelebat ulasan tentang kreativitas. Jadi, selain kita terus membiasakan menjadi kreatif, juga jangan berhenti untuk menyebarkan virus yang dapat membuat orang lain terbiasa menjadi kreatif.

3 komentar :

  1. Kadang membiarkan siswa mencapai tujuan tanpa menjelaskan langkah-langkahnya justru membuat proses belajar berjalan lambat (atau bahkan berjalan di tempat). Kadang urutan langkah-langkah (perintah) yang terstruktur dan rinci itu lebih baik ketimbang membiarkan siswa mencapai tujuan belajar dengan caranya sendiri.

    Salam kenal.

    BalasHapus
  2. tanpa memihak sisi manapun, setiap konsep memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.. adakalanya tuntutan lingkungan membutuhkan sikap yang mengikuti aturan, rinci, dan teoritik.. ada pula insiatif, social dan kepekaan emosional memberikan ide baru yg memiliki hasil lebih baik. tidak ada benar dan salah hanya tergantung dari kondisi lingkungan dan medan kalo kata Lewin. CMIIW

    BalasHapus
  3. Salam kenal juga mas Amir dan mas ichingwiguna.

    Betul sekali, seni memanajemeninya adalah mengawinkan keduanya

    BalasHapus