Sabtu, 21 Juli 2012

Mengapa Aku Begitu Suka DEKA?

Ini sebuah kisah teman lama yang teringat kembali. Sebut saja namanya Deka. Bagaimana kisahnya?

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as
Sejak kecil, Deka dibesarkan di dalam keluarga yang sangat demokratis, terutama mengenai pendidikannya. Memang di perjalanannya kemudian, kakak dan orang-orang dekatnya yang cukup berpendidikan, mulai menuntut kepadanya. Pasalnya, dalam kesendiriannya, ia terbiasa menjuarai kelas dalam hal akademik. Kebiasaannya memenangkan peringkat, menjadikan orang-orang dekatnya yang cukup berpendidikan, merasa bahwa Deka mampu untuk terus seperti itu.

Menurut cerita Si Deka, tuntutan dari orang dekatnya (bukan orangtuanya) itu adalah luka pertama buat dia. Ada perasaan malu dan takut mengecewakan jika rankingnya mulai merosot, kendati hanya merosot ke ranking dua.


Model Pembentukan Mental Berprestasi

Untunglah hal yang menimpa Deka ini tidak berlangsung lama, hanya 3 tahun. Semua berubah ketika Deka masuk SMA. Semua keluarganya, dekat maupun jauh, menghargai prestasinya, apapun itu. Namun demikian, mental bahwa ada tuntutan untuk tetap punya posisi lebih diantara teman-temannya, tetap lestari.

Hanya saja, yang terbentuk bukan mental kompetisi, tetapi mental merasa dihakimi. Apa artinya? Ada tiga bentuk mental berprestasi (ini pembagian menurutku sendiri), yaitu mental karena ketakutan akan hal negatif, mental membandingkan dan mental mencapai impian.

Ketiga mental ini berkorelasi dengan pendorongnya yang melekat atau identik dengan waktu. Mental yang pertama lebih kuat didorong oleh masa lalu. Ketakutan dan kecemasan memang bisa dibangun karena bayangan terhadap sesuatu yang diasumsikan akan terjadi. Namun demikian, bayangan yang mengandung emosi takut dan cemas itu melekat kuat karena sebuah pengalaman (traumatik) di masa lalu. Ditegur, dikritik, dihujat, dimarahi adalah pengalaman-pengalaman emosional yang mudah sekali dilekatkan pada bayangan ketakutan yang dirancangnya sendiri. Pembentukan mental yang seperti ini yang dialami oleh Si Deka.

Mental yang dibentuk dengan perbandingan lebih melekat pada waktu kini. Meskipun bisa saja orang punya saingan di masa lalu, atau membayangkan akan persaingan di masa depan, tetapi saja proyeksi analisisnya ke masa sekarang. Persaingan terkuat dari seorang siswa tentu saja dengan teman-teman yang waktu itu berada di masa yang sama, apalagi kalau satu kelas. Sangat kecil kemungkinan, anggap saja anak SMP, membayangkan saingannya di masa SMA. Andai ini ada, pasti bayangannya tidak dihubungkan dengan emosi tertentu yang melekat secara kuat. Si Deka juga mengalami hal ini pada masa SD.

Pembentukan mental berprestasi yang ketiga adalah yang paling ideal, yaitu mental berprestasi yang diperkuat karena ada emosi yang dihubungkan dengan masa depan. Bentuk yang ketiga ini tidak terlalu terpengaruh oleh orang lain. Ia lebih fokus kepada dirinya, proyeksinya di masa depan. Impian jauh lebih pentin daripada dorongan-dorongan dari masa lalu. Sayangnya, mental Deka tidak terbangun pada pola yang ketiga ini. Tapi sekarang ia mulai membangun prestasinya sendiri dengan mental ini. Syukurlah, tidak ada kata terlambat.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as

Kata adalah Mantra, Lidah adalah Cambuk Perubahan

Bentukan mental masa lalu deka ini turut memperlemah energinya ketika ia sekarang berusaha membangun mentalnya dalam bentuk yang ketiga. Ada apa dengan Deka? (pas kalau diberi judul AADD hehe).

Dibentuk dengan mental yang dihakimi dan berkompetisi membuat Deka harus berusaha melepaskan kecemasan dan ketakutan. Ia harus berusaha merasa memiliki aktivitasnya sendiri. Bekerja bukan sebagai keharusan, bukan karena tuntutan aturan, tapi karena keinginan hatinya yang paling dalam.

Karena kelemahan mental ini, cobaan dirasa sangat kuat oleh Deka. Cobaan apa? Tak lain dan tak bukan, cobaannya adalahd ari 'kata'.

Deka mempunyai hobi menulis. Itulah yang salah satu yang membuat aku suka padanya. Dia kuliah di jurusan komunikasi, sedikit mirip dengan hobiku, belajar komunikasi. Dulu aku juga pernah menjadi dosen terbang, mengajar Mata Kuliah Komunikasi Interpersonal di sebuah universitas swasta. Itu juga yang semakin mendekatkanku pada Deka.

Sekarang Deka bekerja di sebuah lembaga pengembangan sumber daya manusia. Pekerjaan utamanya adalah jadi trainer, memberikan motivasi dan konseling. Yang paling ia sesalkan dan pernah diceritakan kepadaku, ia punya atasan yang hobi sekali menyelidik setiap detil yang ingin ia lakukan.

Suatu ketika ia pernah bermaksud membuat sebuah projek menulis kumpulan cerita pendek. Ia ingin membuat inspirasi yang dibungkus melalui cerita. Lagi-lagi, ini membuat aku semakin suka dengan Deka. Sayangnya, atasannya bilang, "Itu bukan core bisnis kita. Tugas kita adalah melatih orang!". Hal itu membuat Deka lama sekali vakum dari dunia tulis menulis, sampai akhirnya ia putuskan membuat blog sebagia penyalurnya. Ini juga bagian lainnya yang membuat aku suka dengan Deka.

Pernah juga Deka punya gagasan untuk memotivasi orang atas nama perusahaannya lewat media sosial. Ia berencana membuat akun facebook, membuka fanspage dan memulai sebuah akun twitter. Si bos kembali berkata, "Apakah itu untuk marketing?". Deka menjawab, "Bisa berdampak seperti itu". Dengan garang, bos menyemprot Deka, "Dampak?! Yang kita butuhkan bukan dampak, tetapi yang digarap serius untuk marketing". Karena Deka bukan orang marketing, si bos menutup akses Deka untuk merealisasikan idenya.

Peristiwa itu cukup membuat Deka tidak melakukan apa-apa, kecuali menjalankan kewajiban dari perusahaan. Ia hanya mengikuti standard operational procedure. Tak ada kreativitas, tak ada inovasi.

Kini Deka bertekad untuk memulainya lagi. Dia hanya bilang kepadaku, "Berikan aku dukungan kecil, meski cuma senyuman ketika aku bercerita, agar aku merasa bahwa untuk passion tak ada yang bisa mencegahnya". Demikian kata-kata manisnya yang selalu aku ingat.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as



Apakah Kita atau Anak Kita akan Seperti Deka?

Belakangan ini, pada waktu aku jalan sama ibunya Bintang dan Bintang, aku melihat orangtua yang menyeret anaknya, menghardiknya ketika bertanya, memaksanya pulang ketika ia ingin melakukan sesuatu, menjendul (memukul ringan) ketika anaknya dianggap bersalah dan sebagainya. Buat aku, itu adalah pembentukan diri yang sangat mungkin menghasilkan orang-orang seperti Deka.

Anak akan mengingat setiap pengalaman kecil yang padanya melekat emosi tertentu, dalam hal cerita di atas adalah emosi negatif. Setiap bagian dari pengalaman itu akan terekam lengkap dengan rasa takut, kecewa, sedih, cemas dan lain-lain, yang menyertainya.

Perasaan negatif yang menyertai larangan akan menjadikan anak serba was-was atau takut. Kehati-hatian yang berlebihan membuat kreativitasnya dikerdilkan. Tak ada kreasi, tak ada inovasi.

Jangan salah, hal seperti ini tidak hanya terjadi pada anak sendiri. Tidak jarang, terhadap teman, kita sering melakukan hal yang sama. Ejekan, hinaan, kritik dengan semangat menjatuhkan (bukan membangun), kita layangkan bertubi-tubi sampai mental anak atau teman kita jatuh.

Bukankah hal ini juga kadang (kalau bukan sering) terjadi di sekolah, yang dilakukan guru kepada muridnya. Tak jarang juga terjadi di bangku kuliah, yang dilakukan dosen kepada mahasiswanya. Mereka menganggap maha/sisa sebagai orang yang harus dihadapi, bukan teman belajar yang harus didampingi. Coba ingat kembali, apakah Kamu juga mengalaminya?

Nah, tantangan kita adalah ketika mengembalikan ke rumah. Kita mungkin membaca tulisan ini dengan begitu sadarnya. Bahkan sebagian menitikkan air mata karena mengingat kesalahan-kesalahannya. Tetapi begitu laptop atau komputer dimatikan, kembalilah kita seperti sedia kala. Jangankan kita yang hanya membaca artikel pendek ini. Seorang motivator handal pun, ujian yang paling nyata terjadi ketika ia pulang ke rumah. Apakah ia menjadi seorang pemimpin yang baik di rumahnya. Apakah ia menjadi ayah yang welas, bertanggung jawab dan penuh cinta kepada anak dan ibu dari anak-anaknya.

Sumber Gambar: @rudicahyo instacanv.as

Deka hanya salah satu korban yang boleh jadi dianggap kebetulan. Tapi ketika kita menyadarinya, tentu kita tak akan menghendaki kebetulan-kebetulan yang sama, yang menjadikan fatal akibatnya, karena akan dituai sepanjang masa.

Demikian share atas renunganku tentang cerita Deka. Mudah-mudahan bermanfaat.

Sekali lagi coba ingat, apakah kita sudah tidak lagi membentuk Deka-Deka yang baru?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar