Senin, 13 Februari 2012

Kerja Berdarah Vs Kerja Tertawa

Sumber Gambar: strategimanajemen.net
Bekerja secara efektif dilakukan dengan kerja cerdas, bukan kerja keras. Namun orang lebih suka bekerja keras karena yang keras lebih bisa dilihat daripada yang cerdas.


Ingat waktu dulu jadi ketua panitia di berbagai kegiatan organisasi mahasiswa. Pernah jadi ketua panitia Gempita Ramadhan, Panitia Student Day dan Psychocamp (SD-PC) Fakultas Psikologi Unair, Program Kebersamaan Mahasiswa Baru, sampai pada menjadi anggota organisasi semisal Sie Kerohanian Islam dan Badan Legislatif Mahasiswa. Selain itu, aku juga bergabung di organisasi profesional seperti Lembaga Pengajian dan Pengembangan Psikologi Terapan (LP3T). Sekarang juga masih aktif di Pusat Terapan Psikologi Pendidikan (PTPP). Di luar kampus aku menjadi Chief Creative Officer (CCO) Indonesia Bercerita.

Entahlah apakah sudah tersebutkan semua atau tidak. Tapi memang letaknya bukan pada gaya-gayaan dengan keambreg aktivitas dan pekerjaan. Aku cuma berefleksi tentang bagaimana aku bekerja dan perubahan apa yang terjadi dari waktu ke waktu.

Di jaman mahasiswa S1 dulu, aku memang bukan aktivitas yang menyabet semua organisasi kampus sebagai tempat beraktualisasi. Aku lebih pas dibilang orang yang suka beraktivitas, itu saja.

Aku merasakan atmosfir kerja yang berbeda di setiap kegiatan. Boleh lah disebut sebagai kedwasaan dalam bekerja atau kedewasaan dalam berorganisasi.

Waktu aku jadi ketua panitia Gempita Ramadhan atau tergabung dalam kepanitiaan Student Day dan Psychocamp, terasa banget cara kerja anak belia di situ. Sebagai informasi, Student Day dan Psychocamp adalah program orientasi mahasiswa baru. Program ini sangat prestisius, karena selain merupakan program terbesar dari Badan Eksekutif Mahasiswa, kedua kegiatan tersebut juga bisa jadi lahan TP-TP atau tebar pesona.

Apa atmosfir kerja belia yang aku rasakan? Ya bekerja dengan keras tentunya. Seperti apa itu? Bekerja keras yang terjadi pada waktu itu adalah kerja yang berdarah dan sangat emosional. Siapapun yang kelihatan bermuka merah, keringat meleleh, nafas tersengal-sengal, atau bahkan nyaris meninggal (mulai lebay deh), itulah yang disebut bekerja. Sementara itu, orang-orang yang duduk anteng, menulis sesuatu, berpikir dan menerawang ide, itu yang disebut sebagai benalu dalam kepanitiaan.

Hal ini terasa sekali ketika dari tahun ke tahun aku ikut dalam kepanitiaan SD-PC. Di awal, aku adalah bagian dari mereka yang selalu menunjukkan darah, mengumpulkan keringat untuk dipamerkan. Pertama kali tergabung di sie perlengkapan yang memang kerjaannya berat secara fisik, angkat-angkat. Pokoknya angkat-angkat. Lagi, angkat-angkat. Menuliskan ini saja sudah capeknya terasa hehe.

Di tahun berikutnya, meskti tetap diidolakan di sie perlengkapan, namun pekerjaanku ada pergeseran. Sekarang aku sering dimintai bantuan sie acara (merangkap SC). Karena itulah, pekerjaanku sudah muali berbau mengonsep. Nah, di sinilah aku merasa ada yang klik di hati. Mungkin inilah yang disebut passion. Tapi karena masih ada konsep bahwa darah itu harus dipertontonkan, aku sering kerja sampai larut dan bahkan rata-rata tak pakai tidur.

Bergulir ke tahun berikutnya. Aku menawarkan diri untuk jadi komisi disiplin atau biasanya disebut komdis. Kerjaannya memang keren, tukang marahi mahasiswa baru. Bahkan pernah memarahi panitia. Karena panitia merasa tua, ya tentu saja mereka menyerang balik, hehehe kuwalat.

Pada waktu menjadi komdis ini mulai aku rasakan perbedaan bagaimana aku bekerja. Mungkin karena aku tak terlibat langsung di operasional kepanitiaan lagi, sehingga bisa menyaksikan dengan cara berjarak. Aku mengamati bagaimana mereka bekerja.

Selalu jadi langganan kalau di kegiatan SD-PC selalu ada ketegangan antar panitia. Berbagai curhat ku dengar di sana sini, sampai aku diminta melakukan mediasi panitia. Pada waktu menjembatani mereka inilah aku merasakan masih banyak yang terbawa emosi. Mereka ikut-ikutan untuk menyerang orang yang dianggap pekerjaannya kurang, bahkan dramatisasinya tidak bekerja.

Untuk menghindari dituding, beberapa diantara mereka ikut-ikutan bekerja dengan (seolah) berdarah-darah. Untuk lebih mengamankan posisinya, ia ikutan menuding pihak-pihak yang dipersalahkan. Di luar forum pertemuan, aku mengajak teman-teman yang dituding itu untuk ngobrol.

Meski tidak semua, beberapa diantara mereka ternyata memang orang yang bekerja menggunakan strategi. Ada yang menggunakan perpanjangan tangan, merekrut bawahan, mengoptimalkan tim, melakukan delegasi, membuat rencana terstruktur dan sebagainya. Akibatnya, orang seperti ini terlihat lebih santai, karena pekerjaannya sudah ia atur. Mereka tidak harus menampakkan diri dengan wajah lelah. Mereka bahkan lebih sering terlihat santai dan tertawa-tawa, Sayangnya, mereka tidak disebut bekerja.

Syukurlah, aktivitas yang sekarang aku jalani dengan cara kerja cerdas, terutama yang di luar pekerjaan utama. Karena aku mulai 'memasarkan' cara kerja seperti ini, maka aku yang kena efeknya. Aku yang dianggap tidak bekerja, tepatnya tidak tampak bekerja. Apalagi ada tenaga-tenaga muda yang juga masih punya prinsip kerja berdarah-darah ini.

Namanya juga membangun budaya. Lakukan dengan edukasi atau menyingkirlah di tempat yang memungkinkanmu bekerja secara cerdas.

Bagaimana dengan cara kerjamu?

2 komentar :

  1. Jadi, bisakah kita membuat "mereka" buka mata bahwa ada yang bekerja dgn cerdas dan juga ada yang harus bekerja dengan darah (baca : lebih banyak tenaga) karena memang begitulah hidup? Bukan tidak adil, tapi tiap pekerjaan pasti ada kebutuhannya masing2.. Terasa seperti menggarami laut ya? Atau seperti membela diri?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup.. tidak ada yang salah kalau bicara soal pekerjaannya. Tapi berbeda jika berbicara tentang orangnya, apalagi cara pandangnya terhadap pekerjaan

      Hapus