Pagi itu adalah hari pertama Libi masuk sekolah. Nama sekolahnya, SEKOLAH SEMUT BERKAUS KAKI. Libi adalah seekor lebah yang masuk di sekolah para semut. Ini karena Libi adalah satu-satunya lebah berwarna merah yang sudah diangkat menjadi keluarga semut. Seperti namanya, setiap murid tidak ada yang tidak berkaus kaki. Kaus kaki seperti pakaian wajib. Lebih dari itu, memakai kaus kaki adalah kebanggaan buat murid di sekolah semut tersebut.
Di sekolah semut yang baru ini, Libi senang sekali, karena fasilitas sekolahnya beraneka ragam. Ada perosotan yang puanjaaang, ada ayunan yang tidak hanya berayun depan belakang, tapi juga bisa bergoyang ke kiri dan ke kanan, ada terowongan panjang bawah tanah, dan banyak lagi. Ditambah lagi sekolahnya yang beraneka warna dengan pemandangan kolam yang indah serta permainan lampu yang bisa menampakkan hujan, matahari dan pelangi. Sebuah sekolah yang luar biasa.
Tidak seperti sekolah lamanya dulu, teman-teman Libi di sekolah ini juga keren-keren. Selain bajunya yang selalu bersih dan disetrika rapi, peralatan sekolah mereka juga canggih. Rautan, pinsil, ballpoint, semua serba otomatis dan menggunakan mesin. Dan yang pasti, para murid memakai kaus kaki berwarna-warni indah dan berbau harum beraneka aroma.
Suatu ketika, tibalah belajar di laboratorium ilmu alam. Laboratorium yang besar dan bersih. Setiap masuk, guru dan murid harus melepas sepatunya. Lantainya berkarpet dan tidak ada kotoran atau debu sedikitpun.
Di lantai duduk berderet anak-anak semut yang sibuk melepas sepatu dan segera meletakkan di rak. Ketika Libi melepas sepatu, beberapa teman yang berada di sekitarnya memperhatikan. Pandangan mereka tajam tertuju pada ujung kaki Libi yang masih terbungkus kaus kaki.
Beberapa detik kemudian tawa teman-teman Libi meledak.
“Kaus kaki bolong!”, celetuk Pilo, salah satu teman baru Libi, diikuti dengan tawa yang terkekeh-kekeh.
Teman-teman Libi tak kalah keras ikut menertawakan kaus kakinya.
Sekali lagi Libi menatap kaus kakinya. Dia segera lari menuju rak sepatu, meletakkan dan buru-buru masuk laboratorium.
Kelas berjalan dengan suara bisik-bisik diantara teman-teman Libi.
“Kaus kaki Libi bolong”, demikian mereka saling mengabarkan.
Beberapa diantaranya berusaha melongokkan kepalanya untuk memastikan kondisi kaus kaki Libi, apakah bisikan para murid bukan isapan jempol belaka.
Kaki Libi sibuk saling menutupi antara yang kiri dan yang kanan. Tapi ujung-ujung jari kaki itu rupanya tak mau dihalang-halangi. Jika yang kanan menutup yang kiri, maka jari kaki kanan yang di atas, tetap saja kelihatan.
* * *
Libi melemparkan tasnya di kasur, disusul tubuhnya mendarat tajam. Ia menelungkupkan wajahnya ke bantal.
“Ada apa Libi?”, suara lembut perempuan dari balik pintu. “Biasanya kalau baru datang, kamu cium tangan ibu, bercerita banyak hal. Ada apa?”, lanjat perempuan yang ternyata ibunya Pimpim itu.
Libi diam terisak-isak.
“Ayo cerita...!”, desak ibu.
“Kapan Libi dibelikan kaus kaki baru?”, suara Libi diantara isakan.
Ibu menunduk. Ia tersenyum sambil mengelus kepala Libi dari belakang.
“Ibu kan sudah bilang, bulan depan ibu baru punya uang untuk beli kaus kakimu”
“Itu terlalu lama Bu...”, Libi tetap merengek.
* * *
Keesokan harinya, satu bangku di kelas Libi kosong. Siapa yang tidak hadir? Tentu saja Libi.
“Kemana Libi? Ada yang tahu?”
Pilo mengangkat tangan, “Mungkin dia sedang mengerjakan PR nya Bu Guru”
“PR apa?”, tanya Bu Guru bingung.
“Menjahit lubang di ujung kaus kakinya”, celetuk Dion, diikuti suara tawa hampir seluruh murid.
Sejak saat itu, berita tentang kaus kaki Libi yang bolong menyebar ke seluruh sekolah.
“Anak baru itu, kaus kakinya bolong”, “Dia satu-satunya anak ajaib, ujung jarinya berloma-lomba keluar”, “Gimana kalau kita kasih nama si kaki bolong?”, demikian cerita heboh tentang kaus kaki Libi yang bolong.
Tidak hanya itu, ada juga yang kreatif bikin poster gambar kaki yang memakai kaus kaki dan ujung jarinya nongol. Di atasnya ditulis, DICARI SEORANG BOCAH HILANG. CIRI-CIRINYA LIHAT DI BAWAH INI.
Tertawa meledek terdengar di setiap ujung sekolah. Memang tidak semua, tapi sudah cukup membuat Libi, tepatnya kaus kakiya yang bolong, menjadi bintang.
Diantara banyak yang tertawa itu ada juga yang menaruh iba. Dapin dan Lea adalah dua teman Libi yang berusaha mencari Libi ke rumahnya.
* * *
“Selamat siang!”
“Selamat siang!”, Ibu Libi menyambut Dapin dan Lea. “Libi ada di kamar. Masuk aja!”, lanjut ibu mempersilahkan mereka berdua.
Di kamar Libi sedang duduk serius menghadap ke mejanya. Di atas meja ada dua buah helai kaus kaki bolong yang sedari dua jam yang lalu tak pernah lepas dari padangannya.
“Libi, kamu ngapain?”, tanya Dapin menghampiri.
Libi tetap tak menggubris.
“Libi...”, susul Lea sambil memegang pundak Libi
Dapin dan Lea melongok, apa yang sedang dilakukan Libi di mejanya, sampai-sampai ia tak mendengar mereka berdua.
Dapin tak dapat menahan tawa setelah tahu yang di depan Libi adalah dua helai kaus kaki bolong. Lea buru-buru mencolek Dapin, memberi isyarat untuk diam.
Libi memandang mereka berdua. Ia raih dua kaus kaki di meja dan meninggalkan mereka berdua. Ia terbang mengitari kamarnya dan akhirnya menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas ranjang. Ia angkat dua kaus kakinya seperti sedang menerawang untuk memastikan uang asli.
Dapin duduk di samping Libi, menepuk pundak Libi.
“Sudah, biar kaus kaki bolong, belajar jalan terus jalan dong”, Dapin berusaha memberi semangat.
“Iya Libi. Besok masuk sekolah yuk!”, lanjut Lea.
“Dengan kaus kaki bolong ini?”, protes Libi
“Ibu sudah menasehati biar dia tetap belajar. Kaus kaki dan belajar itu tak ada kaitannya”.
Ibu masuk dengan sepiring kue madu kesukaan Libi.
“Ayo Dapin, Lea, dimakan kuenya!”, lanjut ibu
Kini mereka bertiga tak bersuara. Masing-masing orang terdiam, entah memikirkan apa.
“Benar itu Libi...”, Dapin angkat bicara.
“Meskipun kaki kita berbeda, apa kamu mau menggunakan kaus kakiku?”
“Biarpun aku pakai kaus kaki baru, tetap saja mereka akan mengolokku”, tepis Libi.
“Betul Lea, bukankah di sekolah sudah ada julukan Si Kaus Kaki Bolong? Hahahahaha”
“Hush!”, kembali Lea mencolek Dapin. Kali ini ditambah pelototan mata.
Kembali ketiganya diam. Kali ini lebih lama.
“Aku ada ide!”, pekik Lea.
Dapin dan Libi menoleh dan menunggu dengan antusias.
“Saatnya kita mempromosikan kaus kaki bolong”
“Maksud kamu?”, tanya Dapin dan Libi hampir bersamaan.
Lea tak menjawab. Ia segera mencopot kaus kakinya.
“Kamu punya gunting?”, tanya Lea
Libi menunjuk meja belajarnya. Lea mengambil gunting yang tergeletak di situ. Ia memotong ujung kaus kakinya.
“Apa yang kamu lakukan, Lea?!”, pekik Dapin
“Iya Lea.. aku saja mendambakan kaus kaki yang indah seperti itu. Kenapa kamu malah merusaknya?”
“Ini tidak rusak Libi. Ini justru indah. Malah lebih indah”
Dapin dan Libi menggeleng tak mengerti.
“Mulai hari ini, aku akan mendukung Libi untuk mempromosikan kaus kaki bolong”
“Ini ide gila!”, kata Dapin
“Apa keuntungannya kalau kaus kaki kita bolong?”, tanya Lea
“Kaki kita jadi dingin, tidak gerah”, kata Dapin
“Apa lagi?”, tanya Lea lagi
“Ujung jari kita masih bisa untuk menjepit kalau kita bermain di atas pohon, atau ketika kita memakai sendal jepit”, Libi melanjutkan, tak mau kalah.
“Bagus! Ayo kalian berdua buat posternya!”
Dapin dan Libi bengong
“Tunggu apa lagi?!”, bentak Lea
“Eh, iya”
“Siap!”
Dapin dan Libi terkesiap dan segera melakukan ide Lea.
* * *
Ini hari pertama Libi masuk sekolah lagi, setelah seminggu tidak masuk. Kali ini dia berangkat sekolah dengan semangat bersama Lea dan Dapin. Ia terbang mengelilingi Lea dan Dapin yang hanya bisa jalan, karena mereka berdua bukan lebah. Tawa mereka bertiga merekah, diselingi lagu berjudul KAUS KAKI BOLONG.
Kaus kaki bolong
Kaus kaki paling keren
Kaus kaki bolong
Untuk yang merasa beken
Begitulah lagu yang mereka ciptakan untuk mempromosikan kaus kaki bolong. Sepanjang jalan mereka bertiga menghafalkan lirik lagunya. Sesekali Dapin salah dan harus diingatkan oleh Lea dan Libi.
Di sekolah, Libi, Lea dan Dapin segera menempel poster-poster yang bergambar kaus kaki bolong. Di poster itu juga ditulisi lirik lagu yang mereka dendangkan dimana-mana. Mereka bertiga juga tidak malu menunjukkan kaus kaki mereka yang bolong. Selain itu, Dapin juga bersemangat menyebarkan selebaran-selebaran tentang ‘kaus kaki bolong’. Beberapa orang yang merasa kampanye mereka seru, ikut mempromosikan. Yang lain juga tidak ingin ketinggalan.
Promosi kaus kaki bolong ini terus berlangsung. Setiap hari selalu bertambah murid yang memakai kaus kaki bolong. Dimana-mana murid atau bahkan guru menyanyikan lagu ‘kaus kaki bolong’.
* * *
Sudah berganti bulan. Ini saat yang telah dijanjikan oleh ibu. Libi mendapatkan sebuah bingkisan yang dibungkus kotak cantik.
“Libi, ini kaus kaki yang ibu janjikan dulu. Ini baru ibu berikan bulan ini, karena ibu baru punya uang bulan ini. Tidak hanya itu, ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun Libi. Jadi ini sekaligus hadiah ulang tahun buat Libi”
“Terimakasih Bu”
Libi mencium pipi ibu.
“Libi sudah tidak mau merepotkan ibu”, lanjutnya. “Libi tidak mau menuntut ibu membelikan kaus kaki baru”
“Ini kejutan buat Libi. Coba Libi buka hadianya”
Perlahan Libi menyobek kertas pembungkus hadiah. Matanya berbinar ketika melihat hadiahnya. Sepasang kaus kaki bolong baru.
end
Tidak ada komentar :
Posting Komentar