Senin, 04 Juni 2012

Kebahagiaan Terakhir Mirui

Ini adalah sebuah cerita dengan tokoh Mirui, seekor burung yang tak dikethui spesiesnya. Sebenarnya ia sudah pernah dikenali. Tapi karena ia berbeda dengan yang lain dalam banyak hal, hampir semua hal, keberadaannya dilupakan, sampai akhirnya tak dikenali. Bagaimana ceritanya?





Mirui adalah seekor burung. Ehm... sejenis parkit, tapi tubuhnya lebih besar. Bulunya cukup indah, meski tidak begitu mewah. Jenis burung ini ada dua, ada yang kebiruan dan ada yang hitam. Mirui adalah yang berwarna biru.

Sebelumnya, tidak pernah ada yang memelihara Mirui dan burung sejenisnya. Mirui bisa terbang bebas kemanapun. Biasanya ia beterbangan di pohon sengon dan berada diantara aktivitas para petani. Sesekali ia tampak asik mematuki sesuatu di punggung kerbau dan sapi. Pada kesempatan yang lain, ia beterbangan kencang bersama gerombolannya, seperti sedang balapan di sirkuit saja.

Karena burung-burung sudah mulai langka. Bahkan binatang-binatang lain pun mengalami nasib yang sama, para pengais rejeki yang mempertaruhkan nyawa mereka juga tidak mau menyerah. Manusia menangkapnya menggunakan jaring di padi yang menguning. Mereka juga menggunakan jaring bertangkai panjang untuk menyergap Mirui dan teman-temannya.

Namun demikian, yang lebih sering tertangkap adalah jenis burung pendet atau emprit kaji. Mereka tergolong burung kecil yang rupanya sama sekali tidak indah. Ketangkasan Mirui membuat ia sulit sekali dijaring maupun ditembak.

Suatu ketika manusia memutar otak untuk mendapatkan Mirui. Mereka memberikan makanan yang lezat di sebuah jaring yang lebih menyerupai sangkar. Tidak hanya mendapatkan makanan ketika itu, Mirui ditawari makanan seumur hidup. Ia tidak hanya mendapatkan makanan buat diri sendiri, tetapi juga buat anak-anaknya. Sangkar yang ditampakkan di depannya juga bukan seperti sangkar pada umumnya. Ia lebih menyerupai emas bertahtakan berlian.

Rupanya cara ini berkhasiat ampuh. Mirui tergoda untuk mencoba-coba. Awal langkah mencoba ini berbuah manis, tapi sekaligus petaka yang tak pernah dirasakan oleh Mirui.

Mirui hidup berkecukupan. Apakah ini berarti Mirui jadi lebih kaya daripada yang lain? Tidak. Mirui malah lebih miskin dari teman-temannya di luar. Mirui memang mendapatkan makanan yang cukup, dengan jumlah yang tetap. Satu sisi ini memang aman buat keamanan persediaan makanannya. Namun jumlah makanan ini seperti candu buat Mirui.

Mirui semakin nyaman dengan makanan yang tersedia. Ketika di luar sedang paceklik, Mirui tidak pernah kekurangan makanan. Sebaliknya, ketika di luar sangkarnya serba berlebihan, ia pun tidak tertarik. Mirui lebih memilih menikmati makanan yang disediakan buat dia. Ia lebih suka makanan dalam jumlah kecil daripada makanan mewah, tetapi harus mencarinya.

Sampai 3 bulan berlalu, Mirui punya kesempatan ngobrol dengan Kino, seekor jalak yang berada di dekat sangkarnya.

"Kamu kelihatan senang, Kino?", tanya Mirui.
"Tidak. Aku sedang belajar bahagia", jawab Kino sambil melemparkan senyum termanisnya
"Apakah Kamu suka di sini?"
"Dulu"
"Maksudnya?"
"Setelah satu tahun ku habiskan hidupku di dalam sangkar ini, aku sudah merindukan kehidupanku di luar sana. Entahlah, apakah Kamu nanti akan kangen atau malah sudah melupakannya.
"Bukannya di sini enak?", tanya Mirui penasaran
"Tentu saja di sini enak. Tapi aku merasa telah menyianyiakan sebagian dari hidupku. Ada dua hal yang menghalangiku keluar dari sangkar ini. Pertama, sangkar ini tentu saja menghalangiku. Pasti yang punya tidak ingin aku lepas dari sini. Aku lepas, dia mengalami kerugian. Ia kehilangan hiburan tatkala ia pulang dalam kondisi capek dari tempat kerja. Ia juga kehilangan nyanyian-nyanyianku di rumah ini. Jika dibandingkan dengan pengorbanan yang ia berikan, kita memberikan jauh berlipat-lipat manfaat buat dia", Demikian penjelasan Kino.


"Kedua, aku dihalangi oleh rasa aman yang aku ciptakan sendiri. Di luar tampak begitu ganas, ada perasaan takut yang sebenarnya lebih tepat disebut ragu. Seberapapun makanan yang tersedia, itu lebih aman. Hal itulah yang membuatku enggan, gairah untuk berjuang sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku tidak menjadi apapun kecuali makanan yang aku makan, minuman dan sangkar yang tampak indah ini".

Mirui menunduk lesu. Ia tak bergairah sampai berjalan berbulan-bulan. Kino baru setelah setahun mengalami hidup seperti Mirui kini. Sebaliknya Mirui sudah merasakan sekarang apa yang Kino alami setelah satu tahun dikurung.

Mirui memutar otak, sampai ada ide yang tak pernah dipikirkan oleh siapapun. Ide ini muncul karena Mirui juga sudah mulai terbiasa dengan kenikmatan yang ia peroleh beberapa bulan ini. Apa idenya Mirui? Ia ingin membawa serta sangkarnya untuk bebas di dunia luar.

Niat ini diketahui oleh pemiliknya. Karena itulah si pemilik menambah sangkar lagi di luarnya sangkar yang sekarang ditempati Mirui. Hal ini dimaksudkan agar ketika mirui sudah memutuskan untuk keluar, maka ia sebenarnya masih di dalam.

Setelah berada di luar sangkarnya yang dalam, Mirui berpikir lagi. Ia berniat membawa sangkar luarnya untuk keluar. Seperti ada perekam suara, seolah terdapat CCTV, si pemiliknya kembali tahu. Ia menambahkan lagi sangkar di luarnya sangkar yang kedua.



Terjadi lagi. Setelah Mirui keluar dari sangkar kedua, ia terpikir untuk membawa sangkarnya yang ketiga keluar. Si pemiliknya tahu lagi dan melakukan hal yang sama. Demikian terjadi terus menerus.

Kini sudah 60 tahun Mirui berada di dalam sangkar. Mirui sudah tampak renta. Tenaganya sudah mulai habis dimakan kesibukannya untuk menikmati sangkar dan berpikir keluar sangkar.

Karena sudah tampak tua, pemiliknya sudah memiliki Mirui baru yang tentu saja masih muda. Karena sudah ada yang muda, maka Mirui tua sudah siap dilepaskan.

Sang majikan melepas Mirui dengan khidmat tepat di saat matahari hampir terbenam. Entah sebuah kebetulan atau direncanakan, hobi Mirui sebelum berada di dalam sangkar yang tampak mewah itu adalah menikmati senja.

Dengan batuknya yang semakin kerap serta kaki dan tangannya yang selalu bergetar, mirui merasakan hangatnya mentari sore. Senja adalah saat sebagian besar mahluk melepas lelah, termasuk Mirui. Saat senja juga merupakan waktu Miru lepas dari panasnya siang yang menjemukan. Senja juga saat imajinasi Mirui terbebaskan untuk bersorak sorai.

Matahari tenggelam tak bisa dicegah, tak mau ditahan. Seiring malam mulai merangkak menampakkan gelap, mata Mirui semakin sayu. Perlahan mata itu tertutup. Sepertinya itu adalah senja terakhir buat Mirui. Ia bersyukur untuk dua hal. Mirui bersyukur karena diberi kesempatan menikmati senja. Mirui juga bersyukur karena tak perlu melihat lagi pagi hari.

Mirui sepertinya hidup berkebalikan dari orang kebanyakan. Setidaknya, ia punya keinginan untuk hidup berkebalikan. Kebanyakan orang berterimakasih karena melihat pagi, Mirui bersyukur karena menatap senja. Bukan kehidupan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah keinginan alamiahnya sebagai Mirui.

Dari cerita ini, apa makna yang Kamu peroleh?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar