Senin, 16 April 2012

Ngobrol Keikhlasan Bekerja bersama Kang Jalil

Coba ingat kembali, apa aktivitas yang kita lakukan sehari-hari. Apakah kita banyak menghabiskan waktu pribadi untuk bekerja? Karena pertanyaan ini, apakah lantas waktu yang kita gunakan untuk aktivitas sehari-hari bukan disebut bekerja? Mana yang berharga buat Kamu, ketika bersama keluarga atau ketika menggunakan banyak waktu untuk bekerja?

Sumber Gambar: naturalhomeandgarden.com

Sekitar minggu lalu, ada seseorang yang datang untuk berkonsultasi soal kehidupan sehari-harinya sehubungan dengan pekerjaan yang ia jalani. Bisa dibilang ini bukan konsultasi resmi, karena ia sendiri juga sudah kenal lama denganku. Tapi karena ia ingin diperlakukan sama dengan klien yang lain, secara profesional, maka ya aku coba berlaku sesuai yang ia minta.

Sebut saja Kang Jalil. Ia bekerja di sebuah kantor lembaga pendidikan yang baru berdiri. Dulu ia memasukkan lamaran sebagai guru. Karena lembaga pendidikannya baru berdiri, dan belum banyak sumber daya manusia yang dimiliki, maka tidak jarang Kang Jalil ini melakukan pekerjaan administratif dan sering juga menangani event promosi. Akibatnya, ia bekerja overtime. Tentu saja tidak ada uang lebih untuk waktu yang ia gunakan tersebut.

Berkenaan dengan uang tambahan karena ia bekerja overtime, sebenarnya tidak menjadi masalah buat Kang Jalil. Hal ini jadi bermasalah ketika ia menikah dan mempunyai satu putra. Soal keuangan sebenarnya juga sudah tercover. Yang menjadi keluhannya ketika bertemu aku waktu itu adalah soal waktu yang harus ia bagi untuk keluarga dan tempat kerja.

Belakangan ini Kang Jalil merasa begitu sedikit waktu yang harus ia gunakan untuk bekerja. Kalau dulu ia bisa membawa pekerjaan pulang, dan bisa langsung disambung di rumah, kali ini ia harus membagi waktu buat anaknya yang sering nggandoli dia ketika melakukan pekerjaan di rumah. Tak jarang ia memarahi anaknya, berselisih paham dengan istrinya dan makin hari makin naik saja tensi darahnya.

Ketika kami ngobrol, ternyata pekerjaan yang ia bawa pulang itu sebenarnya banyak pekerjaan yang tidak harus ia kerjakan sendiri. Sebagian pekerjaan yang lain bahkan seharusnya tidak ia kerjakan, bisa diserahkan kepada orang lain. Namun demikian, Kang Jalil tetap ngotot bahwa persoalannya bukan di banyaknya pekerjaan. Lebih dekat dengan permasalahan waktu adalah soal ketenangan yang ia miliki ketika bersama keluarga.

Kang Jalil belakangan ini merasa tidak bisa menikmati kebersamaannya dengan anak dan istrinya. Ia ingin lebih tenang dan tidak memikirkan pekerjaan ketika harus melakukan aktivitas di rumah, seperti momong anak, mencuci motor, menguras bak mandi, makan, tidur dan sebagainya.

Nah yang tidak pernah dilakukan oleh Kang Jalil adalah belajar memandang aktivitas itu minimal punya kedudukan yang sama, kalau belum bisa melihat bahwa aktivitas keluargalah yang sangat esensial. Cara berpikirnya yang paling awal harus dibiasakan oleh Kang Jalil adalah memandang semua aktivitasnya sebagai pilihan yang memiliki peluang yang sama untuk dilakukan.

Pikiran kita yang didominasi bahwa pekerjaan formal adalah sumber penghidupan yang tak terkalahkan menjadikan sulit meyakini bahwa membelanajakan duit itu sama berartinya dengan bekerja keras untuk mendapatkannya. Melakukan aktivitas bersama keluarga sama bermaknanya dengan bekerja.

Seorang teman yang baru saja dioperasi karena infeksi usus mungkin adalah salah satu contoh yang menjadi dampak mengagungkan bekerja dan mengabaikan menikmati hasilnya. Kalau ngomong tentang tabungan hasil bekerja, tak terkira jumlahnya. Tapi soal menikmati hasilnya, ia orang yang paling tega mengorbankan dirinya. Ia sulit sekali untuk makan. Nasi bungkus yang tidak habis dari tempat kerjanya, bisa dibawa pulang. Lauknya bisa dimakan oleh suaminya.

Kembali kepada Kang Jalil. Waktu itu aku belum memberikan banyak nasihat kepada Kang Jalil. Aku baru menceritakan kronologi tentang temanku yang sakit usus tadi. Bahkan sekarang ia masih terbaring di Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.

Aku punya rencana, jika Kang Jalil masih sulit untuk mengambil hikmahnya, sebelum aku menasehati apapun, aku ingin mengajaknya menjenguk temanku yang di RSD Sidoarjo itu. Belum sampai Kang Jalil aku ajak ke sana, sudah ada perubahan pada diri Kang Jalil.

Hari ini Kang Jalil cerita tentang pengalamannya ketika kemarin mendapat tugas kerja ke luar kota. Ia akan bekerja selama 4 hari dan selama itu pula tak bertemu keluarganya.

Waktu di perjalanan berangkat ke luar kota, ia ngobrol dengan rekan kerjanya di dalam mobil. Ketika ditanya, apakah ia nanti akan meluangkan waktu untuk pulang, dengan mantap Kang Jalil jawab iya. Rekan kerja itu bertanya, apakah ia pulang karena ada tugas kantor yang harus dikerjakan. Kang Jalil menjawab, "Aku pulang spesial untuk menemui keluargaku, pergi jalan-jalan bersama anak-anakku".

Ternyata jawaban Kang Jalil ini memang sama sekali tidak bonafit di mata rekan-rekan kerjanya. Senyum cibir dan tawa mengejek dilontarkan teman-temannya. Seorang teman bilang, "Kamu pulang itu bukan untuk menampakkan diri di depan keluarga, tapi menampakkan ketakutanmu pada istri". Dengan tenang Kang Jalil menjawab, "Pekerjaan utamaku adalah untuk keluarga. Pekerjaan yang paling muliaku adalah yang langsung bermanfaat buat keluarga. Aku bekerja untuk menghidupi keluarga. Kalau aku bekerja di rumah, di kehidupan sehari-hari, itulah manfaat yang langsung berkaitan dengan kehidupan keluargaku, kehidupan kami".

Jawaban Kang Jalil ini membuatku turut senang. Apalagi cara mengatkan yang mantap dan senyumnya yang merekah membuat aku yakin bahwa Kang Jalil sudah menata hatinya sehubungan dengan pekerjaan sehari-hari dan pekerjaan formal yang singkatnya disebut pekerjaan.

Demikian cerita tentang sesi obrolan konsultasi bersama Kang Jalil. Mudah-mudahan ada manfaat yang bisa diambil dari cerita ini. Apa manfaat yang bisa Kamu ambil?


Tulisan Terkait

2 komentar :

  1. jangan2 ini bukan bang Jalil, tapi bang Rudi, xixixixixi..

    hikmahnya, jangan terlalu dekat dengan teman kantor, bergaul secukupnya saja..tak perlu tll banyak berbagi cerita pribadi.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang jelas bukan Bang Rhoma

      Wow, hikmahnya nggigit bangeeeet

      Hapus