Rabu, 16 November 2011

Ingin Menjadi Pencerita yang Memikat? Jadilah Diri Sendiri!


Bercerita itu butuh penjiwaan. Apa modal utamanya? Iya, antusiasme. Alih-alih pusing memikirkan bagaimana teknik bercerita, antusiasme punya kekuatan berjuta kali untuk melahirkan efek bercerita yang ok punya. Caranya bagaimana? Jadilah diri sendiri! Just feel free!


Hari ini sebenarnya adalah hari yang setengah hati. Mendadak rock jadi hari yang menyenangkan setelah mengadakan pertunjukan di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Hah?! Pertunjukan apa di kampus para calon dokter?

Ehm, ku sebut pertunjukan, karena aku ambil saja dari pernyataan beberapa mahasiswa. Apa kata mereka? "@rudicahyo itu tidak pernah ngasih kuliah kok, dia sedang show". Pernyataan yang lucu dan buatku sangat menyenangkan. Versi lainnya, ada yang bilang "Kuliah dengan @rudicahyo berasa bukan kuliah". Karena pernyataan beberapa mahasiswa inilah maka aku lebih sering menyebut atraksi di kelas sebagai show daripada kuliah, apalagi ceramah.

Ini adalah kali kedua aku show di FKG. Maksudnya, sudah dua semester melakukan pertunjukan di kampus A Unair itu. Satu semester bagi dua sama temanku, dia di awal semester sampai ujian pertengahan, aku melanjutkannya sampai tutup semester.

Kali ini isi belajar yang harus aku pandu adalah tentang empati dan altruisme. Tapi bukan bagian ini yang terpenting dari tulisan yang sedang kamu baca ini. Tapi soal penggunaan cerita ketika bersua dengan para mahasiswa.

Karena sudah menjadi kebiasaan, bercerita seperti tak bisa dihindari. Meski sudah menjadi bagian dari hidup, tetap ku akui bahwa aku bukan pencerita handal. Namun demikian, kehandalan itu bisa aku rasakan ketika bercerita. Bagaimana kehandalan itu bisa kita rasakan, bisa kita dapatkan ketika kita berceloteh di depan orang-orang?

Ketika bercerita, di benakku membuat beberapa catatan reflektif yang bisa menjadi formulasi yang keren dalam bercerita. Catatan itu adalah:


1. Dalam bercerita, antusiasme jauh lebih penting daripada teknik


Masuk ke dalam cerita adalah langkah awal yang penting dalam bercerita. Antusiasme itu totalitas ketika bercerita. Bagaiman bisa menjadi total? Tentu saja dengan masuk ke dalam cerita. Ada tiga modal utama untuk bisa masuk ke dalam cerita, yaitu mata, telinga dan hati. Mata mewakili apa yang kita lihat dalam cerita, telinga merekam setiap suara yang kita dengarkan, dan hati merasakan emosi yang hadir dalam cerita. Boleh juga sih ditambah dengan indera yang lain, seperti lidah untuk mencecap rasa dan kulit merasakan sentuhan dan suhu udara. Tapi modal utama tetap di tiga bagian itu. 

Ketika bercerita, kita bayangkan berada di dalam sebuah tempat dan waktu yang diceritakan. Jika kita bilang sebuah desa di pinggiran hutan, maka kita sedang berada di sana memandang sebuah gubuk kecil di sebelah rerimbunan pohon yang nyaris gelap. Kita juga mendengar jengkerik, suara burung, desiran angin dan gemericik air. Emosi cerita juga bisa kita rasakan dalam atmosfir itu, misalnya merinding, bergidik, menggigil karena suhu yang dingin dan gelap yang menyeramkan.


2. Merasakan atmosfir cerita lebih hidup daripada menyita energi untuk memperhatikan pendengar

Memperhatikan pendengar atau audience itu penting, tapi lebih penting lagi adalah merasakan atmosfir cerita. Jika kita terlalu memperhatikan pendengar, maka penjiwaan kita terhadap cerita bisa jadi lepas. Apalagi jika para pendengar punya respon-respon tertentu atau terjadi sesuatu pada mereka atau antar mereka, maka mungkin akan mengganggu penyatuan kita dengan cerita. 

Percayalah, memperhatikan pendengar itu hanya butuh sebagian kecil energi sisa dari penjiwaan kita terhadap cerita. Tidak perlu khawatir kita tidak peka terhadap pendengar, karena apapun reaksi pendengar, mereka tetap di depan kita, tetap dalam jangkauan radar perhatian kita. Tetap fokuslah pada penyatuan diri dengan cerita. Jika dalam cerita ada konflik atau peperangan, rasakan apa yang terjadi, ikutlah bergabung dengan mereka yang sedang berperang.


3. Menyuarakan karakter lebih menghipnotis daripada sibuk mengubah suara tokoh

Temanku pernah bercerita kepada anak-anak korban bencana gempa di Yogyakarta. Karena program dadagan, maka ia langsung menciptakan cerita spontan bermodalkan tiga boneka tangan. Karena tokohnya berbeda, maka ia ciptakan suaranya, termasuk juga tokoh perempuan. Karena memperhatikan suara tokoh secara teknis, dia sering salah, sauara tokohnya tertukar-tukar.

Kadang kita ribet dengan mengatur suara tokoh, sehingga itu tidak lebih daripada variasi suara. Pendengar hanya tahu bahwa tokoh punya suara yang berbeda, tapi mereka tidak tahu bahwa tokoh punya karakter yang berbeda.

Karakter tokoh bisa keluar lewat suara dan gaya bicara. Misalnya tokoh yang peragu atau penakut, maka suaranya bisa terbata-bata atau gagap. Ini menunjukkan ketidakpercayaandirinya (atau beberapa karakter yang berhubungan dengan itu). Tokoh yang sok tahu pasti berbeda dengan tokoh yang benar-benar tahu. Kita bisa memunculkan suara yang agak sombong atau menggurui untuk yang sok tahu, dan suara yang lembut rendah hati untuk tokoh yang benar-benar tahu atau pintar.

Dengan suara kita yang aslipun, kita bisa membuat gaya bicara yang berbeda-beda. Dengan demikian, kita tidak perlu kesulitan lagi jika kita memang tidak punya variasi suara yang bermacam-macam. 

Namun demikian, bukan berarti variasi suara tidak ada gunanya. Variasi suara yang baik dengan gaya bicara yang sesuai karakter pasti membuat cerita semakin ciamik.


Begitu pengalamanku ketika bercerita di pertunjukan sebuah perkuliahan. Nah, bagaimana dengan strategi berceritamu?

5 komentar :