Selasa, 05 Juni 2012

Tantangan untuk Menjadi Bijaksana

Sesungguhnya dunia ditampilkan dalam keadaan lugu. Dramatisasi yang membuatnya hidup, termasuk juga dramatisasi yang berkebalikan dengan kenyataan.

Sumber Gambar: gambaronline.com



Siang tadi, hari ini (5/6), selepas sholat dhuhur, bertemulah aku dengan seorang rekan yang menjadi dosen dari universitas tetangga. Ia kawan lama yang hampir satu tahun tidak ketemu. Hari ini aku dipertemukan dengannya di kantin, sebuah tempat inkubasi yang tidak hanya mempertemukan orang, tetapi juga ide-idenya.

Temanku ini, sebuh saja Jo, termasuk teman yang cerdas. Setidaknya seperti itulah menurutku. Dia juga seorang dosen yang aktif di pekerjaannya, terutama dalam memandu belajar mahasiswanya. Pembelajaran tidak hanya ia lakukan di kelas, tetapi juga di manapun bertemu mahasiswa, jika sedang memungkinkan. Meski tidak sependapat, ia melahap juga banyak mata kuliah yang ditugaskan kepadanya untuk diajarkan.

Yang membuat aku kagum, Jo ini juga punya pekerjaan di luar kampus. Namun demikian, ia bukan orang yang lengah meninggalkan tanggung jawabnya di kampus, setidaknya tanggung jawab pokoknya. Jo menggunakan waktu kerjanya seefektif mungkin. Jika ada sela waktu, ia gunakan untuk mengerjakan urusannya. Bahkan lebih sering ia mengalah, waktunya yang digunakan untuk tidur ia gunakan untuk bekerja. Begitu juga dengan hari Sabtu dan Minggu yang kadang memanggilnya.

Karena kesibukannya dan juga karena kedekatannya dengan mahasiswa, Jo dijuluki selebritis kampus. Julukan ini tidak hanya diberikan oleh mahasiswa, tetapi juga teman-teman kerjanya. Namun demikian, julukan ini ternyata punya makna berbeda, karena Jo mendengarkan kalimat yang menyertai punya arti yang beda. Mahasiswa menjulukinya selebritis kampus karena Jo selalu berusaha melayani mahasiswa. Bahkan jika perlu, Jo sering nongkrong bareng mahasiswa di warung kopi atau di taman. Beda dengan selebritis yang dimaksudkan oleh sebagian teman kerjanya. Selebritis yang kedua ini dimaksudkan sebagai sindiran bahwa Jo lebih suka sibuk dengan pekerjaannya.

Rekan kerjanya juga sering menganggap dia mata uangan, karena sering berada di luar kampus untuk pekerjaan-pekerjaannya. Namun Jo bilang, yang tidak diketahui oleh teman-teman kerjanya yang berpendapat miring adalah apa saja yang dilakukannya ketika tidak ada.

Jo memang tergolong anak yang tidak suka banyak bicara. Ketika ia tidak menongolkan batang hidungnya, sebenarnya seambreg pekerjaan kantor sedang ia kerjakan. Belom lagi pekerjaannya sendiri yang kadang menyita waktu pribadinya bersama keluarga. Bahkan anggapan teman-temannya yang mengatakan bahwa ia komersil, itu ditepisnya. Lebih dari separoh pekerjaan Jo di luar kampus adalah untuk aktivitas sosial. Pekerjaan itulah yang secara tampak luar dianggap berpenghasilan di mata teman-teman Jo.

Lebih dari itu semua, ada yang menarik tentang alasan Jo punya banyak kesibukan. Alasan pokok yang tidak bisa ia ingkari adalah soal kebutuhan. Jo merasakan, jadi pegawai di dunia pendidikan itu harus cerdik memutar otak untuk mendapatkan penghasilan lebih.

Jo memang seorang dosen muda yang punya banyak pekerjaan kantor yang diberikan kepadanya. Sebagai dosen muda, ia mendapatkan penghasilan yang tentu saja berbeda dengan seniornya. Karena itulah ia tidak munafik bahwa ia butuh penghasilan tambahan. Ini mengingat Jo juga baru berumah tangga dengan anak yang nyaris dua. Beraneka cicilan harus ia tanggung bersama istrinya.

Karena pekerjaan dan penghasilan tambahan itulah Jo dinilai tidak idealis dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Nah, di bagian inilah yang menarik. Jo justru mengakui hal yang berkebalikan dengan pendapat rekan-rekannya.

Jo mengakui, dengan mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan lain itu justru strateginya dalam menjaga idealisme. Ia tidak memungkiri bahwa ia butuh makan, pakaian dan rumah buat dirinya dan keluarganya. Jika itu tidak terpenuhi dengan baik, maka ia juga akan terganggu dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Sebagai pendidik, menurut Jo, butuh totalitas dan kepedulian kepada anak didik. Karena itu, jika ketika mengajar ia banyak pikiran karena tagihan dimana-mana, itu justru malah mengganggu. Bagi Jo, lebih baik membanting tulang di luar agar ketika mengajar ia juga lebih tenang. Bahkan ia bisa berbagi penghasilannya dengan sesekali menraktir mahasiswanya jika ada rejeki yang lumayan.

Ternyata Jo punya cara pandang yang berkebalikan dengan apa yang diasumsikan oleh teman-temannya. Jika teman-temannya melihat Jo dari sisi gelapnya, Jo melihat profesinya dari sisi putih. Ada dua perbedaan mendasar. Teman-temannya melihat Jo dan memandangnya pun dari sisi hitam. Sementara Jo tidak memandang (menyerang) balik temannya. Ia lebih suka melihat profesinya, itupun dari sisis terangnya. Ia memandang profesinya dengan penuh tanggung jawab, sampai-sampai harus menenangkan perut dan mentalnya dengan memenuhi kebutuhan keduanya dari bekerja di luar.

Menariknya lagi, ketika aku tanya Jo, "Lho ini ngapain kok di sini? Apa tidak ada jadwal mengajar? Apa sedang sibuk juga melakukan dua pekerjaan?". Jo menggeleng. "Tidak ada mengajar hari ini", jawabnya. Setelah jeda beberapa saat, "Tidak ada mengajar juga besok", demikian sambungnya. Aku jadi mulai curiga. "Maksudmu?", tanyaku penasaran. "Aku sudah tidak menjadi dosen lagi". Ternyata kecurigaanku benar.

Karena kami berdua terbiasa mendiskusikan sesuatu dengan saling melempar wacana, maka aku berniat menjadikan keptutusan Jo ini sebagai bahan diskusi. "Apa dengan meninggalkan pekerjaanmu itu berarti idealismemu patut dipertanyaakan?", demikian godaku. Jo terdiam. Belum sampai semenit ia berkata lagi, "Aku dipecat". Seperti ada petir di siang bolong yang panas.

Sebenarnya ketika menuliskan ini, aku kan sudah tahu kalau Jo dipecat. Ya gimana tidak, lha wong tulisan ini dibuat setelah ia cerita. Cuma biar seru aja, aku tidak mengatakan sejak awal. Sebentar, ceritanya belom selesai.

"Kok dipecat?" tanyaku tidak percaya.

Jo menceritakan panjang lebar tentang teman-temannya yang mengadukan berbagai kesibukannya kepada pimpinan. Karena yang mengadu ada beberapa, dan diantaranya adalah orang yang punya pengaruh, maka pimpinan mengambil kesimpulan bahwa Jo sudah tidak dedikatif lagi. Karena itu lah ia diberikan surat peringatan beruntun yang tidak didasarkan pada kesalahan yang nyata dibuktikan oleh pimpinan, tetapi didasarkan pada pengaduan. Ia resmi dipecat setelahnya.

Ketika aku bertanya tentang keabsahan pemecatan itu, Jo berkata, "Tidak selalu sesuatu itu harus diperdebatkan. Kita tidak tahu apa rencana Tuhan dibalik sesuatu yang kita proteskan. Tuhan selalu punya cara untuk menyadarkan hambanya atas jalan yang seharusnya ia tempuh". Aku hanya terdiam dan terkesima dengan cerita dan penjelasannya. "Tapi ini tidak akan menghilangkan kebiasaan kita untuk diskusi, mempertanyakan sesuatu atau berdebat lho..", demikian katanya dengan tawa khasnya yang lepas.

Jo sekarang sudah mulai merintis kegiatannya secara mandiri. Ia sering melakukan advokasi, konseling dan memberikan training. Bahkan waktunya sekarang lebih sibuk, tetapi juga lebih fleksibel buat dia. Semoga sukses, Jo.

Hari itu adalah hari yang paling berkesan karena pertemuanku dengan Jo. Ada sebuah pelajaran yang begitu dalam dari ceritanya, dari caranya menyikapi apa yang menimpa dirinya, caranya menyikapi kehidupan.

Apa makna yang Kamu ambil dari cerita ini?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar