Minggu, 18 Maret 2012

Saatnya Memilih, Saatnya Belajar

Kenapa ada zona nyaman dan zona resah dalam belajar? Karena ada penanda emosional atas hal yang lama dan dugaan ketidakpastian dari sesuatu yang baru.
Sumber Gambar: robertfagan.com


Hari ini sebuah rencana telah dieksekusi. @bintangABC resmi mengakhiri kontrak dengan pengasuh lamanya. Hehe, bukan berarti ada kontrak yang habis masa berlakunya, tetapi ini sebuah keputusan yang diharapkan akan jadi yang terbaik buat Bintang.

Bintang telah diasuh sejak 23 Maret 2011. Jadi sudah nyaris setahun Bintang berada di rumah itu. Pagi diantar, sore dijemput. Sangat berbeda dengan jailangkung hehehe.

Sebenarnya aku sama ibunya ingin mencari orang yang bisa bantu di rumah sekaligus jagain Bintang. Jadi bukan malah menggondol Bintang ke rumahnya.

Seminggu yang lalu dikabari oleh teman ibunya Bintang tentang orang yang mau mengasuh dan sekaligus membantu di rumah tanpa harus memboyong Bintang. Beberapa waktu telah direncanakan bertemu, tapi baru kali Jumat kemarin ia datang ke rumah.

Konsekuensinya, harus segera mengabari pengasuh lama untuk berpamitan dan tidak mebali kepadanya. Ini bagian yang paling dramatis, karena kami sangat mengenal pengasuh ini. Hubungannya dengan Bintang memang begitu dekat, meskipun masih belum ideal soal pengasuhan. Karena dekat yang dimaksud adalah yang terlampau memanjakan dan tidak mengajari Bintang untuk mandiri. Malah beberapa kebiasaan bintang jadi punya kebiasaan selalu ingin dituruti dan protes ketika sedikit saja ditunda.

Ada sebuah sejarah di balik kedekatan yang sanga emosional tersebut. Pengasuh lama punya anak yang belum genap setahun meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Jas hujan batman yang melilit lehernya menariknya karena putaran roda. Ia jatuh dan sempat dilarikan ke rumah sakit, sampai akhirnya tak tertolong jua.

Hari ini adalah saat yang paling emosional pastinya. Berbagai skenario kami ciptakan agar semua berjalan lancar dan saling enak sama enak.

Skenario ini penting lebih dari sekedar keputusan antara berbohong atau jujur, skenario putih atau hitam hehehe. Hal ini mengingat, sang pengasuh ini terkenal sebagai tukang potong pembicaraan. Bahkan pada beberapa keadaan, apa yang menjadi kesalahannya dalam mengasuh Bintang bisa diputarbalikkan menjadi kesalahan ibunya. Hebat bukan? Ini karena ia tak memberikan kesempatan kami buat bicara. Ketika kita ngasih tahu sesuatu, langsung dipotong, "Mbak, kulo niki mpun anak putu, mpun ngerumat anake wong akeh", blah blah blah.. Terjemahannya kurang lebih, "Mbak, saya ini sudah punya anak cucu, sudah merawat anaknya orang banyak", blah blah nya masih tetap kok terjemahannya :). Ketika kita menasehati soal makannya Bintang, dengan sigap dia balik menasehati kami untuk telaten dalam menyuapi anak, dan sebagainya.

Skenario yang kami pilih adalah ada seorang saudara yang bersedia bantu di rumah dan mengasuh Bintang.

Kami datang di halaman rumah dengan membawa bingkisan dan menyiapkan uang gaji penutup yang sudah kami lebihkan. Begitu ibunya Bintang bilang, "Bu, mbenjing Bintang mpun mboten ten mriki...(Bu, besok Bintang sudah tidak di sini...)", langsung dipotong dan disuguhi banyak kata. Awalnya bilang tidak apa-apa, bercerita banyak tentang "Meksipun saya dibilang macam-macam...blah blah.. (sudah ditranslate dari bahasa aslinya hehe)", sampai pada ia bilang bahwa Bintang adalah titisan anaknya yang meninggal dunia. Hem, serem bukan?

Dari sudut pandang pengasuh, kami mengumpulkan penanda yang ia ingat tentang kami. lebih dari tiga perempat tanda itu adalah negatif. Memang kata awal yang digunakan adalah "Ya tidak apa-apa Bintang diambil...". Kata ini sekilas tidak jadi masalah. Tapi perhatikan pada kata 'diambil'. Artinya, kata itu sudah disertai emosi tertentu yang bersesuaian dengan adanya rasa memiliki. 'Diambil' berarti itu adalah miliknya yang diambil, atau paling tidak sudah sempat menjadi miliknya. Coba bandingkan dengan kata yang lain, dia bilang, "Aku ngerumat iki ndak kiro tak pek (Aku merawat ini tidak akan mengambil (memiliki))". Kami sama sekali tidak berpikir dia mengambil apapun dari kami, tapi karena ada kata-kata ini, maka bawah sadar tidak bisa ia pungkiri.

Apa yang dilakukan oleh pengasuh adalah indexing. Semua index yang tertanam di benaknya sebenarnya tidak pernah kami sangka. Namun karena ia mengatakannya, maka kita jadi tahu apa yang selama ini ada di pikirannya.

Karena alasan itu semua, maka kami semakin bertekad bulat membawa kembali Bintang ke rumah. Meskipun drama itu diselingi air mata. Si mbah kakung juga ikut menangis. Bahkan anaknya yang kadang ikut mengajak Bintang juga melelehkan air mata. Sungguh satu sisi aku tersentuh dan sampai sekarang masih merasa iba dengan mereka. Tapi di sisi lain semakin membuat aku bertekad bulat untuk membawa Bintang kepada pengasuhan yang profesional, mengurangi yang emosional. Drama di sekitar pengasuhnyalah yang membuatku iba, tetapi justru dari kata-kata pengasuhnyalah yang membuatku ingin segera beranjak darinya. Tapi jujur aku juga bisa merasakan apa yang mereka rasakan, kehilangan.

Bagaimana dengan sudut pandang kami? Air mata memang cukup membuat kami tidak tega. Bahkan sampai di rumahpun masih terngiang dan kami membahasnya. Namun, di luar itu semua, ada pelajaran yang sedang aku pikirkan dari pengalaman ini.

Kami dihadapkan pada dua kondisi yang sangat jelas perbedaannya. Pengasuh lama terhubung secara emosional dengan Bintang. Sekalipun dengan berbagai kelemahan dan ketidakcocokan kami atas cara mengasuhnya, tapi hal itu jauh lebih pasti. Apa maksudnya pasti? Ya kami sudah melihat sendiri proses selama ini, baik yang benar maupun yang salah. Salah benarnya sudah jelas. Sementara itu, kondisi yang lain punya kriteria lebih baik dalam hal tugas yang diemban oleh pengasuh dan kesediannya untuk mengasuh Bintang di rumah. Namun demikian, kriteria yang terpenuhi ini masih bersifat potensi, belum terelasisasi. Karena itu, kelemahan kondisi dari calon pengasuh adalah ketidakpastiannya.

Sudah tentu, hal yang belum dilalui pasti mengandung ketidakpastian, sementara hal yang lama, seburuk apapun itu, sudah pasti kita telah menyaksikan. Ternyata ini adalah tantangan kita dalam belajar.

Dalam belajar ada zona pasti yang kemudian kita labeli sebagai nyaman. Karena kita sudah tahu, maka seburuk apapun, kita merasa nyaman. Tahu mendatangkan rasa aman. Zona nyaman yang dimaskud dalam pembelajaran mendapatkan index nyaman karena sudah diketahui. Apa yang sudah menyentuh indera maka akan lebih mudah dimaknai dalam pikiran dan diraaskan dalam hati. Pada saat itulah indexing (menandai) dilakukan.

Apa yang akan kita pelajari jelas berada dalam zona tidak nyaman. Tentu saja ini karena kita tidak tahu dan tidak menyukai ketidakpastian. Fenomena belajar yang seperti ini juga terjadi dalam hidup sehari-hari. Contoh saja orang yang akan meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan. Sekecil apapun gaji, setidakenak apapun lingkungan kerja, pasti dalam hati timbul rasa tidak nyaman ketika meninggalkannya. Karena itulah beberapa orang mengatasi dengan cara mencari lebih dulu pekerjaan pengganti. Makin galau lagi jika keluar dari pekerjaan itu bertujuan untuk berwirausaha. Dua index emosi inilah yang mempengaruhi bagaimana kita mengartikan pertemuan dan perpisahan. Dalam ya ternyata..

Dua zona ini sebenarnya penyakit lama dalam belajar. Karena itulah, ketika ada pengetahuan baru, yang sulit justru bukan menerimanya, tetapi melupakan pengetahuan yang lama. Kita sudah disetting punya posisi lembam terhadap perubahan. Ini bukan berarti kita tidak suka berubah. Tetapi lebih karena kita diberikan karunia keseimbangan dan secara naluriah menjaga keseimbangan tersebut. Hanya kejadian-kejadian luar biasalah yang terpaksa kita ijinkan untuk mengubahnya. Zona lama nyaman karena bersesuaian dengan keseimbangan, keteraturan atau order, sementara zona baru bersesuaian dengan chaos atau kekacauan.

Saking kuatnya zona lama, sampai orang ketika mengalami hal yang tidak nyaman di pilihan yang baru, mereka mengatakan, "Nyesal aku...", "Tahu gitu...." dan sebagainya. Ini adalah cara kita untuk kembali ke zona yang kita labeli (indexing) sebagai nyaman. Sementara itu, saking dianggap labilnya zona baru, sampai-sampai bisa mendatangkan patologi yang oleh Frankl disebut sebagai kecemasan antisipatif. Tentu saja ini adalah kecemasan yang tidak real menurut Frankl.

Nah, ini berarti rasa tidak tega yang muncul di benak kami bisa jadi karena persoanal intrapersonal yang kompleks dalam belajar. Karena itu, kita perlu memaknai sebuah pilihan dengan keikhlasan. Artinya apapun pilihan kita semua mengandung hikmah. Kita tidak bisa mengatakan, "Ah, tahu kita aku milih A. Kenapa aku harus pilih B ya?!". A dan B memiliki posisi yang sama. Ketika memilih A, kita mungkin saja bilang hal yang sama bukan?. Bagaimanapun, ketika B dipilih, maka A ditiadakan, karena kita tidak mungkin menjalani dua kemungkinan pada waktu yang bersamaan. Tulisan tentang Arti Pilihan bisa dibaca di sini.

Sumber Gambar: www.cbtrust.org.uk

Maka putuskanlah dan apapun yang terjadi, jalanilah. Jangan pernah berhenti mengumpulkan hikmah. Teruslah belajar!

Demikian refleksi dari pengalaman kami mengganti pengasuh @bintangABC. Semoga bermanfaat.

Bagaimana menurut pendapatmu?


Tulisan Terkait:

2 komentar :