Kamis, 15 Desember 2011

Dia yang Sebenarnya ‘Beruntung’

Aku menumkan ibu-ibu tuna wisma yang sangat beruntung. Apa peruntungan yang menganugerah kepadanya?


Hari rabu malam, aku pulang bermotor bersama ibunya @bintangABC. Karena juga membonceng Abe, maka aku nikmati perjalanan, menyusuri aspal Pondok Mutiara, sebuah perumahan elit di Sidoarjo.

Selintas lampu motor menyinari tubuh yang tergeletak di rerumputan pinggir jalan. Bukan rerumputan taman yang di seberang got tempat dia teronggok, tapi persis di pinggir jalan, di rumput yang lembab.

Perasaanku kuat tertuju pada orang itu. Aku yakin dia adalah nenenk-nenek bungkuk yang biasanya membawa kaleng untuk mengemis. Bedanya, biasanya ketemu pada siang hari, ketika dia sedang berjalan di pinggiran jalan.

Dingin seketika menyentuh kulitku, membayangkan betapa dinginnya hawa yang tertanggung oleh nenek itu. Gatal terasa, bergidik jika bukan hanya semut di rerumputan yang menggigit, tapi bagaimana jika hewan berbisa.

Ibunya Abe meminta untuk berputar kembali menuju kepada si nenek, persis dengan kenginanku. Dengan susah payah berputar, karena kendaraan memang sangat padat, akhirnya mencapai juga pada orang yang kami maksud, setelah berputar-putar karena takut terlewat.

Perlahan motor mendekat. Ternyata sudah ada seorang wanita yang menyorotinya dengan lampu senter. Orang itu tak berani memgang tubuh telungkup itu. Tidak ada gerak membuatnya semakin khawatir, jangan-jangan sudah meninggal, mungkin itu pikirnya.

Ibunya Abe mendekat dan memanggil di dekat telinganya. Dengan berati dia angkat kepala. Syukurlah, masih nenek itu lengkap dengan nyawanya. Ibunya Abe memberi beberapa lembar uang di kaleng dekatnya. Tak lupa ibunya Abe mengingatkan agar menyimpan baik-baik kaleng yang berisi uang itu, nanti takut ilang pas ditinggal tidur.

Wanita yang sedari tadi menjaga jarak, berani mendekat. Ia kembali menuju mobil yang menunggunya di pinggir jalan. Ia berniat melakukan hal yang sama, meminta uang kepada seseorang di dalam mobil, dan memberikan kepada si nenek.

Ibunya Abe menanyai apakah sudah makan. Si nenek mengangguk perlahan. Sepertinya ia menahan kantuk tak tertkira.

Yang membuat kagum adalah apa yang aku lihat di tangannya. Rupanya ia terpulas setelah beribadah. Ia membawa tasbih (penghitung kata atau kalimat baik yang diucapkan dengan tujuan ibadah).

Aku dan ibunya Abe berlalu dengan berat hati. Sambil berkendara aku berpikir, bagaimana dia melakukan sholat ya, sedangkan ia tidak punya mukena (pakaian sholat muslimah). Entahalah bagaimana caranya, yang jelas aku yakin, si nenek barusan sedang beribadah sampai tertidur.

Ibunya Abe punya ide untuk memberikan selimut atau apapun yang dipunya, agar si nenek bisa beristirahat dengan nyaman.

Sampai di rumah, ditemukan sebuah seprey yang masih bagus, meski tidak baru. Herannya, begitu berat aku menggengam seprey itu. Begitu juga ketika memasukkannya di tas plastik. Semuanya serba berat. Padahal biasanya tidak seperti itu.

Selama di perjalanan kembali menuju si nenek, aku terus berpikir, kenapa hati ini berat menyerahkan seprey baru yang sudah lama aku miliki tersebut.

Coba ku ingat-ingat pemberian-pemberian yang pernah ku lakukan. Bukan berarti mengungkit-ungkit, tapi lebih karena ingin mencari penyebab keberatan hati yang aku rasakan.

Ketemu sudah polanya. Aku lebih ringan memberi barang baru, sedangkan jika barang lama, aku merasa berat hati. Bukan berarti merasa pemberian itu tidak pantas, tapi lebih karena nilai histories. Sadar bahwa diri ini agak melankolis hehe. Ternyata ada saja hambatan yang memberatkan hati kita untuk memberi, mengaburkan niat baik untuk berbagi.

Mendekat ke arah nenek yang masih tertidur. Ternyata seperti magnit, ada tarik dan ada juga tolak. Aku seperti di medan yang membuat hati ini berat dan ringan sekaligus. Ketika menatap seprey lama itu, rasanya ini adalah saat-saat berat untuk berpisah. Tapi ketika pandangan tertuju kepada nenek, rasa untuk memberi timbul lagi. Begitu terus hingga menemui satu titik yang tak berasa apapun. Aku berhenti.

Aku coba memandang ke dalam diri, meresapi titik yang sedang ku jejaki. Seperti horogram, niat baik itu timbul dan tenggelema silih berganti.

Di titik yang sama, aku melihat nenek itu, tertuju pada apa yang sedari tadi ku anggap spesial, iya tasbih di tangannya. Aku membayangkan, jika dibandingkan dengan aku, mungkin nenek ini lebih baik ibadahnya.

Semangat mulai timbul karena niat sudah berbelok. Pembelokan ini memberikan dorongan. Berbelok kemana? Iya, aku berpikir bahwa aku harus memberikan kenyamanan dan kemudahan orang dalam beribadah.

Segera ku dekati tubuh si nenek dan kuselimuti dia dengan sprey lama yang masih selalu baru di hatiku. Aku tepuk beberapa kali tubuhnya untuk ikut merasakan kehangatan yang sekarang sedang ia nikmati. Ia mengangguk dan berterimakasih. Akupun tak pernah kehilangan rasa senang itu, rasa senang ketika apa yang ku beri berguna.

Apakah Kamu pernah punya pengalaman yang serupa ini?




Sumber gambar: http://www.cruzine.com/

2 komentar :

  1. Iya kun.. aku sampe tercekat, terpaku, tak tega meninggalkannya. tapi itu bagian dari hidupnya yang juga tidak mudah kita ubah dengan sewenang-wenang begitu saja. Kadang apa yg menurut kita membantu bisa menyulitkan buat orang lain. Yang penting kita telah niatkan membantu

    BalasHapus