Sumber Gambar: asliceofleadership.com |
Didi Nito, seorang pekerja yang sudah (atau boleh dibilang baru) bekerja di sebuah lembaga Aducoduco, sebuah lembaga yang menangani pendidikan anak di sebuah desa terpencil bernama Saito.
Selama tiga tahun tersebut, Didi Nito bekerja dengan semangat yang naik turun. Beberapa orang yang sudah mengenalnya, sebagian suka dan sisanya banyak yang berusaha mengganjal perjalanan kariernya. Bahkan Driga, para pekerja baru juga berusaha menjauhi Didi Nito.
Karena situasi ini, Didi Nito mulai tidak kerasan. Ia mulai menjauh dan canggung berada di Boboco, kantor tempanya bekerja. Sebagian waktunya ia gunakan untuk membesarkan Skista, sebuah lembaga yang juga bergerak di bidang pendidikan, tetpai ia dirikan sendiri bersama teman-temannya.
Skista tidak selalu dapat berjalan dengan baik. Karena itu, Didi Nito kadang menerima pekerjaan dari pihak lain, mengingat tanggungan di keluarganya juga besar. Gaji dari Aducoduco hanya sampai mengering pada tengah bulan saja. Tapi di luar urusan gaji, sebenarnya Didi Nito adalah seorang ayah yang sangat sayang kepada keluarganya. Bahkan kadang di luar urusan pekerjaan, karena ingin membahagiakan keluarganya, ia harus memilih meninggalkan pekerjaan yang mendatangkan uang. Ia lebih suka melayani istri dan anaknya untuk kebahagiaan mereka.
Belakangan ini Didi Nito tidak lagi banyak pekerjaan di luar Aducoduco. Namun ia tetap membagi waktunya untuk keluarga dan Aducoduco. Kadang Didi Nito berusaha pulang cepat hanya untuk mengajak anaknya jaln-jalan, belajar air lingkungan. Karena pembagian waktu inilah, Didi Nito dianggap tidak loyal oleh atasan dan rekan kerjanya.
Belakangan ini, Didi Nito mulai mengurangi rasa khawatirnya. Ia tidak lagi canggung datang ke Aduco-duco dengan waktu yang sudah ia bagi sebagian untuk keluarganya. Karena hilangnya rasa cemas ini, produktivitas Didi Nito mulai meningkat. Banyak pekerjaan yang ia lakukan buat Aducoduco. Hatinya juga mulai tentram melakukan berbagai inisiatif untuk Aducoduco.
Sampai suatu ketika Didi Nito naik pangkat dari Galih ke pangkat Raka. Pangkat Raka adalah pangkat menengah dalam Aducoduco. Belum sempat memberi tahu pada orang lain, ucapan selamat datang bertubi-tubi. Ucapan selamat itu bervariasi mulai dari yang hanya basa-basi sampai yang disertai dengan kata-kata yang menghimbau untuk setia, mengabdi, berkorban. Bahkan seorang atasan tidak langsung dari Darkonorn, kantor pusat di atas Aducoduco, mengatakan, "Ayo tambah semangat mengabdi buat Aducoduco, bukan yang lain".
Ketika membaca ucapan tersebut, spontan semangat Didi Nito drop. Yang terlintas di benaknya adalah bayangan keluarga dan berbagai tanggungannya. Didi Nito dengan kemampuan yang seharunya bisa 'dijual' dengan 'harga' sepuluh kali lipat dari gajinya di Aducoduco, diminta dengan keras untuk mengabdi dengan disertai kata-kata 'bukan yang lain'. Pasca itu, niat Didi Nito untuk mulai membangun cintanya kebali kepada Aducoduco langsung surut.
Sumber Gambar: zdnet.com |
Pemimpin Bukan Motivator Negatif
Cerita Didi Nito mungkin saja dialami oleh sebagian dari para pekerja di negara kita. Mereka punya kompetensi yang luar biasa, tapi masuk di tempat kerja yang menyurutkan kemampuannya. Bahkan ketika kemampuan tersebut kembali menyala, sepertinya rekan kerja dan atasan jadi orang yang paling tak rela.
Ada beberapa hal yang membuat atasan yang mungkin secara tak sadar jadi motivator negatif buat anak buahnya.
1. Kebiasaan otomatis yang melihat kesalahan daripada prestasi
Bagaimana menjadikan kerja efektif, tujuan tercapai? Sebagian dari atasan yang kemudian menjelma menjadi motivator negatif akan menjawab pertanyaan tersebut dengan, "Minimalisir atau hilangkan kesalahan!".
Kalimat jawaban ini jika menjadi kebiasaan, akan menjelma menjadi keyakinan. Apa akibatnya? Ya namanya minimalisir atau menghilangkan kesalahan, maka semangatnya adalah ketika ada sesuatu yang dianggap salah, maka ia buru-buru membasminya. Efeknya buat kebijakan sangat berorientasi pada masalah, bukan apaian atau prestasi. Jika pegawai jadi masalah, maka kecenderungannya adalah memperingatkan atas kesalahan tersebut atau memecatnya.
2. Mengendalikan orang seperti memencet tombol mesin
Bagaimana orang bisa bekerja efektif? Seorang pemimpin yang menjelma jadi motivator negatif akan menjawab pertanyaan tersebut dengan, "Perintahkan mereka untuk...!".
Tidak banyak pemimpin yang ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat). Artinya, menempatkan diri bersama bawahan dengan menginspirasi dan memberikan contoh. Masih banyak pemimpin yang berjarak dan memegang remote control atas diri anam buahnya. Perintahkan ke bawah, yang bawah memerintahkan lagi ke bawah, dan seterusnya.
3. Lebih suka menghukum daripada menghargai pencapaian
Bagaimana kinerja seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya? Seorang atasan yang menjelma jadi motivator negatif akan menjawab dengan, "Jangan sampai ia melakukan kesalahan yang sama!".
Seperti ucapan selamat yang diterima oleh Didi Nito. Ketika ia mulai membangun gairah kerja, semangat mencintai Aducoduco, atasannya memberikan ucapan selamat yang mengancamnya untuk tidak melakukan apa yang diprasangkakan kepadanya. Ini adalah ucapan selamat yang paradox, satu sisi seolah memberikan semangat dan mengapresiasi capaian, namun di sisi lain mengancam dengan mengingatkan pada kesalahan-kesalahan yang sudah ditularkan dari satu orang ke orang lain di Aducoduco. Hal ini terjadi karena atasan tersebut mengucapkan selamat yang model barusan di depan forum, di muka rekan-rekan kerja Didi Nito.
Sumber Gambar: ineedmotivation.com |
Kira-kira tiga hal tersebut yang membuat seorang atasan menjelma menjadi motivator negatif. Aku pikir masih banyak penyebab yang menjadikan atasan seorang motivator negatif. Ini hanya sebagian penyebab yang paling mendasar.
Apa lagi ya yang bisa menyebabkan atasan jadi motivator negatif?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar