Cara kita memandang itu mempengaruhi keyakinan yang terbentuk. Begitu juga sebaliknya, keyakinan yang kita miliki, juga mempengaruhi bagaimana kita memandang. Jika kita terbiasa melihat sisi cerahnya, maka akan demikian keyakinan kita terhadap yang kita pandang. Dan sebaliknya..
Suatu ketika aku mengendarai motor. Sebagai pengemudi yang baik, tentu saja aku taati aturan dengan mengenakan helm. Di tengah jalan, aku ingin membuka kaca penutupnya. Tiba-tiba ada dua pemikiran yang muncul sebagai akibat dari terbukanya helm itu. Pertema, aku langsung berpikir, "Duh polusinya!", diiringi dengan seliweran bau asap. Kedua, aku berpikir, "Wah segar...!, karena memang sedang berhembus angin dari pepohonan. Kedua kenyataan dan pikiran ini datang bersamaan.
Suatu hari aku datang memasuki ruang kerja. Proposal skripsi menumpuk, meunggu untuk direkap tentang kelengkapan persyaratan pengajuannya. Karena sudah lumayan lama tidak masuk ruang kerja, maka rasanya fresh. Biasanya aku bekerja di gedung yang berbeda, karena butuh ketenangan dan kebebasan berpikir.
Dengan menyeret tumpukan proposal skripsi menggunakan kursi beroda, karena terlalu berat jika ditenteng dengan tangan, tiba-tiba disambut oleh rekan kerja yang ada di dalam ruangan. Dialognya kurang lebih seperti ini,
Rekan: Wah, aku pikir lupa
Aku: Lupa gimana maksudnya?
Rekan: Lupa sama ruang kerja ini
Aku: Oh ndak kok. Fleksibel aja, kalau ada kerjaan di sini (gadung B red) ya aku ke sini, kalau kerjaannya di sana (gedung A red), ya aku selesaikan di sana.
Aku pikir kata 'di sini' dan 'di sana' sudah cukup jelas untuk mewakili gedung A dan gedung B, karena sudah sama-sama tahu. Ternyata ia memunculkan arti yang berbeda.
Rekan: Oh, jadi kalau ada pekerjaan di dalam, baru ke sini, kalau kerjaannya di luar, banyak di luar?
Aku: Aku di gedung sana (gedung A red) kok
Rekan: Ah, kata si X kamu tidak pernah di sana
Aku menghentikan obrolan dan keluar. Aku seret kursi yang tadi digunakan untuk membawa tumpukan proposal skripsi. Alasan cepat mengembalikan kursi aku kira sudah cukup.
Sebelumnya, aku sudah berniat menyelesaikan pekerjaan merekap proposal skripsi di ruang sini (gedung B red), tapi karena aku disambut dengan cara yang 'berbeda', maka aku putuskan untuk kembali ke sana (gedung A red).
Apa yang bisa kita ambil dari kedua pengalaman ini? Yang jelas keduanya adalah pengalaman kecil yang tentu saja bisa kita jadikan lahan untuk belajar. Artinya, kita bisa menarik makna untuk mempelajari kecenderungan-kecenderungan (mungkin) kita.
Pengalaman yang pertama memang sangat personal, tapi cukup menarik. Pada saat bersamaan, pilihan apa yang akan kita putuskan untuk dipikirkan hadir, apakah aku akan memilih memandang kesegaran angin pepohonan atau bau asam yang tak mengenakkan.
Pengalaman yang kedua, aku melihat rekan kerja lebih suka memandang bagian yang minus, atau yang kurang dari sebuah pengalaman. Ketiadaanku di ruang itu yang jadi pembahasan, bukan kehadiranku. Perhatian dilemparkan kepada masa lalu, tetapi tidak memperhatikan apa yang sedang dihadapi di depan mata. Ketiadaan lebih suka menghuni pikiran daripada keberadaan.
Karena pengalaman pertama, aku jadi membuka kaca penutup helm dengan perasaan lega. Dan karena pengalaman yang kedua, aku tidak jadi untuk menempati ruang di sini (gedung B red).
Hati-hatilah dengan hal-hal kecil yang sebenarnya itu cerminan dan sekaligus memperkuat cara berpikir kita. Jika kita biasakan fokus kepada yang kurang, yang negatif, maka itu akan menjadi default system kita dalam menyikapi keadaan, menyikapi lingkundan, menyikapi orang lain.
Coba lihat ke dalam diri, bagaimana kebiasaanmu memikirkan sebuah keadaan atau kejadian?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar