Keterlibatan itu penting dalam proses belajar bersama. Tugas, misi, atau kompetisi adalah pemicu keterlibatan yang baik dalam proses belajar. Tapi ada lagi cara yang langsung menggerakkan dorongan dari dalam diri peserta ajar, yaitu dengan membuka kanal pembebasan rasa ingin tahu. Bebaskan anak didik, maka keaslian mereka adalah sumber energi yang besar untuk terlibat dalma proses belajar.
Hari ini tersaji lagi kesempatan untuk memfasilitas belajar mahasiswa. Kisahnya berada pada mata kuliah Sejarah Aliran Psikologi atau yang biasa disingkat SAPsi. Cara belajar di kelas ini adalah dengan presentasi. Mahasiswa tampil tidak berbekalkan PowerPoint, tetapi poster-poster. Mereka membuat poster dengan panduan pertanyaan. Jadi setiap satu pertanyaan harus dijawab dengan satu poster. Terdapat sekitar 7-8 pertanyaan. Pekerjaan ini dipikul secara berkelompok dengan anggota 5-7 orang.
Bukan soal poster atau presentasinya. Karena di minggu-minggu sebelumnya, poster dan presentasi ini masih kurang mampu menggebrak peserta mata kuliah untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Presentasi masih garing kaya kerupuk udang. Dan yang bertanyapun juga enggan seperti perawan yang ditawari nikah.
Bimsalabim Abrakadabra
Hari ini akan aku sulap jadi berbeda. Di awal pertemuan, tak bisa dihindari pasti ada cerita. Habis sudah jadi kebiasaan sih. Aku cerita tentang pengalaman di kelas yang berbeda. Kelas SAPsi sebenarnya terdiri dari empat kelas paralel. Biasanya aku memfasilitasi kelas D, kelas terakhir dengan jumlah mahasiswa paling kecil. Nah, kali ini aku mengemban misi pertunjukan di kelas B.
Aku cerita tentang perbedaan waktu belajar di kelas D dan kelas B. Kelas D diadakan Hari Senin pagi, 07.30, sedangkan kelas B yang sekarang sedang aku pandu belajar di Hari Kamis, 12.30. Tepat tadi siang. Apa perbedaannya? Iya, selain berbeda soal jumlah peserta, waktu kuliah juga berbeda, yaitu beda hari dan beda jam. Yang satu pagi hari, saat orang biasanya merasa lebih segar, sedangkan satunya, kelas B, berlangsung di siang hari pasca jam makan siang. Aku tanya kepada para mahasiswa, apa bedanya.
Membandingkan kedua waktu belajar pagi dan siang, mahasiswa cenderung menyoroti bahwa waktu belajar mereka di panas yang menyengat, ketika perut habis diisi dan menggeliat, serta mulai menurunnya semangat. Kalau pagi, menurut mereka, adalah waktu yang fresh, segar. Tapi mereka melupakan sesuatu hal yang lain. Aku tanya, Siapa yang bergairah mengikuti kuliah di Hari Senin, hari awal masuk kuliah, pagi hari lagi. Ternyata tidak ada yg mengangkat tangannya. Kesadaran baru buat mereka yang mengeluhkan siang hari, mereka belajar lebih enjoy bukan di hari awal kuliah.
Bercerita secara interaktif dengan mengajak mahasiswa terlibat di dalamnya, ini jadi langkah awal yang baik untuk melanjutkan menggaet hatinya. Sebentar lagi mereka akan jatuh cinta, terlibat dengan segenap hati dengan proses kuliah.
Atraksi Dimulai
Aku meminta mahasiswa mengeluarkan secarik kertas. Karena sebagian dari mereka mengartikan akan ada tes atau sejenisnya, segeralah membuka buku dan membaca-baca bahan kuliah hari itu, Sejarah Psikologi Gestalt. Aku bilang ke mereka, ini bukan tes. Aku hanya ingin tahu apa yang mereka tehu secara alamiah, karena itu adalah pengetahuan yang sesungguhnya. Itu adalah pengetahuan yang sudah mereka bawa dari rumah, asli dari yang mereka alami. Pernyataan ini membuat mereka lebih percaya diri untuk menutup bukunya.
Apa yang harus mahasiswa lakukan dengan kertas dan alat tulisnya? Mereka hanya mendaftar kata kunci yang menurut mereka ada kaitannya dengan Psikologi Gestalt. Mereka menulis sesuai aba-aba, diawali bersama dan diakhiri bersama-sama pula.
Aku ajak mahasiswa untuk mengapresiasi mereka yang telah mendaftar kata kunci dengan jumlah banyak, sepuluh lebih. Lalu? Kata kunci tersebut dikelompokkan kedalam kategori: zeit geist (semangat jaman), anteseden (penyebab atau latar belakang), tujuan, pokok bahasan, tokoh, kontribusi dan kritik, sehubungan dengan Psikolgi Gestalt. Satu kata kunci boleh masuk tidak hanya di satu kategori.
Setelah mengelompokkan, tiap orang membuat pertanyaan dengan berbekalkan kata kunci yang sudah dia punya. Mereka boleh meramu kata kunci-kata kunci itu menjadi satu pertanyaan. Mereka boleh bertanya tentang kategori apapun.
Dengan berbekal pertanyaan masing-masing, mereka kembali ke kelompok. Oh iya, dalam kelas sudah dibagi kelompok-kelompok sejak awal perkuliahan berdasarkan pokok bahasan yang akan dipelajari dalam satu semester. Pertanyaan tiap orang, diramu dalam kelompok hingga dihasilkan tiga pertanyaan milik kelompok.
Selanjutnya presentasi akan dimulai. Kelompok yang sudah bertugas presentasi hari ini sudah siap-siap. Tugas kelompok yang lain adalah menyimak dengan menjaga komposisi pertanyaan yang mereka punya. Jumlah pertanyaan tiap kelompok harus tetap tiga. Artinya, selama presentasi, mereka mengecek, jika pertanyaannya sudah terjawab, kelompok harus segarea merevisi atau menggantinya. Begitu juga ketika sesi tanya jawab, jika pertanyaan kelompok sudah ditanyakan atau sudah mendapatkan jawaban, kelompok harus menjaga jumlahnya tetap tiga.
Presentasi dimulai. Hem, bagian ini sepertinya harus belajar terus. Presentasi masih kurang memikat. Tapi ini bukan bagian inti dari tulisan ini. Ayo kita lanjutkan!
Pasca presentasi, pertanyaan membanjir. kelas menjadi ramai. Perdebatan terjadi, sampai satu pertanyaan tuntas, baru melangkah ke pertanyaan berikutnya. Semakin lama, pertanyaannya juga semakin berbobot. Loh kok bisa? Karena setiap kelompok selalu merevisi pertanyaannya. Jika sudah dijelaskan pada waktu presentasi atau tanya jawab, pasti akan selalu diperbaharui. Akibatnya pertanyaannya juga semakin berisi.
Stand Up Sebagai Perbandingan Metode
Aku belum pernah memandu kelas B, jadi tidak tahu bagaimana kebiasaannya. Kata seorang mahasiswa, pasca presentasi mereka diminta berdiri. Mereka hanya boleh duduk kembali kalau salah seoarang anggota kelompok sudah bertanya.
Cara ini sebenarnya mengadaptasi dari konsep Stand Up yang pernah aku terapkan. Para teman pengajar yang lain sudah tahu konsep ini, karena aku pernah cerita kepada mereka di sebuah kelas Active Learning.
Konsep Stand Up Please lebih cocok untuk hal yang sifatnya emosional. Biasanya aku menggunakan untuk bersenang-senang atau mengungkapkan kesan peserta (dalam training atau workshop), baik terhadap isi pembelajaran, proses atau tentang teman sesama peserta. Jika digunakan untuk hal lain yang lebih menggunakan pikiran, maka proses yang singkat dan paksaan untuk tetap berdiri hanya akan membuahkan ketertekanan. Pertanyaan yang mungkin muncul pasti lebih banyak hanya sebagai formalitas untuk menggugurkan kewajiban. Selain itu, hanya akan ada kualitas pertanyaan yang standar.
Berbeda dengan model yang aku terapkan. Peserta bertanya dari apa yang ingin mereka ketahui. Berawal dari rasa ingin tahu, maka mereka terlibat. Kesempatan bertanya adalah saat-saat yang pasti ditunggu-tunggu. Selain itu, ketika proses tanya jawab, tiap orang dalam kelompok mengecek pertanyaan miliknya, memperhatikan yang presentasi atau yang menjawab pertanyaan. Mereka menunggu jawaban dari pertanyaan yang telah dibuat.
Perhatian juga bisa lebih fokus, karena tiap orang mendengarkan dengan pedoman pertanyaan yang mencerminkan apa yang ingin mereka ketahui. Bukan hanya presentasi, ketika tanya jawab, tiap kelompok pasti terus memperhatikan, karena mereka tidak akan pernah kehabisan pertanyaan untuk dicek. Lho kok bisa? Ya karena mereka bertugas menjaga pertanyaan mereka selalu tetap berjumlah tiga. Cerdik kan?
Begitulah cerita dengan semangat berbagi pengalaman mengaktifkan forum ini. Kalau Kamu, bagaimana caramu mengaktifkan peserta dalam proses belajar?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar