Minggu, 20 Mei 2012

Dunia Tanpa Hari Senin

Coba bayangkan jika dunia tanpa Senin, apa yang akan terjadi? Sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa karena kita masih punya 6 hari sisanya. Nah, yang dimaksud di sini apakah Senin sebagai konsep hari pertama setelah liburan atau Senin sebagai bagian dari 7 hari lainnya?
Sumber Gambar: 4virtu.com


Usai sudah akhir minggu yang sangat panjang. Gimana tidak, sepanjang-pajangnya akhir minggu, paling sering kita mengalami libur mulai hari Jumat sampai dengan Minggu. Kali ini kita distok dengan libur mulai dari hari Kamis. Sebuah hari libur yang kelewat banyak bukan. Dan kelewat menyenangkan tentunya hehehe.

Sudah lama tidak menulis (hehe bagiku tiga hari tidak menulis itu sudah terlalu lama), sudah lama tidak posting di blog. Tiba-tiba pagi ini dihadapkan pada fakta bahwa kita semua harus kembali bekerja setelah 4 hari libur yang tak biasa. Aku ngetweet dengan sapaan pagi, "Selamat pagi semuanya buat yang hari ini masuk kerja. Dan selamat pagi semaunya buat yang tidak". Dari tweet dan Senin sebagai hari pertama masuk kerja setelah libur panjang, maka tergeraklah jari untuk menulis.

Yang terpikir dari Senin pagi ini adalah minggu (maksudnya 7 hari) tanpa Senin. Sepertinya, kata-kata 'tanpa Senin' seperti membuat nafas lega. Senin seperti sebuah hari yang mengakhiri liburan kita. Dan tentu saja, membunuh Senin dan melenyapkan dari dunia akan membuat pembunuh liburan kita juga tiada.

Padahal, jika Senin kita hilangkan, dengan konspirasi secanggih apapun, masih ada 4 hari yang lain (Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat) yang siap menjelma menjadi pembunuh berikutnya. Kita malah akan jadi semakin bengis dengan perencanaan pembunuhan berikutnya, yaitu membunuh Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat. Pada akhirnya, Sabtu akan turut membunuh Minggu dan Minggu akan membunuh dirinya sendiri. Akan ada sejarah pertama sebuah hari melakukan suicide.

Andai Minggu tidak bunuh diri, karena memang tinggal satu-satunya hari, maka ia akan hidup sendiri. Mungkin saja ia akan kesepian, stress, depresi, atau schizophrenic. Syukur-syukur kalau Minggu jadi gila dan punya teman imajinatif.

Celakanya, jika ia menciptakan teman imajinatif yang bernama Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat. Celaka bukan? Kecuali kalau ia menciptakan teman imajinatif bernama Sabtu atau Minggu juga. Ini pun juga tidak akan berarti apa-apa buat kita yang berada di dalamnya, karena seberapa banyak apapun Sabtu atau Minggu kembar, tetap saja itu jadi hari yang biasa, seperti hari yang tak bernama.

Itu tadi jika kita berhadapan dengan hari Senin sebagai bagian dari 7 hari lainnya. Nah, sebenarnya Senin itu sendiri lebih daripada sekedar penanda. Senin tidak hanya sekedar sebuah nama yang diberikan kepada salah satu hari. Senin adalah sebuah hari, yang dengan atau tanpa nama, tetap saja kita hidup di dalamnya. Bedanya, kita hidup di sebuah hari dimana itu adalah awal kita masuk kerja.

Sumber Gambar: 123rf.com


Arti Senin jadi berbeda karena kita menjalani hari-hari lainnya dengan cara tertentu. Karena kita libur di hari Sabtu (buat sebagian orang) dan Minggu (buat semua orang), maka jadi ada makna yang terkonstruksi buat hari Senin. Ya itu tadi, Senin seperti jadi pembunuh buat liburan kita. Dan arti ini juga akan berubah jika rentetan libur sebelum Senin semakin panjang, seperti minggu kemarin.

Seperti tweetku yang sepertinya membagi dua golongan, yaitu golongan yang tak terlalu terpengaruh dengan Senin dan golongan yang benar-benar seperti tentara mau berangkat perang di hari Senin. Golongan yang tak terpengaruh ini mungkin adalah mereka yang mengonstruksi sendiri konsep harinya. Sementara golongan yang kedua adalah mereka yang dikonstruksi oleh sebuah aturan waktu kerja.

Sebenarnya golongan yang tak terpengaruh itu juga dikonstruksi oleh kebiasaan yang ia ciptakan sendiri. Para pekerja full freelance atau yang berwirausaha mungkin mereka yang berada di golongan ini. Ada dua pola yang berbeda. Ada yang bekerja sesuai kehendaknya ada juga yang seolah-olah sudah menjadi rutinitas yang ia buat sendiri.

Yang bekerja sesuai kehendaknya sudah jelas, punya fleksibilitas yang tinggi. Yang bekerja karena adanya rutinitas yang dibuat sendiri, itu yang jadinya mriip seperti para pekerja yang menggadaikan waktu Senin sampai Jumat-nya.  Mereka tidak sadar kalau mereka menciptakan rutinitasnya sendiri. Aku punya saudara yang berdagang di pasar. Ia tidak mengenal libur, kecuali hari besar. Lama-lama itu menjadi keharusan, dan ia merasa bolos ketika tidak bekerja.

Beda lagi dengan saudaraku yang memang masih menyadari bahwa pekerjaan yang ia miliki adalah pekerjaannya sendiri. Karena itu ia merasa berhak, kapanpun ia mau bekerja dan kapanpun ia mau libur. Bahkan ketika ditanya hari dan tanggal, ia sering tidak tahu, harus membuka BBnya atau melihat kalender.

Seorang saudara lainnya yang bekerja sebagai pedagang juga demikian. Ia punya toko di pasar. Karena pelanggannya banyak, maka seolah tak ada hari libur. Ia selalu buka tiap hari. Tapi ini bukan keharusan. Ia merasa ini sebagai kesenangan. Dan salah satu yang menyenangkan buat dia, ia juga bisa sewaktu-waktu merancang liburannya (haha sama saja, bebas juga). Buat dia, dengan bisa mengatur waktu semaunya sendiri, ia juga malah jadi rajim bekerja. Dia merasa dirinya bekerja di lab, larut dalam pekerjaan, bergulat dengan inovasi. Dia selalu memperbaharui produk, kemasan dan cara pemasaran. Itu menyenangkan buat dia.

Sebagian besar saudaraku bekerja wiraswasta. Jangan salah, bukan soal idealisme, tapi soal keterbatasan yang membawa berkah. Apa itu? Pendidikan mereka tidak sampai di perguruan tinggi. Itu adalah keterbatasan yang membawa berkah.

Mereka bekerja tidak didominasi konsep dan analisa, tapi mereka bekerja lebih kepada hatinya, bidang keahlian dan kesenangannya. "Coba kalau dulu aku kuliah, pasti aku sibuk mencocok-cocokan antara ijasah dan pekerjaannya", demikian kata salah seorang dari mereka.

Bukan berarti kemudian mereka tidak memandang penting sekolah. Buktinya mereka mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu sampai perguruan tinggi. Buat menyekolahkan ke perguruan tinggi, bukan masalah buat mereka, toh secara finansial mereka bisa melakukannya. Hanya saja, untuk bekerja, mereka tidak menggantungkan pada kuliah. Mereka punya keyakinan bahwa bekerja itu soal hati, soal miant dan keinginan. Sekolah tetap punya arti buat mereka, yaitu biar sama dengan teman-teman lainnya, biar lebih terpandang karena gelarnya, dan mereka percaya bahwa dengan sekolah anak-anak mereka jadi lebih pintar.

Ini kok ngelantur kemana-mana, padahal judul tulisannya tentang Hari Senin. Heheh iya, yang menarik dari dua model pekerjaan yang pada titik ekstremnya sampai membedakan antara yang mengel hari dan yang lupa sama sekali.
Sumber Gambar: zazzle.com
Yang tidak disadari oleh saudara-saudaraku adalah ketika menyekolahkan atau menguliahkan anak-anaknya. Mereka membuat anak-anak mereka melek hari. Ini bisa jadi salah satu kelebihan dari upayanya untuk menyekolahkan anak-anak mereka sampai pendidikan tinggi. Selain itu, mereka juga tidak menyadari bahwa memasukkan anak-anak ke lingkaran hari, akan membuat mereka terkonstruksi untuk hidup di satu minggu yang terdiri dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu.

Efek lanjutannya, jika mereka tidak memgang keyakinan bahwa bekerja itu dimulai dari keinginan, kesenangan dan hati, maka akan membuat anaknya masuk ke lingkaran hari terus menerus. Apa lingkaran hari selanjutnya? Iya, dunia kerja. Anak-anak mereka akan menggunakan ijasahnya untuk melamar kerja yang di dalamnya mengonstruksi perasaan akan hari Senin :).

Bagaimana dengan pola hidupmu sehubungan dengan perasaanmu akan Hari Senin?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar