Berawal dari cengkerama obrolan ngalor ngidul, muncul pertanyaan dari seorang teman, sebut saja Nina.
Nina: Mas, kalo kamu suka sama orang, apakah sayangmu diberikan semuanya?
Aku: kalo pertanyaannya suka, ya yang aku berikan adalah sukaku semuanya. Tapi kalo pertanyaannya sayang, maka aku berikan sayangku semuanya.
Nina: Mas ga takut sakit?
Aku: sakit?
Nina: maksudnya sakit hati
Aku: kenapa harus takut? Kalo ga mau sakit hati, emang iya lah. Siapa sih orang yang mo sakit hati. Tapi kalo takut, ya buat apalah. Toh emang hidup kalo ga ketawa ya menangis, kalo ga senang ya sedih. Tapi bukan berarti dikotomis seperti itu sih.
Nina: lha terus?
Aku: ya ada kalanya emang kudu menikmati kesedihan, atau menangisi kebahagiaan. Semuanya jg tergantung makna yang dilekatkan
Nina: bisa seprti itu ya Mas? Trus soal sakit hati tadi, Mas pernah ngalami?
Aku: sering
Nina: oh ya?!
Aku: makanya itu, aku udah terbiasa kali ya. Ada perubahan dari menganggap sakit hati sebagai penderitaan hingga menjadi sakit hati sebagai bagian dari hidup, seni menjalaninya.
Nina: Mas berani juga ya?!
Aku: berani? hehehehe... bukan gitu. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika Kamu memilih A maka B, C, D merupakan lingkup yang mempengaruhi ketika pilihan disajikan. Tetapi ketika keputusan diambil, maka yg lain tidak lebih dari bunga-bunganya. Jalani aja pilihanmu, toh Kamu juga ga akan bisa membandingkan dengan pilihan lain yang sudah terabaikan.
Nina: tapi kok masih banyak orang yg menyesali pilihan ya Mas?
Aku: itulah arti dari konsistensi pilihan dan konsekuensinya. Sebernya mereka rugi, karena hanya bisa membandingkan dengan rekaannya, bukan senyatanya. Mereka hanya membandingkan pilihannya (misalnya A) dengan B', C', D' dll yang hanya rekaan, bukan B, C, D dst yang sesungguhnya. Rugi kan?!
Nina: iya jg ya Mas. Trus kalo milih cewe neh ya Mas. Kalo tiba-tiba ada yg lebih cantik gitu gimana dengan pilihan kita?
Aku: itu lah pilihan, tetap ada konsekuensinya. Hanya saja, apakah kita bisa konsisten dengan itu. Kalo kita memilih sesuatu yang lebih, terus gimana sesuatu yang kurang. Sedangkan semuanya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bisa jadi kita mengingkari seseorang karena kekurangannya dan kita memilih seseorang yang menurut kita lebih. Gimana perasaan kita jika ternyata orang yang kita anggap lebih itu juga lebih memilih orang lain yg dianggap lebih? Kesenangan atau kebahagiaan itu bisa dibangun, diciptakan, toh dialog terciptanya kebahagiaan juga bisa dibentuk dari diri kita sebagai pusat, meskipun lingkungan juga berpengaruh. Tapi paling tidak naluriah kita yg egosentris tetap memegang peranan. Jadi kebahagiaan atau kesenangan kita tetap ada pada diri kita, tergantung bagaimana kita memaknai sesuatu
Nina: ok deach Mas. Lain kali disambung ya?!
Aku: Ok
Meskipun konsistensinya tidak selalu semudah itu, mungkin kita memang seperti itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar