Jumat, 25 November 2011

5 Keyakinan Pembunuh Gairah Belajar

Sumber Gambar: http://www.vatanappally.com/
Belajar merupakan aktivitas unik bagi masing-masing orang. Kita punya cara, kita menggunakan berbagai media yang tiap orang berbeda-beda. Namun demikian, keunikan tersebut jadi hilang karena keyakinan yang salah pada belajar kita.







Berikut ini adalah 5 keyakinan kita terhadap belajar yang akhirnya mempengaruhi sikap kita terhadap belajar itu sendiri.

1. Belajar hanya untuk mengatasi persoalan

Selama ini kita berpandangan bahwa belajar itu adalah cara menyikapi kehidupan yang penuh dengan persoalan dan tantangan. Kenapa orang harus belajar? Karena ingin survive, mengatasi persoalan, lolos dari ujian kehidupan.

Padahal belajar itu juga mengembangkan imajinasi. Banyak karya besar para ilmuwan justru karena ia membayangkan sesuatu yang belum pernah ditemui, belum pernah terjadi. Apakah mereka yang menemukan hukum pemenuahan kebutuhan (Gossen), teori pitagoras (phytagoras), hukum kelembaman (Newton) melulu berangkat dari persoalan? Tidak, mereka mengembangkan imajinasi.


2. Belajar dari kesalahan masa lalu

Masih sering mendengar “Belajarlah dari kesalahan!” atau “Belajarlah dari pengalaman!”? Itu adalah paradigma belajar dari masa lalu. Apakah tidak boleh? Tentu saja sangat dianjurkan. Hanya saja, hendaknya kita tidak berpikir sempit, karena masa lalu adalah sejarah kehidupan, masa depan adalah imajinasi dan masa kini adalah tempat belajar. Artinya, semuanya adalah waktu tempat kita menempa diri untuk belajar.

The past is a history, the future is a mystery, but today is a gift (Master Oogway).


3. Belajar dengan hukum sebab-akibat

Kita juga terbiasa berpikir linear dan korespondensi satu lawan satu. Kita punya asumsi bahwa tidak ada sebuah kejadianpun di dunia ini yang hadir tanpa sebab, dan hanya ada satu penyebabnya. Akibatnya, satu hal tertentu menyebabkan hal lain yang tertentu pula. Satu lawan satu. Model berpikir sebab-akibat dengan satu lawan satu ini menutup berbagai kemungkinan. Akibatnya, siswa semakin sempit cara pandangnya.

Seharusnya, siswa bisa belajar dari berbagai aspek secara menyeluruh, melihat realitas dengan lebih luas.  Menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini juga berdampak positif terhadap keterbukaan pandangan kita terhadap pemikiran beru.


4. Hubungan atas-bawah guru dan murid

Ketika kita datang ke sekolah, kita dihadapkan dengan ruang kelas dengan tempat duduk yang berhadapan antara guru dan siswa. Siswa duduk dengan kursi yang sama, menghadap guru yang berdiri di depan mereka. Ini adalah struktur politis, menempatkan dua posisi yang berbeda, membedakan antara yang tahu dan yang memberi tahu, sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan.

Padahal siswa berangkat dari rumah membawa berjuta pengetahuan, tetapi di kelas dihilangkan dengan penyeragaman. Akibatnya, siswa hanya belajar atau bertanya dari guru sebagai sumber, karena harus seragam pengetahuannya. Siswa juga tidak bertanya kepada teman, karena temannya banyak dan ini membuat pengetahuan tidak seragam.

Di sisi lain, guru jadi yang maha tahu. Hanya kepada guru siswa bertanya. Akibatnya, guru menjadi satu-satunya orang yang dipercaya. Siswa tidak percaya pengetahuan yang didapat dari teman-temannya. Ada hubungan atas bawah, depan belakan, bukan hubungan antar manusia yang setara. 


5. Belajar untuk selalu benar

Tuntutan untuk selalu menjadi benar juga menjadi pembunuh yang kejam. Tuntutan ini menjadi keyakinan di benak para siswa. Akibatnya, siswa tidak mau mengemukakan pendapatnya. Bahkan untuk bertanya saja takut salah. Siswa merasa harus menata pertanyaannya dulu, bukan hanya agar pertanyaannya benar, tapi juga biar terlihat pintar. Dampaknya, budaya bertanya digantikan dengan mempertanyakan alias ngetes.

Takut salah membuat penciptaan menjadi mandeg. Bukankah kita mencipta berawal dari salah. Kalau kita dihantui standar kebenaran, maka yang ada hanya replikasi, menciptakan sesuatu yang sama dengan tolok ukurnya. Justru dari kesalahan kita membuat sesuatu yang berbeda.


Hati-hatilah dengan 5 keyakinan yang membunuh kreativitas kita dalam belajar. Bagaimana pendapatmu?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar