Awalnya adalah ketika aku membantu menjadi notulen untuk ujian atau sidang skripsi. Ujiannya santai (tapi tegang buat yang disidang hehe). Dalam proses tanya jawab, ku copot sepatu agar terasa nyaman. Karena ketika kaki di gesekkan di besi bagian bawah kursi, rasanya ada yg lembut menggesek telapak kaki.
Eh, ternyata baru tahu kalau kaus kakiku bolong. Penguji di sebelahku yang mengetahui hal itu langsung tertawa. Karena dasarnya aku cuek dengan persoalan seperti itu, dan juga penguji yang tertawa tersebut adalah teman juga, saya langsung ingat film Sponge Bob.
Apa yang aku ingat dari film kartun tersebut? Dramatisasi. Iya, dramatisasi. Film itu punya kekuatan dalam melakukan dramatisasi. Teringat satu episode tentang kampanye pembatalan pembangunan jalan yang menggusur rumah ubur-ubur. Yang melakukan kampanye pembatalan hanya dua, yaitu Sponge Bob dan Patrix. Sebenarnya Mr. Crab juga ikutan, karena restorannya terancam dilalui jalan di atasnya, dan diramalkan akan bangkrut. Namun Mr. Crab sudah membayangkan kebangkrutannya dan akhirya merasa tak berdaya. Karena itulah ia tak ikutan melakukan promosi pembatalan jalan.
Nah, serunya ketika mereka berdua melakukan kampanye pembatalan, ternyata semua penduduk mendukung pembangunan jalan. Ketika promo pembatalan berjalan, aksi dukungan juga bergulir dengan kekuatan yang lebih besar. Akibatnya Patrix dan Sponge Bob selalu kalah, karena dukungan terjadi di setiap sudut kota.
Secara keseluruhan ceritanya masih panjang dan berakhir dengan kemenangan Patrix dan Sponge Bob. Kemenangannya bukan berarti pembangunan jalan dibatalkan. Jalan sudah selesai dibangun, tapi efek yang terjadi setelah pembangunan itu yang menjadi masalah. Jalan kembali ditutup dan keadaan dikembalikan ke kondisi semula, termasuk sarang ubur-ubur.
Inspirasi film ini datang begitu saja ketika melihat kaus kaki yang berlubang. Dalam hati terbersit juga ingin menunjukkan bahwa kaus kaki bolong itu cuma perbedaan. Hanya saja kebetulan yang bolong tidak banyak. Karena itu, bukan hal yang mustahil jika suatu saat ada tren kaus kaki bolong. Bukankah juga sudah ada trend baju compang-camping, kusut dan rambut yang semerawut?
Terbayang cerita tentang seseorang yang mempunyai kaus kaki bolong. Untuk orang dewasa, kaus kaki bolong mungkin hanya masalah biasa. Ini mungkin jadi persoalan menyembunyikan di balik sepatu atau membeli yang baru. Tapi hal ini bisa jadi masalah yang besar jika terjadi pada anak-anak. Bayangkan menjadi anak-anak yang diolok-olok kaus kakinya bolong. Ini bisa menjadi masalah besar, merasa malu dan sampai tidak masuk sekolah.
Nah, kampanye seperti yang dilakukan oleh Sponge Bob dan Patrix bisa terjadi untuk mengubah trend memakai kaus kaki. Dengan demikian bolong atau tidak itu hanya persoalan variasi. Selain itu, anak juga dilatih untuk mempunyai alternatif berpikir yang berbeda, dari berpikir perbedaan kualitas menjadi perbedaan variasi model kaus kaki.
Untuk mengubah cara berpikir tersebut, dibutuhkan pengelolaan keterampilan. Keterampilan apa yang dapat dikelola dari tokoh sehingga anak dapat berpikir bahwa bolong itu juga sama baiknya? Karakter mengapresiasi yang jadi jawabannya. Yang perlu dibangkitkan pertama kali adalah mengapresiasi kaus kaki bolong. Dalam cerita perlu ada proses ini. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, terjadi proses pembelajaran tokoh utama (Libi) yang dibantu oleh Lea dan Dapin.
Karakter apresiatif terbentuk, tinggal bagaimana mempromosikan karakter itu. Mempromosikan karakter apresiatif butuh media yang menjadi cantolan (anchor). Dalam cerita ini cantolannya adalah kaus kaki bolong yang dipromosikan untuk diapresiasi.
Sampai sini terselesaikan sudah memasukkan beberapa unsur dalam cerita, yaitu tokoh, keterampilan dan persoalan serta tujuan yang ingin dicapai. Sekarang saatnya memoles menjadi cerita yang menarik.
Anak-anak suka dengan cerita imajinatif. Cerita yang merangsang imajinasi punya daya stimulasi yang kuat, baik untuk mencuri maupun menjaga perhatian. Karena itu, kita bisa menjadikan cerita tersebut sebagai cerita metaforik. Yang paling mudah, kita bisa memakai tokoh binatang. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, Libi ada seekor lebah yang sekolah di sekolah para semut. Dua temannya, Lea dan Dapin adalah dua ekor semut. Nah, sekarang ceritanya jadi lebih manis kan?
Untuk memperkuat cerita, kita perlu perhatikan dramatisasinya. Sebelumnya sudah dibahas, promosi kaus kaki bolong sudah merupakan cara dramatisasi untuk menumbuhkan karakter mengapresiasi. Ini dapat kita perkuat dengan menambah atmosfir setting cerita. Dalam cerita “Kaus Kaki Bolong”, setting sekolah yang digunakan adalah sekolah yang mewah, serba rapi dan menjunjung tinggi budaya berkaus kaki. Jika suatu saat ada orang yang menggunakan kaus kaki bolong, akan jadi masalah besar di sekolah tersebut. Nah, dengan demikian konteks cerita juga menyumbang untuk efek dramatisasinya.
Kita telah membuat satu cerita komplit berjudul “Kaus Kaki Bolong”. Cerita ini dijamin tidak hanya menghibur, tetapi juga punya dampak terapis, karena dapat mengubah cara berpikir dan berperilaku. Mudah bukan membuat cerita yang menarik? Mari kita coba!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar