Selasa, 24 April 2012

Ngobrol tentang Teori dan Aplikasi dengan Seorang Fans

Banyak orang pitar yang tidak bijaksana. Banyak juga orang yang bijaksana, tetapi tidak dianggap pintar.

Sumber Gambar: moodyalphabet.wordpress.com
Baru datang di kampus, langsung diajak ngopi sama seorang mahasiswa. Katanya sih dia salah satu fans-ku cieee. Dia mulai akrab denganku karena ia sering melihatku di Deteksi Jawa Pos. Lucunya, meski sering sekali kami ngobrol, ternyata baru ketahuan kalau dia tidak tahu namaku. duerrrrr.... Aku sih tenang saja, karena ssssstt aku juga tidak pernah tahu namanya hahaha.

Di kantin, setelah mengambil dua botol minuman ringan (minuman berat sama ringan yang membedakan apa ya? :D), kami langsung cari posisi wuenak. Ia memberondongku dengan pertanyaan yang berintikan tentang penggunaan teori untuk kehidupan.

Jika dipilah-pilah, pertanyaan dari mahasiswa tersebut adalah:

1. Apa teori yang jadi pegangan Anda untuk kehidupan Anda? Apakah Psikologi, Filsafat atau apa?

Dengan ragu aku jawab, kalau aku ya menggunakan Teori Psikologi. Kenapa ragu? Karena aku butuh diyakinkan dulu dengan pertanyaan ini. Tapi aku coba membuat perkiraan, apa maunya pertanyaan ini. Aku menerka, ia bertanya tentang teori yang ku pegang untuk menjalani hidup. Setelah menghitung-hitung, memang kebanyakan psikologi yang menjadi bagian kehidupanku. Meskipun sebenarnya yang menjadi akar ya filsafat, mengingat ia memasukkan filsafat dalam pertanyaannya.

Karena aku ragu soal kata 'pegangan' dalam pertanyaan itu, maka aku bertanya balik, apakah yang dimaksud dengan 'pegangan' itu artinya menjadi bagian dari diri atau diperlakukan seperti alat? Ternyata dia bertanya balik, maksudku apa hehehe.

Aku jelaskan bahwa teori itu bisa diposisikan seperti alat atau menjadi bagian dari diri, menyatu seperti pandangan hidup. Jika teori hanya sebagai alat, teori tidak ubahnya seperti pisau atau gunting yang baru menjalankan fungsinya ketika dibutuhkan untuk memotong. Jika tidak ada yang perlu dipotong, maka gunting disimpan atau diabaikan saja.

Jika teori sudah menjadi bagian dari diri, maka teori itu sendiri bukan sedang digunakan, tetapi sedang hidup, yang efeknya berguna bagi orang dimana ia hidup. Teori sudah mendarah daging dan lebih bersifat otomatis. Teori ada pada diri kita sebagai cara pandang, metode maupun teknik.

2. Kalau begitu, ada orang yang pinter dan menguasai banyak teori ya, tapi tidak selalu teori tersebut yang digunakan?

Tepat sekali. Ada orang yang menguasai banyak teori, dan pandai menggunakannya. Artinya, teori tersebut tetap pada posisi sebagai alat, tetapi bisa digunakan atau tidak, juga bisa saling menggantikan. Orang yang seperti ini lumayan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada orang yang menjadikan teori yang ia kuasai sebagai bagian dari hidupnya. Maksudnya, dengan otomatis teori tersebut akan digunakan atau berfungsi ketika menghadapi realita.

Orang yang paling rugi adalah mereka yang memahami teori dengan sangat keren, tetapi tidak tahu untuk apa teori tersebut. Mungkin sebagian ahli yang dimintai komentar di media juga menunjukkan gejalan ini. Mereka bingung ketika dimintai mengomentari realita, ketika disuguhkan persoalan nyata. Itulah yang akhirnya bisa jadi pembeda akademisi dan praktisi. Bukan berarti akademisi tidak bisa praktek lho ya. Begitu juga sebaliknya, bukan berarti praktisi tidak paham teori. Namun ada juga orang yang benar-benar steril berada di salah satunya.

Ada ahli yang betul-betul akademisi murni, tapi ada juga ahli yang praktisi. Di kehidupan nyata, persoalan membutuhkan penanganan real, potensi membutuhkan pemberdayaan secara nyata. Karena itu, seorang akademisi sekalipun tetap dituntut memahami dan bisa mengaplikasikan ilmunya untuk realita.

Kalau aku sih malah bilangnya harus memahami aplikasi di realita. Jika memang tidak mampu mengaplikasikannya sendiri, minimal memahami aplikasinya. Apalagi akademisi yang berstatus sebagai pendidik.

Pendidik seharusnya menciptakan generasi life-ready, siap menjalani kehidupan. Jika pendidik tidak paham bagaimana menerapkan ilmu yang diajarkan, maka akan sangat membuang waktu berlama-lama di bangku sekolah dan kuliah. Apalagi biayanya sudah semakin mahal.

Pendidik ditantang untuk memulihkan sekolah dan atau kampus, agar bisa menjadi lembaga yang mengajak untuk hidup dan membuat siswa/mahasiswanya siap menggeluti realita. Sekolah atau kampus seharusnya tidak hanya jadi tembok-tembok atau ruang-ruang kelas yang justru malah memisahkan siswa/mahasiswa dari kenyataan yang di luar tembok.

Model mendidik yang seperti ini bisa berdampak pada lulusan yang dihasilkan. Karena itulah, banyak orang pinter teori, jagoan kalau diminta ngomong, tetapi bingung ketika dihadapkan dengan realita, baik ketika dimintai pendapat, solusi maupun mencari cara menanganinya.

Sumber Gambar: moodyalphabet.wordpress.com

Kira-kira demikian obolanku dengan mahasiswa yang ngefans, tetapi tidak tahu namaku tersebut. Apakah Kamu punya pendapat atau jawaban yang berbeda?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar